bukan sekadar drama mengapa reaksi emosionalmu kadang terasa berlebihan - News | Good News From Indonesia 2025

Bukan Sekadar 'Drama': Mengapa Reaksi Emosionalmu Kadang Terasa Berlebihan?

Bukan Sekadar 'Drama': Mengapa Reaksi Emosionalmu Kadang Terasa Berlebihan?
images info

Bukan Sekadar 'Drama': Mengapa Reaksi Emosionalmu Kadang Terasa Berlebihan?


Pernahkah Kawan merasa meledak secara emosional, menangis hebat, atau bahkan ingin menarik diri sepenuhnya hanya karena sebuah teguran kecil atau kejadian sepele? Sering kali, kita menghakimi diri sendiri sebagai sosok yang "lemah" atau "terlalu drama".

Namun, dr. Jimmy Ardian, seorang psikiater, memberikan sudut pandang yang lebih welas asih: reaksi tersebut bukanlah cacat karakter, melainkan sinyal dari luka masa lalu yang sedang berbicara di masa kini.

Memahami Konflik di Dalam Kepala

Langkah pertama dalam pemulihan adalah memahami mengapa kita sulit menerima diri sendiri. Dr. Jimmy menjelaskan bahwa di dalam pikiran kita sering kali terjadi perpecahan menjadi dua sisi. Bayangkan ada dua orang di kepala Kawan: sisi yang "tidak diterima" (misalnya diri yang haus validasi atau merasa kecil) dan sisi yang "tidak menerima" (sang pengritik internal).

Untuk berdamai, kita harus membangun "jembatan" di antara keduanya. Sisi yang tidak menerima biasanya memiliki niat baik, seperti ingin kita berprogres atau melindungi kita dari rasa malu.

Sementara itu, sisi yang tidak diterima sebenarnya bukan sedang berdrama; ia sedang berteriak kesakitan karena luka lama, seperti pengabaian (abandonment issue) atau trauma masa kecil.

baca juga

Ketika kedua sisi ini saling mengenali niat dan rasa sakit masing-masing, ketegangan batin akan mulai melonggar dan jembatan penerimaan diri mulai terbangun.

Sumber: YouTube Wellspring Conversations -
info gambar

Sumber: YouTube Wellspring Conversations - "Triggered vs Threatened: Memahami reaksi emosional pada trauma" bersama dr. Jimmy Ardian, Sp.KJ (Psikiater).


Perbedaan "Triggered" dan "Threatened"

Salah satu poin krusial dalam menavigasi emosi adalah kemampuan membedakan antara rasa terancam (threatened) dan tercetus (triggered).

Dr. Jimmy menggunakan analogi ular untuk menjelaskannya. Jika ada seekor ular berbisa tepat di depan Kawan, wajar jika Kawan panik dan lari. Itulah threatened—ada bahaya nyata, dan respon Kawan adalah bentuk penyelamatan diri yang logis. Solusinya adalah mengubah keadaan atau menjauh.

Namun, jika Kawan mengalami serangan panik hanya karena melihat motif ular pada tas seseorang, itulah triggered. Secara realitas Kawan aman. Namun, memori traumatis masa lalu mencetuskan reaksi yang sama kuatnya dengan ancaman nyata.

Dr. Jimmy menekankan sebuah kutipan penting: "If it is hysterical, it is historical." Jika reaksi Kawan saat ini terasa sangat berlebihan (hysterical), maka hampir pasti itu berasal dari sejarah masa lalu Kawan (historical).

Mengapa Berhenti Menyalahkan Itu Penting?

Informasi menarik yang sering terlewat adalah kaitan antara sikap menyalahkan dan tingkat trauma.

Dr. Jimmy membagikan riset tentang korban kecelakaan kendaraan bermotor. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa mereka yang cenderung menyalahkan orang lain atau keadaan secara terus-menerus memiliki skor gejala trauma yang jauh lebih tinggi.

Sebaliknya, mereka yang mampu mengakui kejadian tersebut sebagai fakta—tanpa terjebak dalam siklus menyalahkan—cenderung lebih cepat pulih.

baca juga

Hal ini menunjukkan bahwa untuk sembuh, kita perlu mulai mengambil jarak dari memori tersebut. Kita perlu sadar bahwa ingatan tersebut adalah bagian dari sejarah kita, tetapi bukanlah diri kita yang sekarang.

Teknik Regulasi: Bottom-Up dan Top-Down

Meskipun bantuan profesional adalah yang utama, dr. Jimmy memberikan strategi mandiri untuk mengelola emosi yang intens:

  1. Mekanisme Bottom-Up (Tubuh ke Otak): Teknik ini berfokus pada sensasi fisik. Saat trauma tercetus, tubuh bisa jatuh ke dua ekstrem. Jika Kawan merasa tegang atau gelisah (hyper-arousal), tenangkan tubuh dengan memperlambat napas atau merelaksasi otot. Namun, jika Kawan merasa dingin atau kehilangan tenaga (hypo-arousal), bangkitkan energi dengan gerakan fisik ringan agar kondisi mental Kawan membaik.

  2. Mekanisme Top-Down (Otak ke Tubuh): Teknik ini menggunakan kekuatan pikiran Kawan untuk menjangkar diri di masa kini. Saat pikiran Kawan mulai liar, lakukan teknik grounding. Fokuslah pada apa yang bisa Kawan lihat, dengar, dan raba saat ini. Cara ini akan memperlambat proses kognitif yang mengganggu sehingga emosi Kawan ikut mereda.

Kamu Lebih Besar dari Label Apapun

Sebagai penutup, dr. Jimmy memberikan pesan mendalam mengenai identitas. Ia mengoreksi cara kita berbicara pada diri sendiri. Alih-alih mengatakan "Saya punya depresi," katakanlah "Saya sedang mengalami depresi."

Depresi atau trauma bukanlah benda kepunyaan yang permanen. Kawan adalah individu yang utuh, dan kondisi mental hanyalah pengalaman yang sedang Kawan lalui.

Meskipun akses ke kesehatan mental masih menjadi tantangan di banyak daerah, setiap orang memiliki kesempatan untuk pulih.

Langkah awal menuju kesembuhan dimulai saat Kawan berhenti melabeli diri sebagai "produk gagal" dan mulai melihat diri Kawan sebagai seseorang yang berhak mendapatkan pertolongan.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

RA
KG
Tim Editorarrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.