menjaga leuser aceh kisah farwiza farhan dan lahirnya patroli perempuan di hutan - News | Good News From Indonesia 2025

Menjaga Leuser, Aceh: Kisah Farwiza Farhan dan Lahirnya Patroli Perempuan di Hutan

Menjaga Leuser, Aceh: Kisah Farwiza Farhan dan Lahirnya Patroli Perempuan di Hutan
images info

Menjaga Leuser, Aceh: Kisah Farwiza Farhan dan Lahirnya Patroli Perempuan di Hutan


“Sejujurnya aku sangat shock dan kaget… my heart is so full… Apakah ini aku mimpi ya?” katanya, dikutip dari Mongabay

Hari itu, namanya resmi diumumkan dari Manila sebagai penerima Ramon Magsaysay Award 2024 untuk kategori Emergent Leadership. Penghargaan itu kerap disebut sebagai Nobel Asia.

Ini adalah penghargaan kesekian yang diterima Farwiza Farhan. Selama beberapa tahun, ia kerap meraih penghargaan atas dedikasi dan perjalanan panjangnya menjaga Ekosistem Leuser.

baca juga

Bagi Farwiza, penghargaan itu bukan dianugerahkan secara individu kepada dirinya, melainkan untuk orang-orang yang selama ini telah bergerak secara kolektif melakukan konservasi. 

“Aku tuh hanya sebagian kecil dari gerakan yang sangat besar ini… Ini bukan award-ku tapi penghargaan bersama,” tegasnya.

Sebagai informasi, Gunung Leuser merupakan puncak tertinggi kedua di Sumatera (3.404 mdpl). Gunung ini memiliki Kawasan Ekosistem Leuser (KEL), sebuah bentang alam hutan hujan tropis yang luas dan penting di Aceh dan Sumatera Utara, yang mencakup

Gunung Leuser, ditetapkan sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO, dan merupakan habitat terakhir di dunia bagi orangutan, harimau, gajah, dan badak sumatera yang hidup berdampingan. 

baca juga

Masa Kecil Farwiza di Aceh 

Lahir di Aceh pada 1986, Farwiza tumbuh bersama pemandangan hutan dan pantai. Akan tetapi, ketika proyek-proyek pembangunan mulai menggerus ruang hidup, ia merasakan langsung perubahan itu. Bau asap dari pembakaran hutan pernah ia hirup saat masih kecil. 

Menurut penuturannya, tak banyak privilese yang ia dapat saat masih belia. Hal yang ia syukuri, orang tuanya adalah seorang akademisi di Universitas Syiah Kuala. Berkat latar belakang itu, orang tuanya selalu terbuka sehingga bakat dan minat Farwiza mendapat dukungan penuh. Farwiza, sejak kecil menaruh minat pada alam.

Kecintaan pada alam membawanya ke Biologi Kelautan. Ia menamatkan studi sarjananya di Universiti Sains Malaysia pada 2003—2007. Setelah itu, ia melanjutkan magister di University of Queensland jurusan Pembangunan Berkelanjutan hingga 2010. Kemudian, Farwiza menyelesaikan doktoral pada bidang Antropologi Budaya dan Studi Pembangunan di Radboud University, Belanda.

Bagi Farwiza, ilmu yang ia dapat dari berbagai negara itu hanyalah berfungsi sebagai alat. Yang penting, apa yang bisa ia lakukan untuk kampung halamannya.

baca juga

Saat BPKEL Dibubarkan, HAkA Justru Lahir

Awal 2010-an, Farwiza bekerja di Badan Pengelola Kawasan Ekosistem Leuser (BPKEL). Lembaga ini punya tugas besar, memastikan Leuser tetap utuh. Namun pada 2012, BPKEL dibubarkan.

Farwiza tak berhenti. Ia dan beberapa rekannya justru mulai lagi dari nol. Mereka mendirikan Yayasan HAkA (Hutan, Alam dan Lingkungan Aceh). Mereka bekerja di 13 kabupaten/kota dengan luas wilayah kerja mereka mencapai 2,25 juta hektare.

baca juga

Lantas, Apa yang Telah Dilakukan HAkA?

Sebagian capaian HAkA, di antaranya: mendorong putusan pengadilan yang menjatuhkan denda US$26 juta kepada perusahaan sawit yang membakar hutan Leuser; menghentikan pembangunan bendungan yang mengancam habitat gajah; mengembangkan sistem pemantauan hutan berbasis teknologi real-time; serta memasukkan kurikulum Leuser ke sekolah dan perguruan tinggi.

Yayasan HAkA (Hutan, Alam dan Lingkungan Aceh)
info gambar

Yayasan HAkA (Hutan, Alam dan Lingkungan Aceh)


 

Dalam kerjanya, HAkA didukung peralatan kerja yang cukup canggih. HAkA menggunakan data spasial untuk memantau pembalakan liar secara lebih cepat. Mereka memanfaatkan teknologi seperti GIS (Geographic Information System).

Geographic Information System (GIS) digunakan sebagai alat utama untuk memantau kondisi Kawasan Ekosistem Leuser. Teknologi ini membantu mereka mengawasi tutupan hutan, mendeteksi ancaman, dan memastikan informasi yang dikumpulkan akurat sebelum dibawa ke proses advokasi.

baca juga

HAkA juga menggunakan citra satelit dengan resolusi hingga 3 meter yang diperoleh dari program NICFI–Planet. Data ini diperbarui setiap hari dan digunakan untuk melihat perubahan tutupan hutan, aktivitas pembukaan lahan, maupun titik-titik panas yang berpotensi menjadi kebakaran.

Melalui analisis GIS, tim dapat mengidentifikasi area yang mengalami penggundulan atau aktivitas mencurigakan di dalam maupun sekitar kawasan konservasi.

Ketika sistem GIS menunjukkan adanya perubahan, HAkA melakukan verifikasi langsung di lapangan. Tim menggunakan drone untuk memastikan kondisi sebenarnya, misalnya apakah benar terjadi pembukaan lahan atau kebakaran.

Metode ini digunakan, misalnya, untuk mengungkap temuan 72 hektare hutan yang terbakar di Aceh Selatan pada 2025. Temuan awal berasal dari hotspot satelit, kemudian diverifikasi melalui observasi lapangan.

baca juga

Pelatihan untuk Aparat dan Masyarakat

HAkA tidak hanya melakukan pemantauan sendiri. Mereka juga memberikan pelatihan penggunaan GIS dan aplikasi pemantauan hutan kepada aparat pemerintah, mahasiswa, jurnalis, dan masyarakat lokal.

Dalam beberapa tahun terakhir, ratusan peserta, termasuk lebih dari 230 perempuan telah dilatih menggunakan aplikasi seperti Global Forest Watch (GFW) dan Forest Watcher. Pelatihan ini bertujuan memperluas kemampuan pengawasan hutan hingga ke tingkat komunitas.

baca juga

Perempuan yang Memimpin Patroli

Yang menarik, Farwiza menempatkan perempuan sebagai garda depan konservasi. Ia membuka pelatihan paralegal, jurnalisme warga, hingga kewirausahaan mikro. Salah satu inovasi yang unik adalah kelompok patroli hutan yang seluruh anggotanya perempuan, seperti Ranger Mpu Uteun di Bener Meriah.

“Perempuan punya cara mengambil peran yang penting… proses ini bisa lebih inklusif,” kata Farwiza.

Patroli hutan memang identik dengan kekuatan fisik dan tugas yang sangat berat. Meski demikian, pada kenyataannya, anggota patroli perempuan mampu bertugas berhari-hari di hutan. Mereka memantau jejak pemburu, memeriksa titik rawan kebakaran, dan mencatat aktivitas satwa liar.

Ia sangat percaya dengan gerakan masyarakat sipil yang lepas dari identitas gender.

“Tidak ada dari kita yang bisa melakukan segala sesuatunya sendiri… tapi kalau kita solid, aku percaya perubahan itu bisa terjadi,” tegasnya

baca juga

Penghargaan Farwiza Farhan

Kiprahnya menarik perhatian dunia. Banyak sumber mengonfirmasi keterlibatan Farwiza dalam proyek maupun penghargaan internasional. Beberapa penghargaan yang telah ia raih di antaranya:

  • Whitley Award (2016) — penghargaan konservasi internasional bergengsi yang sering disebut Green Oscar.
  • Future for Nature Award (2017) — diberikan untuk kontribusi signifikan dalam perlindungan keanekaragaman hayati.
  • Pritzker Emerging Environmental Genius Award (2021) — penghargaan dari UCLA untuk inovator muda di bidang lingkungan.
  • TED Fellowship (2021) — pengakuan terhadap pemimpin dan aktivis berdampak global yang bergabung dalam komunitas TED Fellows.
  • National Geographic Wayfinder Award (2022) — diberikan kepada individu dengan komitmen luar biasa dalam advokasi pelestarian alam.
  • TIME 100 Next (2022) — masuk daftar tokoh dunia berpengaruh kategori Leaders untuk kerja advokasi lingkungan.
  • Ramon Magsaysay Award (2024) — penghargaan internasional kategori Emergent Leadership atas kepemimpinan dan keberhasilannya mendorong gerakan konservasi berbasis masyarakat.
baca juga



Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Aslamatur Rizqiyah lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Aslamatur Rizqiyah.

AR
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.