kidulting dari lensa psikologi - News | Good News From Indonesia 2025

Kidulting dari Lensa Psikologi, 'Plester Mental' yang Dibungkus dalam Kotak Mainan

Kidulting dari Lensa Psikologi, 'Plester Mental' yang Dibungkus dalam Kotak Mainan
images info

Kidulting dari Lensa Psikologi, 'Plester Mental' yang Dibungkus dalam Kotak Mainan


Pernahkah Kawan GNFI berhenti sejenak dan melihat tren yang belakangan ini menjamur? Adalah orang dewasa dengan segala tanggung jawab, cicilan, deadline, dan tekanan kerja menghabiskan uang, bahkan waktunya untuk membeli mainan?

Ya, inilah kidulting, fenomena di mana Millenial dan Gen Z (dewasa berumur 25—35) mengoleksi action figure mahal atau kartu Pokémon yang langka, membeli koin dalam video game, merakit lego, dan menonton kartun serta membaca komik kesukaan pada masa kecil.

Sebagai contoh, perusahaan POP MART yang memproduksi blind box figure, seperti Hirono, Dimoo, dan Kubo atau gantungan tas seperti Labubu dan CryBaby. Bahkan produk-produk ini sering sold out dalam sekejap diawal rilis.

Dari luar, ini mungkin terlihat seperti sikap kekanak-kanakan, membuang waktu pada barang yang tidak penting. Bisa juga dianggap sebagai sebuah pelarian yang mahal dari realita. Namun, jika dilihat dari sudut pandang psikologi, fenomena ini jauh lebih kompleks dan menarik.

baca juga

Kidulting bukan sekadar hobi atau gaya hidup, ini adalah mekanisme koping, sebuah cara untuk mempertahankan kesehatan mental di tengah dunia yang serba cepat dan tidak pasti.

Namun, bagaimana benda-benda sederhana dari masa kecil kita bisa berubah menjadi benteng pertahanan mental daripada solusi dewasa pada umumnya?

Untuk itu, kita perlu menyusuri kembali jejak masa lalu. Ada teori psikologi yang menjelaskan mengapa kita justru menemukan kedamaian terbesar di dalam kotak memori yang paling sederhana.

Dari Dekapan Hangat menuju Kemandirian

Untuk memahami kidulting kita harus kembali ke dasar, yaitu rasa aman. Seorang dokter anak dan psikoanalis D.W. Winnicott, (1971) memperkenalkan teori objek transisional.

Objek ini adalah benda pertama seperti boneka atau guling kesayangan yang membantu anak merasa aman dan nyaman saat mulai terpisah dari ibunya. Inilah pegangan kuat yang memfasilitasi transisi menuju kemandirian.

Lantas bagaimana dengan orang dewasa? Kita bertempur dengan transisi kehidupan tanpa henti, kecemasan akan masa depan, mencari rasa aman ditengah ketidakpastian, tekanan karier, perubahan lingkungan sosial. Saat dunia luar terasa terlalu bising dan menuntut, datanglah mainan sebagai objek transisional dewasa.

Data dari Survei TSurvey.id (2024) dengan 1,569 responden dengan rentang umur 25—35 tahun. Hasil menunjukkan 80% responden merasakan ikatan emosional yang kuat dengan barang barang yang mengingatkan dengan masa kecilnya.

Dilanjut dengan 75% responden sering membeli mainan seperti action figure untuk dikoleksi. Terakhir, 65% responden merasa senang ketika mengeluarkan uang untuk membeli barang yang dulu saat kecil belum bisa dibeli, bahkan 40% responden rela membayar lebih untuk barang edisi terbatas atau berlisensi resmi.

Diperkuat dengan tesis yang dilakukan untuk mengkaji objek transisional dewasa dan menunjukkan bahwa objek fisik lebih mudah mengatur regulasi emosi dan ketenangan diri.

baca juga

Benda Nyata yang Menstabilkan Jiwa

Sadar atau tidak, ada alasan mengapa kita lebih memilih menggenggam action figure atau menyusun balok-balok Lego dibandingkan hanya menatap gambarnya di layar ponsel. Rahasianya ada pada koneksi sensori dan menariknya ada studi kasus mengenai penerapan teori Winnicott pada orang dewasa. Hasilnya ditemukan bahwa keberadaan objek fisik jauh lebih efektif dalam membantu kita mengatur emosi dan menenangkan diri (affect regulation and soothing) (Joshi, 2008).

Coba bayangkan di dunia luar yang serba tidak pasti, mainan kita memberikan sesuatu yang sangat berharga, yaitu prediktabilitas. Saat tangan kita menyentuh tekstur mainan atau mendengar bunyi klik saat dua balok Lego menyatu, otak kita menerima umpan balik sensori yang nyata.

Hal sesederhana ini sebenarnya sedang bekerja menurunkan tingkat kortisol atau hormon stres lebih cepat daripada saat kita hanya scrolling media sosial.

Mainan-mainan ini memberikan kita rasa kontrol yang sering hilang di kehidupan nyata. Di tempat kerja, mungkin kita tidak bisa menentukan beban kerja, revisi, atau keputusan atasan yang mendadak.

Namun, di atas rak koleksi, kitalah pemegang kendalinya. Kita bebas menentukan di mana mainan diletakkan, bagaimana ia disusun, hingga kapan dibersihkan.

Kekuasaan kecil ini membantu memulihkan kepercayaan diri kita yang terkikis oleh stres sehari-hari.

Pada akhirnya kalau dipikir-pikir lagi, kidulting itu bukan cuma hobi mahal atau cara kita lari dari kenyataan. Ini adalah salah satu cara untuk bilang kalau kesehatan mental itu penting dan nostalgia adalah obat yang sah secara psikologis.

Koleksi yang ada di rak atau meja belajar kita, entah itu gundam atau bukan hanya barang mati. Mereka adalah barang yang membantu kita tetap waras.

Dengan membiarkan diri kita kembali bermain, kita sebenarnya sedang memberi napas bagi jiwa yang mungkin sudah terlalu sesak oleh urusan dewasa.

baca juga

Kita tidak sedang melarikan diri dari tanggung jawab. Hanya mengisi ulang energi supaya bisa kembali berjuang dengan versi diri yang lebih segar.

Jadi, kebahagiaan sesederhana merakit satu kotak mainan bisa membantu kita melewati minggu yang berat. Kalau Kawan GNFI sendiri, adakah mainan yang masih sangat disukai sampai saat ini?

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

MA
KG
Tim Editorarrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.