Di tengah dunia yang bergerak cepat dan cenderung menilai kemajuan dari seberapa banyak yang bisa dieksploitasi, sebuah kampung adat di Jawa Barat justru bertahan dengan cara yang berlawanan. Kampung Kuta tidak dikenal karena gedung tinggi, proyek besar, atau geliat ekonomi modern. Kampung ini bertahan karena satu hal sederhana namun langka: tahu batas.
Alih-alih menolak perubahan secara total, masyarakat Kampung Kuta memilih untuk menyaringnya. Mereka membiarkan sebagian hal berkembang, namun secara sadar membatasi yang lain. Bagi mereka, tidak semua hal harus diubah, dan tidak semua sumber daya harus dimanfaatkan. Di sinilah Kampung Kuta menawarkan pelajaran penting bagi Indonesia hari ini.
Adat yang Bekerja sebagai Sistem Kendali
Sering kali adat dipahami sebatas simbol budaya: pakaian tradisional, upacara ritual, atau aturan turun-temurun yang dianggap kuno. Di Kampung Kuta, adat justru berfungsi lebih dalam. Ia bekerja sebagai sistem kendali sosial yang mengatur hubungan manusia dengan alam dan sesamanya.
Larangan menebang pohon sembarangan, batasan membangun rumah, hingga aturan memasuki wilayah tertentu bukan sekadar kepercayaan tanpa alasan. Aturan-aturan ini menjaga keseimbangan agar manusia tidak melampaui kapasitas alam. Tanpa istilah teknis seperti “keberlanjutan” atau “konservasi”, masyarakat Kampung Kuta telah lama mempraktikkan prinsip-prinsip tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
Hutan Keramat dan Keberanian untuk Tidak Menguasai
Salah satu ciri paling khas dari Kampung Kuta adalah keberadaan hutan keramat. Wilayah ini tidak boleh dimanfaatkan, tidak boleh dibuka, bahkan tidak boleh dieksploitasi untuk kepentingan ekonomi. Di tengah logika pembangunan yang menilai hutan sebagai sumber keuntungan, keputusan untuk membiarkan hutan tetap utuh adalah sikap yang tergolong radikal.
Hutan keramat bukan sekadar ruang sakral, melainkan simbol keberanian untuk menahan diri. Masyarakat Kampung Kuta memahami bahwa ada ruang yang harus tetap berada di luar kendali manusia. Di sinilah adat menjadi pagar yang melindungi alam dari keserakahan yang sering kali dibungkus atas nama kemajuan.
Modernisasi yang Disaring, Bukan Ditelan
Berbeda dengan anggapan umum, warga Kampung Kuta tidak hidup terisolasi. Mereka mengenal pendidikan formal, menggunakan teknologi, dan berinteraksi dengan dunia luar. Namun, modernisasi tidak diberi kuasa penuh untuk mengubah struktur hidup mereka.
Rumah tetap dibangun dengan kesederhanaan, pola hidup kolektif tetap dijaga, dan alam tetap diperlakukan sebagai bagian dari kehidupan, bukan objek eksploitasi. Modernisasi diperlakukan sebagai alat, bukan tujuan. Dengan cara ini, Kampung Kuta membuktikan bahwa menerima kemajuan tidak harus berarti kehilangan jati diri.
Menantang Cara Kita Memaknai Pembangunan
Kisah Kampung Kuta menantang cara umum kita memaknai pembangunan. Selama ini, kemajuan sering diukur dari pertumbuhan ekonomi, ekspansi wilayah, dan peningkatan produksi. Kampung Kuta justru mengajarkan bahwa kemajuan juga bisa diukur dari kemampuan untuk membatasi diri.
Dalam konteks krisis lingkungan, konflik agraria, dan pembangunan yang kerap mengorbankan ruang hidup, pendekatan Kampung Kuta terasa semakin relevan. Mereka tidak menunggu regulasi negara atau tekanan global untuk menjaga alam. Nilai adat telah lebih dulu membentuk kesadaran kolektif tentang batas yang tidak boleh dilanggar.
Pelajaran Sunyi dari Kampung Kuta
Kawan GNFI, Kampung Kuta mungkin tidak menawarkan solusi instan atau model pembangunan yang bisa disalin mentah-mentah. Namun, kampung ini memberikan pelajaran sunyi yang penting: keberlanjutan tidak selalu lahir dari inovasi besar, tetapi sering kali dari keputusan sederhana untuk berhenti sebelum terlambat.
Di saat dunia berlomba untuk terus memperluas, Kampung Kuta memilih untuk menjaga. Di saat kemajuan sering diukur dari seberapa banyak yang bisa diambil, Kampung Kuta menunjukkan bahwa menahan diri juga merupakan bentuk kebijaksanaan. Barangkali, di tengah krisis ekologis hari ini, pelajaran paling berharga justru datang dari mereka yang berani berkata cukup.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News