menilik peran kapabilitas ekstraktif dalam bencana alam yang terjadi di sumatra - News | Good News From Indonesia 2025

Menilik Peran Kapabilitas Ekstraktif dalam Bencana Alam yang Terjadi di Sumatra

Menilik Peran Kapabilitas Ekstraktif dalam Bencana Alam yang Terjadi di Sumatra
images info

Menilik Peran Kapabilitas Ekstraktif dalam Bencana Alam yang Terjadi di Sumatra


Sumatra sedang tidak baik-baik saja. Baru-baru ini terjadi rentetan bencana hidrometeorologi, seperti banjir bandang, tanah longsor, hingga lahar dingin yang menghantam wilayah Sumbar, Aceh, hingga Sumut.

Hal tersebut bukanlah sekedar "amukan alam", ada unsur tangan manusia yang bekerja dalam senyap. Hal tersebut juga berkaitan dengan salah satu kapabilitas sistem politik, yaitu disebut dengan kapabilitas ekstraktif.

Secara teoritis, Gabriel Almond dan G. Bingham Powell dalam karya klasik mereka, yang berjudul Comparative Politics: A Developmental Approach (1966), mendefinisikan kapabilitas ekstraktif sebagai kemampuan sistem politik (negara) untuk menarik sumber daya dari lingkungan domestik maupun internasional.

Dalam konteks ideal, kemampuan ini digunakan untuk mengumpulkan pajak atau sumber daya guna pembangunan layanan publik bagi masyarakat.

baca juga

Namun, definisi ini justru mengalami pergeseran makna yang cukup meresahkan ketika diterapkan dalam konteks ekonomi politik negara berkembang yang kaya akan sumber daya alam.

Dalam kutipan lain, Daron Acemoglu dan James Robinson dalam buku fenomenal mereka, Why Nations Fail (2012), memberikan kerangka yang lebih kritis melalui konsep "institusi ekstraktif".

Mereka menggambarkan bagaimana elit politik dan ekonomi merancang institusi untuk menyedot kekayaan dari satu bagian masyarakat (atau alam) demi keuntungan segelintir orang.

Dalam konteks Sumatra, kapabilitas ekstraktif ini mewujud dalam bentuk obral izin tambang, konversi hutan menjadi perkebunan monokultur, deforestasi yang berlebihan untuk keperluan perusahaan, dan pengerukan material bumi yang masif.

Negara hadir dengan "otot" yang kuat untuk memberikan izin ekstraksi (mengambil), tetapi sering kali lumpuh ketika harus melakukan fungsi regulatif (mengatur dan melindungi).

Ketimpangan inilah yang menjadi pintu masuk malapetaka dan juga terbukanya akses bagi oknum yang tidak bertanggung jawab.

Dikutip dari berbagai sumber, seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK RI) dan lain-lain, Pengaturan sektor ekstraktif di Indonesia utamanya diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba), yang kemudian disempurnakan oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020, serta peraturan pelaksana seperti PP No. 96 Tahun 2021 dan perubahannya, yang mencakup izin, pengelolaan lingkungan, pemberdayaan masyarakat, dan nilai tambah.

Selain itu, ada juga undang-undang lain yang relevan seperti UU Minerba, UU Perseroan Terbatas (Pasal 74 untuk CSR), dan UU Sumber Daya Air, tergantung jenis ekstraksi yang dimaksud.

Bencana yang terjadi di Sumatra baru-baru ini adalah bukti nyata kegagalan negara dalam menyeimbangkan hasrat ekonomi dengan daya dukung lingkungan. Dikutip dari laman artikel Respublica, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menegaskan bahwa banjir dan longsor yang melanda wilayah Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat merupakan konsekuensi dari meningkatnya kerentanan ekologis.

Perubahan bentang alam pada ekosistem penting seperti kawasan hutan, ditambah dampak krisis iklim, disebut menjadi faktor utama pemicu bencana.

Berdasarkan catatan WALHI, sepanjang 2016—2025 tercatat 1,4 juta hektare hutan di 3 provinsi tersebut hilang akibat aktivitas 631 perusahaan pemegang izin tambang, perkebunan sawit, PBPH, geothermal, PLTA hingga PLTM.

Hal tersebut tentunya menjadi faktor pemicu bagaimana bencana ini terjadi. Namun beberapa pihak menyebutkan bahwa bencana ini terjadi hanya karena alam, bukan karena kerusakan ekologis.

Hanya saja, menurut penulis, hal tersebut tidak bisa dijadikan sebuah faktor penentu. Melihat bagaimana hutan dan lingkungan sekarang yang dikelola tanpa izin tertentu, bisa saja menjadi faktor penentu yang sebenarnya.

baca juga

Dalam Teori Political Ecology yang dipopulerkan oleh Piers Blaikie mengingatkan kita bahwa bencana alam jarang sekali "alami". Bencana adalah produk dari struktur sosial-politik yang meminggirkan kerentanan lingkungan demi akumulasi modal untuk segelintir orang.

Mari, kita ambil contoh banjir lahar dingin dan longsor di sekitar Gunung Marapi di Sumatra Barat, atau banjir bandang di Sumatra Utara. Narasi yang sering muncul di media atau publik adalah “curah hujan ekstrem”.

Padahal, curah hujan hanyalah pemicu (trigger), bukan akar penyebab masalahnya. Akar dari masalahnya adalah hilangnya tutupan hutan yang seharusnya menjadi spons alami penyerap air.

Hutan-hutan ini hilang bukan karena sihir, melainkan karena bekerjanya kapabilitas ekstraktif tadi, seperti penerbitan HGU (Hak Guna Usaha) perkebunan sawit, izin pertambangan galian C, dan aktivitas ilegal yang "dibiarkan" oleh aparat (sebuah bentuk state capture).

Ketika hutan di hulu digunduli atas nama "Pendapatan Asli Daerah" (PAD) atau investasi, maka air hujan tidak lagi memiliki hambatan untuk meluncur deras ke hilir, membawa material tanah, batu, dan kayu gelondongan yang menghantam pemukiman warga.

Di sinilah letak tragisnya, negara sangat kapabel dalam mengekstraksi profit dari alam, tetapi kehilangan kapabilitasnya untuk melindungi rakyat dari dampak ekstraksi tersebut.

Rentetan bencana di Sumatra harus menjadi lonceng peringatan keras bagi para pemangku kebijakan. Kita tidak bisa berlindung lagi di balik eufemisme “musibah”.

Apa yang terjadi adalah konsekuensi logis dari penerapan kapabilitas ekstraktif yang ugal-ugalan tanpa diimbangi oleh kapabilitas regulatif dan distributif yang kurang memadai.

Bencana alam yang terjadi ini bukanlah karena alam semata, tetapi juga karena adanya “dosa ekologis” yang telah dilakukan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.

Kesimpulannya, selama paradigma pembangunan di Sumatra masih bertumpu pada eksploitasi sumber daya alam yang rapuh, bencana akan terus berulang dengan intensitas yang mungkin lebih mengerikan.

Pemerintah daerah dan pusat harus berani melakukan moratorium izin tambang dan perkebunan di wilayah rawan bencana, serta menegakkan hukum lingkungan tanpa pandang bulu.

Seperti yang pernah dikatakan oleh Mahatma Ghandi, “Earth provides enough to satisfy every man's needs, but not every man's greed.”

Kapabilitas ekstraktif negara harusnya digunakan untuk mengelola kebutuhan (needs), bukan memfasilitasi keserakahan (greed) yang pada akhirnya mengorbankan nyawa rakyat sendiri.

Dari kutipannya, tersimpan pesan yang dalam, yang mana bumi sendiri sudah cukup untuk menyediakan kebutuhan manusia, tetapi tidak untuk keserakahan setiap orang.

baca juga

Sudah saatnya kita Kawan GNFI mengembalikan fungsi hutan dan alam sebagai pelindung, bukan hanya sekadar mesin penyedot kekayaan alam ataupun hutan di Indonesia. Mari, kita jaga dan lestarikan hutan dan alam sebagai penopang dan penjaga negara untuk mengantisipasi terjadinya bencana yang lain dan juga untuk memperkuat peranan hutan kita sebagai paru-paru dunia.

Saya, selaku penulis menutup artikel opini ini dengan sebuah tagline “Selamatkan Hutan, Selamatkan Masa Depan”.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

AM
KG
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.