Di Maluku, ada sebuah cerita rakyat yang menceritakan tentang legenda Batu Singa di Kampung Oma, Pulau Haruku. Legenda ini juga menjadi asal usul hubungan yang terjalin antara masyarakat Kampung Oma dengan Kampung Kulur yang ada di Pulau Saparua.
Bagaimana kisah dari legenda Batu Singa di Desa Oma, Pulau Haruku tersebut?
Legenda Batu Singa di Kampung Oma Pulau Haruku, Cerita Rakyat dari Maluku
Dikutip dari artikel Elizabeth Hehanussa, "Batu Singa" dalam buku Antologi Cerita Rakyat Pulau Ambon dan Pulau-Pulau Lease, dikisahkan pada zaman dahulu di Pulau Kei, hiduplah dua orang kakak beradik. Sejak kecil mereka sudah menjadi yatim piatu dan tidak memiliki nama.
Pada suatu hari, sang kakak berkata ke adiknya jika mereka mesti mencari pulau baru untuk kehidupan yang lebih baik. Sang adik pun setuju dengan saran yang diberikan oleh kakaknya tersebut.
Mereka pun mempersiapkan semua perbekalan yang dibutuhkan dalam perjalanan. Ketika hari yang ditentukan tiba, berangkatlah kakak beradik ini dengan menggunakan perahu peninggalan orang tua mereka.
Perlahan perahu tersebut berlayar ke lautan. Sang kakak memegang kendali dengan baiknya.
Setelah sekian lama berlayar, sampailah kakak beradik di gugusan Kepulauan Lease. Mata sang kakak kemudian tertuju ke Kampung Kulur yang ada di Tanjung Umeputti (Kelak bernama Tanjung Uneputti), Pulau Saparua.
Sang kakak kemudian menyandarkan perahunya di Kampung tersebut. Kedatangan mereka disambut dengan hangat oleh masyarakat Kampung Kulur.
Masyarakat di Kampung ini memang dikenal hidup rukun. Mereka juga menghormati pendatang yang datang di sana.
Sang kakak terkesima dengan kehidupan masyarakat yang ada di sana. Dirinya memilih untuk tinggal dan menetap di kampung tersebut.
Masyarakat Kampung Kulur kemudian memberi dia nama Pattinusa. Alangkah bahagianya Pattinusa ketika mendapatkan nama untuk dirinya.
Sang adik kemudian pamit untuk melanjutkan perjalanan. Sang adik berlayar menuju ke arah Pulau Haruku.
Di sana dia melihat sebuah kampung yang tidak kalah indahnya. Kampung tersebut bernama Kampung Oma.
Sang adik juga disambut dengan baik oleh masyarakat Kampung Oma. Bapak Raja, pemimpin di sana kemudian memberi dia nama Umeputti, karena sampai ke Kampung Oma dari Tanjung Umeputti.
Seiring berjalannya waktu, nama sang adik berganti menjadi Uneputti. Dia hidup rukun dengan masyarakat yang ada di sana.
Sejak dulu, Kampung Oma sering kali menjadi daerah yang didatangi bajak laut. Oleh sebab itu, Bapak Raja meletakkan dua ekor hewan buas di sana, yakni naga dan singa untuk menjaga daerah tersebut.
Namun permasalahan muncul di kemudian hari. Singa yang mestinya menjaga Kampung Oma justru memangsa masyarakat yang ada di sana.
Bapak Raja kemudian mengumpulkan para tetua adat untuk membahas masalah ini. Akhirnya Bapak Raja memutuskan untuk membunuh singa tersebut agar masyarakat tetap aman kembali.
Namun tidak ada satupun masyarakat yang tahu cara membunuh singa. Hal yang sama juga dirasakan oleh Uneputti.
Namun dia tetap ingin berniat untuk membantu masyarakat Kampung Oma. Dirinya kemudian meminjam tifa kepada Bapak Raja dan memukul keras hingga suaranya sampai ke Kampung Kulur.
Suara tifa ini sampai di telinga Pattinusa. Menyadari suara tersebut berasal dari Kampung Oma, dia tahu bahwa sang adik tengah butuh bantuan.
Pattinusa langsung berangkat menuju Desa Oma. Sesampainya di sana, Uneputti langsung menyampaikan permasalahan kepada kakaknya.
Mendengarkan masalah tersebut, Pattinusa bersedia membantu. Dengan wawasan yang dia miliki, kedua kakak beradik ini berusaha menyergap singa tersebut.
Untungnya mereka berhasil mengalahkan singa tersebut tanpa perlawanan berarti. Seketika singa tersebut berubah menjadi batu dan kotorannya berubah menjadi batu besar berwarna hitam.
Oleh masyarakat setempat, batu tersebut diberi nama Batu Singa. Uneputti kemudian diangkat menjadi kepala soa dan diberi nama Latuey.
Sementara itu, Pattinusa kembali ke Kampung Kulur mengangkat pela.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News