Kawan GNFI, di sebuah sudut Kabupaten Bondowoso tepatnya di Desa Ramban Kulon, Kecamatan Cermee, tersemat sebuah pusara yang menjadi pusat spiritual dan kultural masyarakat.
Makam tersebut menjadi tempat peristirahatan terakhir Raden Imam Asy'ari, seorang tokoh penyebar ajaran Islam yang riwayatnya menyatu dengan denyut nadi kehidupan warga setempat.
Keberadaan makam tersebut bukan sekadar penanda sejarah, melainkan sebuah episentrum tempat adat istiadat terus hidup, berdialog dengan zaman yang terus bergerak maju.
Di tengah gempuran modernisme, tradisi yang berporos pada figur sang leluhur menunjukkan daya hidupnya yang luar biasa, menjadi peneguh identitas sekaligus penjaga harmoni sosial dan spiritual.

Tradisi-tradisi yang dimiliki bukanlah sekadar repetisi ritual tanpa makna. Sebaliknya, setiap prosesi menyimpan falsafah mendalam yang diwariskan dari generasi ke generasi. Keyakinan terhadap jasa Raden Imam Asy'ari dalam mengubah lahan tandus menjadi kawasan subur melalui doa dan pertapaannya menjadi fondasi utama.
Dari sanalah lahir serangkaian upacara yang tidak hanya mengenang, tetapi juga merawat warisan berharga tersebut, terutama sumber mata air yang menjadi urat nadi kehidupan agraris masyarakat.
Kebertahanan adat istiadat tersebut membuktikan bahwa modernitas tidak selalu berarti tercerabut dari akar budaya.
Gugur Gunung: Ikrar Syukur dan Kebersamaan Komunal

Setiap tahun, kompleks Makam Raden Imam Asy'ari menjadi saksi bisu perhelatan akbar bernama Selamatan Gugur Gunung. Prosesi tersebut merupakan wujud syukur kolektif masyarakat atas segala karunia yang sudah diterima, sekaligus permohonan agar desa senantiasa dilindungi dari marabahaya.
Suasana sakral begitu terasa saat lantunan doa, tahlil, dan istighatsah menggema yang dipimpin oleh tokoh agama setempat. Warga dari berbagai penjuru desa berdatangan membawa tumpeng dan aneka penganan dalam nampan, simbol persembahan rasa syukur yang paling tulus.
Makanan yang terkumpul kemudian didoakan dan dibagikan kembali kepada seluruh yang hadir. Momen makan bersama menjadi pemandangan yang menghangatkan, meluruhkan sekat-sekat sosial dan mempererat tali persaudaraan.
Dalam rangkaian Gugur Gunung, terdapat satu tradisi yang paling menarik perhatian yang bernama Ojung. Seni adu ketangkasan menggunakan rotan tersebut sejatinya merupakan sebuah ritual magis-religius yang sarat akan simbol.
Dua petarung bertelanjang dada yang diiringi musik tradisional saling melayangkan sabetan rotan ke tubuh lawan. Konon, panas yang dirasakan dari lecutan rotan dan darah yang menetes dipercaya dapat mengundang iba Sang Pencipta agar segera menurunkan hujan di musim kemarau.
Meskipun kini Ojung juga dipandang sebagai hiburan rakyat dan ajang unjuk keberanian, esensi spiritualnya tidak sepenuhnya pudar. Tradisi tersebut mengajarkan tentang pengorbanan dan harapan, sebuah doa yang diwujudkan melalui laku fisik.
Keberlangsungan Ojung di era modern menunjukkan bagaimana sebuah ritual kuno mampu beradaptasi, bertransformasi dari permohonan agraris menjadi sebuah pertunjukan budaya yang membanggakan.
Penyuntengan, Merawat Nadi Kehidupan dari Sang Leluhur
Sepekan setelah Selamatan Gugur Gunung, rangkaian ritual berlanjut dengan tradisi Penyuntengan. Fokus utama dari prosesi tersebut yaitu menjaga dan mensyukuri sumber mata air yang menjadi warisan terpenting Raden Imam Asy'ari.
Perjalanan spiritual tersebut dimulai dengan berziarah ke Makam Raden Imam Asy'ari dan sahabat seperjuangannya, Sayyid Abu Hasan. Setelah memanjatkan doa, rombongan warga bergerak menuju dua mata air keramat yang bernama Sendang Paddegen dan Sendang Taman.
Kedua sumber air inilah yang menurut legenda muncul setelah Raden Imam Asy'ari berdoa memohon air bagi wilayah yang dahulunya kering kerontang.
Melimpahnya air dari kedua sendang tersebut bahkan menjadi asal-usul nama Desa Ramban yang berasal dari kata Rabe dalam bahasa Madura yang berarti rawa.
Puncak dari tradisi Penyuntengan yaitu selamatan yang dilakukan secara unik di tengah aliran sungai yang berhulu dari mata air tersebut. Warga berkumpul di sebuah daratan kecil di tengah sungai, menggelar tikar, dan bersama-sama menyantap hidangan sambil memanjatkan doa.
Lokasi tersebut dipilih bukan tanpa alasan. Menurut cerita turun-temurun, di sanalah Raden Imam Asy'ari mengembuskan napas terakhirnya, gugur dibunuh saat sedang menunaikan salat.
Dengan mengadakan selamatan di tempat tersebut, warga tidak hanya melakukan napak tilas sejarah, tetapi juga menegaskan kembali komitmen kolektif sebagai penjaga sumber kehidupan.
Penyuntengan menjadi cerminan kearifan lokal dalam menjaga ekologi, sebuah pesan luhur bahwa merawat alam menjadi bagian tidak terpisahkan dari penghormatan terhadap leluhur dan Sang Pencipta.
Relevansi Tradisi di Tengah Arus Zaman
Pada era yang ditandai oleh individualisme dan kemajuan teknologi, adat istiadat yang berpusat di Makam Raden Imam Asy'ari menawarkan sebuah oase. Tradisi seperti Gugur Gunung dan Penyuntengan bukan lagi sekadar ritual memohon hujan atau keselamatan secara harfiah. Lebih dari itu, upacara-upacara tersebut mampu berevolusi menjadi sebuah pranata sosial yang ampuh.
Perhelatan tersebut menjadi ruang perjumpaan, tempat warga saling sapa, berbagi cerita, dan menguatkan kembali rasa memiliki terhadap komunitasnya.
Semangat gotong royong dan kebersamaan yang terpancar dari setiap prosesi menjadi fondasi yang kokoh dalam menghadapi berbagai tantangan zaman.
Eksistensi tradisi tersebut juga berfungsi sebagai media regenerasi nilai-nilai luhur. Generasi muda yang terlibat secara langsung dapat menyerap pelajaran tentang sejarah, penghormatan kepada leluhur, pentingnya menjaga alam, serta makna pengorbanan dan rasa syukur.
Dengan demikian, makam bukan lagi hanya tempat ziarah yang senyap, tetapi sebuah "sekolah kehidupan" yang dinamis. Adat istiadat di sekitar Makam Raden Imam Asy'ari merupakan bukti nyata bahwa kearifan masa lalu tidak lekang oleh waktu.
Justru, nilai-nilai tersebut mampu memberikan jawaban atas kegelisahan manusia modern akan identitas dan makna hidup.
Kemampuannya bertahan dan tetap relevan menunjukkan bahwa spiritualitas dan kebudayaan merupakan jangkar kuat yang menjaga sebuah masyarakat agar tidak kehilangan arah di tengah derasnya arus modernisme.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News