Meski tak semewah Jalan Braga (Bandung) ataupun Sayidan Jogja, Gang Sedeng mampu menghadirkan spirit keduanya. Sebab, sejak lama kawasan ini dikenal sebagai sudut kreatif kaum urban Bojonegoro.
Sejumlah Ibu-ibu dan nenek-nenek terlihat keluar rumah, membawa dan menyuguhkan sejumlah makanan. Banyaknya hidangan memenuhi meja, kian memperhangat suasana. Keakraban dan keguyuban tampak jelas dari raut wajah mereka. Tak ada panggung. Tak ada pagar. Para musisi memainkan peralatannya di sebuah tembok beton rendah yang berfungsi sebagai bangku duduk di pinggir jalan.
Gaharnya betotan bass yang berpadu genjrengan gitar dan pukulan kajon, seperti gelombang yang menyelimuti dinding beton. Distorsinya tak begitu keras. Namun betekstur tegas, lembut menyisir lorong sempit penuh coretan graffiti tersebut. Dentuman Kesepian Kita (Pas Band), Kepastian yang Kutunggu (Gigi), hingga Milikmu (Boomerang), dibawakan secara like a pro, terdengar seperti aslinya.
Prejengan para pemain musiknya memang seperti kontraktor, karyawan swasta, atau bapak-bapak pemukiman pada umumnya. Namun skill membetot bass, mencabik treble strings, ketepatan menampar kajon, hingga kemampuan scream vocal tipis-tipisnya, sudah cukup menunjukan bahwa mereka bukan bapak-bapak biasa.
Gang Makam Sedeng sejak lama dikenal sebagai tempat yang diberkahi banyak seniman. Pelukis, pemahat, hingga musisi banyak berkediaman di sana. Praktis, penampilan live musik juga dilakukan warga sendiri. Sebab, mayoritas warganya adalah mantan Anak Band era 90-an. Tentu saja ini terlihat dari pilihan lagu yang mereka bawakan.
Baca Selengkapnya