Bencana alam yang terjadi pada akhir bulan November ini menyebabkan banyak kerusakan dan kerugian bagi masyarakat. Banyak korban bencana mengalami trauma.
Proses pemulihan ini tidak hanya bergantung pada kondisi fisik tetapi juga pada penanganan trauma psikologis.
Keadaan yang Tak Stabil, Datang Tiba-tiba tanpa Diminta
Memasuki akhir tahun sudah menjadi sorotan masyarakat Indonesia untuk senantiasa bersiap sedia ke mana pun pergi. Tentu saja, dapat dikatakan bahwa bulan kemarin hingga saat ini adalah bulan hujan.
Namun, kali ini berbeda Kawan, hujan deras di Sumatra Barat menyebabkan banjir bandang serta tanah longsor yang merusak ribuan rumah warga dan berdampak terhadap ratusan ribu jiwa.
Trauma Healing sebagai langkah awal:
Menurut (Siregar et al., 2022) dalam jurnal LOCUS: Penelitian & Pengabdian, ada beberapa langkah trauma healing yang dapat dilakukan pascabencana, di antaranya:
a. Memberi Waktu kepada Korban untuk Menyesuaikan Diri
Langkah pertama dan yang paling fundamental adalah validasi waktu. Tidaklah mudah untuk menyesuaikan diri pascabencana terjadi; efek dari bencana dianggap sebagian orang biasa saja dan sebagian lainnya ada yang menganggapnya sulit untuk dilupakan (Masrukin, 2020).
Kita harus memahami bahwa setiap individu memiliki "jam biologis dan psikologis" yang berbeda dalam merespons guncangan. Fase awal pascabencana sering kali disebut sebagai fase shock atau penyangkalan, di mana korban seolah mati rasa terhadap realitas yang baru saja menghancurkan tempat tinggal mereka.
Dalam konteks ini, mendesak korban untuk segera "bangkit" atau "melupakan" justru bisa menjadi kontraproduktif dan memicu kecemasan yang lebih dalam.
Proses adaptasi ini melibatkan penerimaan terhadap rasa kehilanganābaik itu kehilangan harta benda, kenangan, maupun orang terkasih. Memberi waktu berarti menciptakan ruang aman bagi mereka untuk berduka (grieving) tanpa penghakiman. Bagi sebagian lansia, penyesuaian ini mungkin terasa lebih berat karena memori seumur hidup mereka terhapus oleh longsor dalam sekejap.
Sementara bagi anak-anak, ketidakmampuan verbal untuk mengungkapkan ketakutan sering kali bermanifestasi menjadi perilaku regresi atau kemunduran. Oleh karena itu, kesabaran dari lingkungan sekitar dan relawan adalah kunci utama agar korban tidak merasa didesak untuk sembuh sebelum waktunya.
b. Memberi Dukungan (Motivasi)
Dukungan berupa afirmasi positif yang dapat diberikan seperti kata-kata semangat, mendengarkan cerita yang mereka alami, dan memberi solusi mengenai traumatisnya (Irwanto & Kumala, 2020).
Dukungan ini tidak melulu harus berbentuk nasihat teknis atau bantuan materi. Kehadiran fisik yang tulus (presence) sering kali jauh lebih menyembuhkan. Metode active listening atau mendengarkan secara aktif menjadi instrumen vital di sini. Ketika korban menceritakan detik-detik mengerikan saat banjir bandang datang, mereka sebenarnya sedang melepaskan beban emosi yang menumpuk di dada.
Tugas kita sebagai pendamping bukanlah untuk memotong pembicaraan dengan kalimat klise seperti "syukuri saja masih hidup," melainkan memvalidasi perasaan mereka dengan kalimat seperti, "Saya mengerti betapa beratnya hal ini bagi Kalian, dan tidak apa-apa untuk merasa takut sekarang."
c. Melakukan Kembali Rutinitas Harian
Pola kegiatan keseharian yang biasa dilakukan merupakan bentuk dari rutinitas keseharian (Irsandi, 2022). Kegiatan ini tidak lepas dari apa yang biasanya kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari.
Mengapa rutinitas itu penting? Bencana alam pada hakikatnya adalah kekacauan (chaos) yang merenggut kendali seseorang atas hidupnya. Dengan mengembalikan rutinitas sederhana, kita membantu korban mengambil alih kembali kendali tersebut (sense of control). Ini bisa dimulai dari hal-hal kecil di pengungsian atau hunian sementara, seperti bangun pagi di jam yang sama, membersihkan tempat tidur, memasak bersama di dapur umum, atau beribadah secara berjamaah.
Keinginan Kuat Bertahan dalam Kondisi yang Tak Baik-baik Saja
Ketika melewati masa-masa sulit, para warga tetap berusaha mencari cara untuk tetap bertahan. Mungkin mereka masih dihantui rasa takut, tetapi di balik itu mereka berusaha untuk bisa hidup kembali normal, layaknya hidup sebelum bencana terjadi. Dalam proses penyembuhan trauma, tidak semua luka bisa hilang secepatnya. Namun, keberanian untuk menghadapi hari demi hari dengan hati yang tegar adalah bentuk nyata dari resiliensi psikologis yang baik.
Dari setiap bencana, kita belajar bahwa ketangguhan bukan hanya soal berdiri kembali, tapi juga tentang bagaimana kita saling menguatkan. Sudah saatnya masyarakat lebih peka terhadap kesehatan mental para korban, karena pemulihan sejati tak hanya membangun rumah yang runtuh, tetapi juga hati yang terluka. Mari kita mulai dari hal sederhana: memberi waktu untuk mendengarkan, menyapa dengan tulus, dan menebar rasa aman di sekitar kita.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News