Sinar matahari pagi masih terasa lembut ketika saya dan beberapa kawan mulai melangkah menyusuri deretan warung yang berjajar rapi di sepanjang jalur masuk kawasan ziarah. Berbagai makanan khas, minuman hangat, hingga suvenir sederhana dijajakan para pedagang.
Suasana riuh itu seperti menjadi tanda betapa hidupnya kawasan Makam Syekh Jafar Sidik atau yang lebih dikenal sebagai Sunan Harumanyang berada di kaki Gunung Haruman, Kecamatan Cibiuk, Garut.
Hampir setiap hari, tempat ini tak pernah benar-benar sepi. Para penziarah datang dari berbagai penjuru, baik dari wilayah Garut sendiri maupun dari luar kota. Sosok Syekh Jafar Sidik dihormati sebagai salah satu tokoh penyebar Islam di tanah Parahyangan, sejajar dengan nama-nama besar seperti Sunan Cipancar, Sunan Rohmat Suci Godog, dan Pangeran Papak.
Warisan dakwahnya masih terasa kuat hingga kini, menjadi alasan banyak orang datang untuk berdoa, bertafakur, atau sekadar mencari ketenangan batin.
Jalan Menanjak, Semangat Menapak

Salah satu jalan menuju komplek pemakaman Syekh Jafar Sidik/Foto : Dok. Probadi (Agus Kusdinar)
Akses menuju makam kini jauh lebih baik dibanding beberapa tahun lalu. Jalan setapak selebar sekitar dua meter telah diplester rapi, memudahkan siapa pun melangkah di medan yang cukup menanjak.
Hiruk-pikuk kendaraan, mulai dari bus rombongan, mobil pribadi, hingga sepeda motor menunjukkan betapa besar magnet spiritual tempat ini.
Di tengah perjalanan, langkah saya sempat terhenti ketika melihat beberapa pengelola kawasan dengan sabar menyapu dedaunan kering menggunakan sapu lidi. Pemandangan sederhana itu terasa mengharukan.
Tanpa diminta, mereka terus menjaga kebersihan jalur peziarahan agar para pengunjung merasa nyaman.
Tak lama setelahnya, kami berbelok di sebuah tikungan dan mendapati sebuah pohon besar berusia ratusan tahun. Batangnya kokoh, daunnya rindang, seolah menjadi saksi bisu perjalanan panjang spiritual di kaki Gunung Haruman.
Sedekah yang Ikhlas, Perawatan yang Tulus

Makam Syekh Jafar Sidik tertutup kain hijau di bawah pohon besar yang bersih/Foto : Dok. Pribadi (Agus Kusdinar)
Di sepanjang jalan, beberapa warga duduk tenang sambil memegang kencleng sederhana. Tidak ada tarif, tidak ada paksaan.
Siapa saja boleh memberi sedekah seikhlas hati. Sistem seperti ini telah berlangsung lama, menjadi bagian dari tradisi gotong royong masyarakat untuk merawat lokasi ziarah. Sebab, tempat ini tidak memungut biaya masuk sama sekali.
Semua fasilitas, termasuk perawatan jalan, kebersihan, dan pemeliharaan lingkungan makam, bergantung pada kesadaran dan kedermawanan para penziarah.
Ruang Doa yang Tenang

Ruangan tempan berdoa di depan makam Syekh Jafar Sidik/Foto : Dok. Pribadi (Agus Kusdinar)
Setibanya di area pemakaman, kami memasuki sebuah ruang terbuka mirip gazebo. Karpet hijau membentang rapi seperti di sebuah mushola kecil. Di rak-rak bambu yang disediakan, deretan Al-Qur’an kecil tertata bagi siapa saja yang ingin membaca.
Di balik pagar bambu berjumbai tirai hijau, makam Syekh Jafar Sidik berada dengan tenang dan khidmat. Kami duduk, membaca tahlil dan doa bersama, merasakan kedamaian yang sulit dijelaskan dengan kata-kata.
Di samping makam, berdiri lagi sebuah pohon besar lain yang usianya diperkirakan juga mencapai ratusan tahun.
Pohon itu seolah menjadi penanda bahwa dakwah sang ulama telah melewati banyak zaman, tetapi tetap hidup dalam ingatan masyarakat.
Senja di Kaki Gunung Haruman

Sedang berdoa di salah satu makam keluarga Syekh Jafar Sidik/Foto : Dok. Pribadi (Agus Kusdinar)
Ketika matahari mulai turun, suara hewan-hewan hutan terdengar bersahut-sahutan. Nyamuk mulai bermunculan, menandakan malam segera datang. Kami memutuskan pulang, menuruni jalur yang sama.
Menariknya, justru semakin banyak rombongan penziarah yang datang. Banyak orang memilih berziarah pada malam hari, membuat Makam Sunan Haruman seperti hidup tanpa henti—24 jam tak pernah sepi.
Wisata Religi yang Tumbuh dari Kemandirian Warga

Makam Syek Jafar Sidik/Foto : Dok. Pribadi (Agus Kusdinar)
Kawasan ini dikenal sebagai salah satu wisata religi mandiri di Garut. Konon, sejak awal pembangunannya, hampir seluruh fasilitas dibuat melalui swadaya masyarakat.
Semua dilakukan sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur yang berperan besar dalam penyebaran Islam di wilayah Cibiuk dan Garut.
Semangat gotong royong itu terasa nyata di setiap sudut: di jalan setapak yang terurus, di lingkungan yang bersih, hingga fasilitas sederhana yang terus dijaga.
Dari masyarakat untuk masyarakat—itulah ruh yang membuat situs ziarah ini tetap hidup, sekaligus menjadi ruang spiritual yang menenangkan bagi siapa pun yang datang.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News