meluruskan miskonsepsi ktr menata ruang menjaga nafas umkm - News | Good News From Indonesia 2025

Meluruskan Miskonsepsi KTR, Menata Ruang Menjaga Nafas UMKM

Meluruskan Miskonsepsi KTR, Menata Ruang Menjaga Nafas UMKM
images info

Meluruskan Miskonsepsi KTR, Menata Ruang Menjaga Nafas UMKM


Jakarta kian tumbuh bersama manusia di dalamnya. Para pekerja yang memenuhi halte setiap pagi, anak-anak yang bermain di gang kecil, dan para pelaku UMKM yang menjaga roda ekonomi tetap berputar dari warung kelontong hingga pedagang kaki lima. 

Ketika Rancangan Peraturan Daerah tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR) diperkenalkan, sebagian pelaku usaha kecil merasa menjadi sasaran seolah-olah mereka menjadi penyebab sumber masalah kesehatan kota.

Kekhawatiran itu wajar, tetapi sebenarnya keresahan dapat tumbuh karena informasi yang tak sepenuhnya utuh.

Raperda Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di Jakarta sering ditafsirkan keliru oleh para pelaku usaha kecil seperti warung kelontong, warteg, dan pedagang kaki lima yang merasa kebijakan ini akan mematikan usaha mereka. Padahal, apabila kita melihat substansinya dengan saksama, raperda ini tidak bermaksud menggulung warung-warung ibu kota.

baca juga

Melalui Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara menetapkan Kawasan Dilarang Merokok merujuk pada 7 (tujuh) tatanan, yaitu tempat belajar mengajar, fasilitas pelayanan kesehatan, tempat ibadah, angkutan umum, tempat bermain anak, tempat kerja dan tempat umum. 

Pada dasarnya, kebijakan ini dirancang untuk menata ruang agar lebih tertib. Aktivitas merokok dan penjualan rokok tetap diizinkan, namun pengaturan mengenai bagaimana, lokasi, dan batasan kepada siapa aktivitas itu boleh dilakukan, menjadi perhatian utama.

Di Indonesia, angka perokok aktif sudah menembus sekitar 70 juta orang dan sekitar 7,4% di antaranya adalah anak dan remaja usia 10-18 tahun.

Menurut Data World Health Organization (WHO), sekitar 225.700 orang Indonesia meninggal setiap tahun akibat rokok atau penyakit terkait tembakau, termasuk kanker paru, penyakit jantung, stroke, penyakit paru obstruktif kronik, serta meningkatnya risiko hipertensi dan diabetes. 

Di Jakarta sendiri hasil survei sekolah terhadap remaja laki-laki menemukan bahwa sekitar 12% dari mereka aktif merokok, dengan usia mulai merokok rata-rata hanya 13,2 tahun.

Kemudian, 24% melaporkan bahwa saat ini mereka menggunakan rokok elektrik, 28% menggunakan rokok atau rokok elektrik dan tujuh persen lainnya menggunakan rokok dan rokok elektrik secara bersamaan.

Selain itu terdapat sekitar 54,2% penduduk merokok di dalam gedung atau ruangan, dan 30,4% terpapar asap rokok setiap hari di ruang tertutup. Paparan ini tergolong tinggi karena bahkan ruang khusus merokok dengan ventilasi tetap tidak efektif mencegah paparan asap rokok. 

Meskipun hasil Cukai Hasil Tembakau dan industri rokok menyumbang pendapatan negara, namun kerugian ekonomi akibat dampak kesehatan rokok ternyata jauh lebih besar.

Studi biaya kesehatan tahun 2020 mencatat bahwa pada tahun 2017, penerimaan cukai tembakau mencapai Rp147,7 triliun, sementara kerugian ekonomi makro akibat konsumsi rokok mencapai Rp431,8 triliun.

baca juga

Di kawasan padat kota seperti Jakarta, ruang publik adalah bagian dari lanskap sehari-hari yang ramai kita temukan. Ketika muncul kebijakan KTR yang berbunyi “kawasan tanpa rokok” maka wajar saja yang dirasakan oleh pedagang kecil adalah ketakutan akan kehilangan tempat berdagang.

Padahal, yang sebenarnya diinginkan adalah agar udara Jakarta tidak terus‐menerus dipenuhi asap rokok, terutama di dekat anak-anak, sekolah, atau tempat ramai di mana hak non-perokok untuk bernapas bersih harus dilindungi.

Tidak sedikit warga yang mengeluh ketika berada di angkutan umum atau halte, masih banyak supir yang tidak ragu untuk merokok. Bahkan di warung-warung pun terkadang asap mengepul tanpa peduli ada anak kecil di dekatnya atau ibu hamil yang sedang lewat. 

Larangan merokok di KTR adalah salah satu upaya melindungi masyarakat dari bahaya asap rokok pasif yang terbukti meningkatkan risiko penyakit pernapasan, jantung, hingga kanker, bahkan bagi mereka yang tidak merokok sekalipun. 

KTR diharapkan menjadi ruang aman bagi anak-anak, perempuan, dan kelompok rentan agar dapat beraktivitas tanpa terpapar risiko kesehatan yang tidak mereka pilih.

Dengan memastikan penerapan KTR berjalan baik, tentunya Jakarta mampu menciptakan narasi bahwa ruang publik adalah benar-benar milik bersama.

Maka penting untuk menegaskan bahwa kebijakan ini bukan dikhususkan bagi UMKM yang menjual rokok. Penjualan rokok tetap diizinkan. Yang diatur adalah zona penjualan dan area merokok, agar pedagang bisa tetap beroperasi tanpa harus jadi titik konflik lingkungan atau dianggap menyumbang masalah kesehatan publik.

Dengan memperjelas pesan ini, maka kita bisa meredam opini karena miskomunikasi yang terus muncul. 

baca juga

Jika kita melihat dari sudut pandang lain, pedagang kecil menghadapi kondisi yang cukup challenging, dimana ketika margin kecil, lokasi yang padat, dan persaingan tinggi, kemudian hadir regulasi yang kurang dipahami, maka yang muncul adalah rasa terancam.

Ada kekhawatiran bahwa jika ruang merokok dibatasi, pelanggan bisa menjauh, ketentuan baru akan menambah beban, dan pembatasan di sekitar sekolah atau fasilitas publik berpotensi menyulitkan usaha. 

Persoalan tentang kesehatan publik seolah bersinggungan dengan keberlangsungan ekonomi. Hal ini justru membuka ruang untuk pendekatan baru ketika aturan dirancang dengan melibatkan UMKM sebagai mitra, maka penataan ini seharusnya mampu menjadi solusi yang menguntungkan kedua sisi.

Pemprov DKI Jakarta melalui DPRD DKI Jakarta tentunya punya ruang besar untuk menyusun implementasi yang proporsional. Misalnya zonasi yang realistis, fasilitas ruang merokok yang terjangkau bagi pedagang, serta masifnya edukasi kepada masyarakat untuk menunjukkan bahwa kebijakan ini tidak bertujuan menghalangi usaha, tetapi menciptakan ruang kota yang lebih nyaman bagi semua.

Jakarta berhak menjadi kota yang menyehatkan warganya tanpa mengorbankan mata pencaharian. Kebijakan KTR dapat menjadi jembatan antara dua kepentingan yang selama ini dianggap berseberangan. Saat udara lebih bersih, kualitas hidup membaik maka usaha kecil dapat tetap hidup, sehingga ekonomi pun menguat.

Kota besar selalu tumbuh dari sebuah kompromi yang diproses dengan baik, mungkin ini menjadi momentum kita untuk bersama-sama memastikan bahwa Jakarta mampu menjadi rumah yang lebih sehat tanpa meninggalkan satu pun warganya.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

BL
KG
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.