krisis iklim mengakibatkan meningkatnya kekerasan berbasis gender - News | Good News From Indonesia 2025

Krisis Iklim Mengakibatkan Meningkatnya Kekerasan Berbasis Gender

Krisis Iklim Mengakibatkan Meningkatnya Kekerasan Berbasis Gender
images info

Krisis Iklim Mengakibatkan Meningkatnya Kekerasan Berbasis Gender


Hampir tiga pekan banjir di tiga provinsi Pulau Sumatera tepatnya di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat terjadi. Namun, pemerintah Indonesia belum dapat menanganinya dengan baik dan belum menetapkan status bencana nasional. 

Bencana ekologis menewaskan 1059 jiwa, 7000 orang terluka, serta setidaknya 192 orang hilang menurut sumber data dari BNPB per 17 Desember 2025. 

Krisis iklim bukan lagi menjadi ancaman masa depan, tetapi sudah terjadi saat ini. Siklon Tropis Senyar yang terjadi di akhir November silam, hampir tidak mungkin terjadi di wilayah tropis menjadi salah satu bukti nyata krisis iklim hadir di depan mata yang diperparah oleh tindakan alih fungsi lahan (situs: Greenpeace). 

Krisis Iklim dan Pengaruhnya Terhadap Perempuan

Tak hanya merenggut nyawa banyak manusia, krisis iklim juga menimbulkan isu-isu sosial dan ekonomi. Hal tersebut dapat meningkatkan resiko kekerasan berbasis gender (KBG). 

Perempuan kerap kali menghadapi isu ketidaksetaraan dalam kehidupan sehari-hari. Namun, di kondisi cuaca ekstrem maupun bencana ekologis yang mengharuskan mereka mengungsi mengingat keterbatasan bahan pangan dan ketidakstabilan ekonomi membuat perempuan lebih rentan mengalami kekerasan. 

Dikutip dari artikel berjudul Climate crisis driving surge in gender-based violence, UN study finds, setiap kenaikan suhu global sebesar 1°C dikaitkan dengan peningkatan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sebesar 4,7%. Dalam skenario 2°C, diperkirakan 40 juta lebih perempuan dan anak perempuan akan mengalami KDRT setiap tahunnya pada tahun 2090. Dalam skenario 3.5°C, angka tersebut dapat meningkat lebih dari dua kali lipat. 

Tak hanya itu, perempuan juga rawan mengalami KBG pada saat evakuasi ke tempat pengungsian maupun di tempat pengungsian. Termasuk juga meningkatnya isu femisida, perdagangan, pelecehan seksual, pernikahan usia dini, dan pemerkosaan, terlebih untuk perempuan yang menjadi environmental human rights defenders

Kekerasan Berbasis Gender di Situasi Darurat di Indonesia 

Menurut dari situs Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), pasca bencana di Sulawesi Tengah, sebanyak 67 kasus KBG terjadi dan 70 kasus perkawinan anak pada periode Oktober-Maret 2019. 

Pasca gempa di Padang, mirisnya terjadi 3 kasus pemerkosaan. Sementara satu minggu setelah gempa di Lombok kasus pelecehan seksual menimpa anak.

Cerita Pilu dari Aceh

Seorang mahasiswi dari Kota Langsa menjadi korban kekerasan seksual oleh supir truk yang ditumpanginya saat hendak menyelamatkan diri dari banjir di Kabupaten Aceh Tamiang. 

Kasus tersebut viral usai video sebuah truk dan sopirnya yang dikepung warga Aceh Tamiang tersebar di media sosial. 

Arifah Fauzi, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, menyatakan akan mengusut tuntas kasus ini. Dirinya juga mengaku berkomitmen memberikan perlindungan kepada para perempuan dan anak di tengah situasi bencana yang melanda tiga provinsi di Sumatera. 

Hingga saat ini, pemeriksaan terhadap pelaku oleh pihak kepolisian masih berjalan mengingat terbatasnya akses informasi di lokasi bencana akibat putusnya arus listrik dan gangguan jaringan sehingga pihak Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) kesulitan dalam melakukan verifikasi di lokasi kejadian. 

Cara-cara Menanggulangi Kekerasan Berbasis Gender dalam Krisis Iklim

1. Pengarusutamaan Gender dan HAM dalam Respon Penanggulangan Bencana

Perlunya kesigapan pemerintah di level daerah, provinsi, nasional untuk merespon bencana terutama dalam upaya penanggulangan dengan prinsip inklusivitas dan pengarusutamaan responsif gender & HAM yang terpadu dan sistematis. 

Perempuan mainkan peran ganda di situasi darurat dengan menjaga anggota keluarganya yang terluka, merawat anak, mencari makanan untuk keluarganya.

Selain itu, mereka juga memerlukan kebutuhan-kebutuhan khusus yang tidak bisa ditunda seperti ibu hamil yang memerlukan nutrisi ekstra untuk dirinya dan bayinya; meningkatnya resiko penyakit; minimnya ruang privasi untuk menyusui di lokasi bencana; sulitnya akses ruang aman untuk perempuan, anak, dan disabilitas; keterbatasan perlengkapan reproduksi dan air bersih saat menstruasi; kebutuhan khusus penyandang disabilitas;kebutuhan lansia; dan kebutuhan lainnya. 

Sudah saatnya perempuan tidak hanya dilihat hanya sebagai korban, tetapi sebagai aktor yang berdaya dan mampu menyuarakan haknya untuk hidup di lingkungan yang sehat dan layak. 

2. Libatkan Perempuan dalam Inisiatif Sektor Ekonomi Hijau

Melibatkan perempuan di dalam inisiatif untuk sektor green jobs yang berkelanjutan. Perempuan juga berhak berdaya secara ekonomi. 

Perempuan dan anak perempuan kerap kali memiliki beban kerja lebih banyak terutama dalam hal pekerjaan domestik di rumah. Di daerah yang minim air bersih, salah satu dampak dari krisis iklim adalah kekeringan.

Perempuan harus mengalokasikan waktu lebih banyak berjalan kaki supaya mendapatkan akses air bersih yang bisa digunakan untuk memasak, minum, mandi, dan lain sebagainya. Masalah lain dapat timbul seperti penyakit dari air yang tidak higienis yang mereka konsumsi. 

Dengan kondisi-kondisi tersebut, sulit untuk perempuan mengalokasikan waktu untuk bekerja seperti mengelola pertanian lahan kecil. Parahnya di kondisi kekeringan, mereka tidak dapat bertani, yang berujung tidak memiliki penghasilan.

Menurut riset Perserikatan Bangsa-Bangsa di bulan April 2025, gelombang panas dapat meningkatkan resiko femisida sebesar 28%.

3. Memperkuat Kepemimpinan dan Keterlibatan Perempuan dalam Mengatasi Krisis Iklim

Sangat krusial untuk dapat mengerti mengenai kompleksnya situasi yang perempuan alami di semua kondisi tanpa keterlibatan perempuan di dalamnya.

Posisi perempuan patut dilihat sebagai aktor yang bukan hanya sebagai pelengkap, tetapi memainkan peran aktif kepemimpinan di dalam perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan.

Dengan melibatkan perempuan dalam proses pengambilan kebijakan krisis iklim, kita dapat lebih memahami dan merumuskan mitigasi yang berkelanjutan supaya bisa beradaptasi bahkan mengatasi krisis iklim lewat perspektif perempuan.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

DP
KG
Tim Editorarrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.