Banjir bandang di Bener Meriah Aceh bukan pertama kali ini terjadi. Sebelumnya, pada September 2015, banjir bandang juga mengepung dua kecamatan di Bener Meriah.
“Kami menderita,” kata Sumini, Ketua Lembaga Pengelola Hutan Kampung (LPHK) Damaran Baru, saat mengenang banjir bandang tersebut, dikutip dari Mongabay.
Walaupun jumlah korban tidak sebanyak tahun ini, peristiwa tersebut menjadi pendorong terbentuknya gerakan pengawasan hutan yang dinisiasi masyarakat sipil.
Sebab, bagi masyarakat desa, banjir tidak serta merta merupakan musibah alam. Banjir dapat menjadi tanda bahwa hutan di sekitar mereka telah rapuh.
Tutupan Hutan Aceh Terus Menyusut
Dalam tiga dekade terakhir, hutan Aceh terus menyusut. Data Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA) menunjukkan, sejak 1990 hingga 2020, provinsi ini telah kehilangan sekitar 690 ribu hektar tutupan hutan.
Pada 1990, luas tutupan hutan Aceh tercatat sekitar 3,7 juta hektar, setara sembilan kali luas Singapura. Sayangnya, dalam kurun 30 tahun, luasan itu terus berkurang. Saat ini, tutupan hutan Aceh diperkirakan tinggal sekitar 2,96 juta hektar. Hitungan tersebut belum memasukkan hutan yang tumbuh kembali atau direstorasi.
Manager GIS Yayasan HAkA, Lukmanul Hakim, menjelaskan bahwa kehilangan hutan terjadi hampir setiap tahun dengan laju yang relatif konsisten.
“Tahun 2015, Aceh kehilangan tutupan hutan seluas 21.056 hektar,” katanya.
Angka itu pun berlanjut pada tahun-tahun berikutnya, yakni 2016 (21.060 hektar), 2017 (17.820 hektar), 2018 (15.071 hektar), 2019 (15.140 hektar), 2020 (14.756 hektar), 2021 (9.028 hektar), dan 2022 (9.383 hektar).
Pada 2022, Aceh Selatan menjadi daerah dengan kehilangan tutupan hutan terbesar, mencapai 1.883 hektar. Disusul Aceh Jaya (776 hektar), Aceh Timur (753 hektar), Aceh Utara (666 hektar), dan Aceh Barat (642 hektar).
Menurut Lukman, penyebab utama berkurangnya tutupan hutan relatif klasik dan hal itu terus berulang.
“Berkurang akibat perambahan, pembalakan liar, pertambangan, hingga konversi menjadi kebun,” katanya
Yang mengkhawatirkan, kehilangan hutan tidak hanya terjadi di areal penggunaan lain atau hutan produksi. Kawasan konservasi pun ikut tergerus. Di Suaka Margasatwa Rawa Singkil, misalnya, hilang sekitar 716 hektar. Di Taman Nasional Gunung Leuser, kehilangan mencapai 179 hektar.
Damaran Baru, Desa Pertama di Aceh yang Kelompok Perempuannya Kantongi Izin Perhutanan Sosial
Damaran Baru berada di Kecamatan Timang Gajah, Kabupaten Bener Meriah, Aceh. Wilayah ini dialiri sungai Wih Gile yang menjadi sumber kehidupan warga. Sayangnya, pada faktanya, di sepanjang daerah aliran sungai inilah kerusakan hutan justru paling terasa.
Sumini dan perempuan desa kemudian menginisiasi reboisasi. Mereka menanam pohon di area yang gundul. Mengajak warga berdiskusi.
“Sejak kejadian itu, kami berusaha memperbaiki hutan dengan cara menanam kembali,” ujar Sumini.
Sayangnya, pada awal gerakan ini dicetuskan, banyak kendala yang dihadapi, salah satunya berkaitan dengan izin. Para perempuan desa belum memiliki izin resmi untuk mengelola kawasan tersebut.
Kemudian, Yayasan HAkA (Hutan Alam dan Lingkungan Aceh) melakukan pendampingan terhadap Masyarakat Damaran Baru. Pada Juni 2019, mereka mengusulkan izin pengelolaan hutan ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Skema yang diajukan adalah hutan desa. Ini bagian dari program perhutanan sosial, yaitu kebijakan negara yang memberi akses legal kepada masyarakat untuk mengelola kawasan hutan secara lestari. November 2019, izin itu akhirnya turun.
“Izin tertuang dalam Surat Keputusan Nomor: SK.9343/MENLHK-PSKL/PKPS/PSL.0/11/2019, dengan luas hutan 251 hektar. Kami menjadi desa pertama di Aceh yang izin perhutanan sosialnya diberikan kepada kelompok perempuan,” kata Sumini.
Ketua Yayasan HAkA Aceh, Farwiza, menyebut pembentukan MpU Uteun sebagai langkah penting.
“Pembentukan tim Mpu Uteun adalah hal baru, ranger perempuan pertama di Aceh. Kami harap, tim ini menjadi inspirasi seluruh masyarakat Aceh untuk melindungi hutan dan lingkungan,” ujarnya.
MpU Uteun, Ranger Perempuan Pertama di Aceh
Setelah izin dikantongi, kelompok perempuan Desa Damaran Baru memperluas perannya. Mereka tidak hanya menanam pohon sebagaimana langkahnya saat pertama kali melakukan konservasi. Mereka juga membentuk tim patroli hutan.
Tim ini diberi nama MpU Uteun, yang berarti penjaga hutan. Semua anggotanya perempuan. Mereka menjadi ranger perempuan pertama di Provinsi Aceh.
Tugas MpU Uteun adalah menjaga hutan dari aktivitas ilegal, mulai dari pembalakan liar hingga perambahan. Mereka berpatroli secara rutin. Fokus utama wilayah penjagaan ada di kawasan rawan, terutama di sekitar sungai.
“Patroli dilakukan sebagai bentuk tanggung jawab menjaga sumber-sumber keanekaragaman hayati. Kami juga giat menghijaukan hutan yang rusak, khususnya di pinggir sungai,” ujar Sumini.
Dalam praktiknya, mereka tidak berjalan sendiri. Meskipun semua anggotanya merupakan perempuan, mereka tetap melibatkan laki-laki untuk turut serta dalam hal pengawasan.
“Selama ini, melindungi hutan terkesan pekerjaan laki-laki. Tetapi kami, perempuan Gampong Damaran Baru mengambil peran tersebut. Kami juga bekerja sama dengan tim patroli laki-laki untuk jangkauan lebih jauh dari desa,” jelasnya.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News