Manusia purba adalah manusia yang hidup pada masa sebelum tulisan ditemukan. Manusia purba yang tertua dipercaya berusia sekitar lebih dari 4 juta tahun yang lalu. Indonesia sendiri merupakan salah satu tempat dimana banyak sekali ditemukan fosil dan artefak hasil kebudayaan dari amnusia tersebut.
Persebararan penemuan manusia purba banyak ditemukan di Pulau Jawa. Namun, ada satu penemuan yang berlokasi di Pulau Flores, yaitu Homo floresiensis.
Homo floresiensis atau juga dikenal dengan sebutan manusia Flores, merupakan salah satu manusia purba yang ditemukan di Indonesia. Homo floresiensis adalah manusia purba berukuran kerdil yang dipercaya mendiami pulau Flores, NTT.
Homo floresiensis merupaan spesies dari genus Homo, yang memiliki tubuh dan volume otak yang kecil. Hal tersebut berdasarkan pada beberapa penemuan subfossil atau sisa-sisa tubuh yang belum sepenuhnya membatu dari 9 individu yang ditemukan di Liang Bua, Flores pada tahun 2001. Karena ukurannya yang kecil, Homo floresiensis sering dijuliki dengan sebutan Hobbit.
Berdasarkan penelitian, Homo floresiensis memiliki ciri fisik yang hampir sama dengan manusia purba Homo sapiens dan Homo erectus. Salah satunya dibuktikan dengan ciri Homo Floresiensis yang mirip adalah bentuk tengkorak dan rahang bawahnya.
Pada penelitian lanjutan di tahun 2003, kembali ditemukan rangka manusia di tempat yang sama. Penemuan ini mengungkap kondisi fisik yang hampir utuh, tetapi dalam kondisi yang sangat rapuh.
Fragmen tulang-tulang yang ditemukan ini ditemukan pada kedalaman 595 cm bersamaan dengan stegodon dan tulang binatang lain.
Analisis awal dilakukan oleh Prof. Peter Brown dari Australia, di mana diperoleh gambaran pertama tinggi manusia purba ini hanya sekitar 106 cm dengan volume otak sekitar 380cc dan berkelamin perempuan dengan usia sekitar 25 tahun.
Dari penemuan inilah kemudian diberi nama Homo floresiensis, yaitu nama sesuai dengan pulau tempat ditemukannya jenis manusia purba tersebut.
Berdasarkan temuan kerangka paling lengkap, Homo floresiensis merupakan bagian ras proto Negrito. Ciri-cirinya adalah memiliki ukuran badan yang kecil, tidak memiliki glabella yang berkembang, kontur kranial yang membundar, tulang-tulang yang berkuruang sekitar 148,5 cm.
Ciri fisik paling umumnya di antaranya volume otak sebesar 380cc, rahang yang menonjol, dan dahi kecil.
Selain penemuan fosil manusia purba, terdapat penemuan lain berupa artefak-artefak batu yang berhubungan dengan Homo floresiensis di Situs Liang Bua. Batuan-batuan yang ditemuan dijelaskan bahwa memiliki bahan dasar rijang, kalsedon, tula kesikan, andesit, gamping kersikan, basalt, kalsedon, dan jasper.
Batuan jenis rijang dan tula kersikan adalah bahan dasar yang paling banyak ditemukan, sehingga dikemukakan sebagai bahan yang paling sering digunakan.
Temuan artefak batu tersebut terdiri dari alat masif dan alat serpih. Alat masif yang ditemukan di antaranya seperti kapak perimbas dan katak penetak, yang ditemukan pada lapisan atas yang mengandung blok batu gamping.
Sedangkan, alat serpih adalah temuan artefak yang paling dominan, meliputi serut, lancipan, dan gurdi. Selain itu, artefak batu yang ditemukan berupa beberapa buah batu pukul yang berasal dari batuan andesit.
Eksistensi Homo floresiensis ini dipercaya berada pada masa peralihan antara homo erectus dan homo sapiens. Di mana Homo erectus termuda berusia sekitar 300 ribu hingga 100 ribu tahun yang lalu. Sedangkan Homo sapiens termuda berusia sekitar 20 ribu hingga 13 ribu tahun lalu. Sehingga diperkirakan Homo floresiensis hidup sekitar tahun 10.000 hingga 18.000 tahun yang lalu.
Homo floresiensis dianggap sebagai manusia pendukung kebudayaan neolithikum di NTT. Salah satu buktinya dengan adanya artefak yang ditemukan disekitar fosil Homo floresiensis masih berupa kapak persegi, kapak lonjong, tembikar, perhiasan, dan mata panah. Alat-alat tersebut merupakan tekonologi masa litik yang menjadi artefak kehidupan homo floresiensis pada masanya.
Adanya tembikar pada kebudayaan Homo floresiensis membuktikan bahwa mereka telah mengenal wadah untuk penyimpanan makanan sebagai persediaan makanan dalam beberapa bulan.
Homo Floresiensis hidup menetap di Gua Liang Bua sebagai tempat singgah dalam menghadapi ancaman hewan buas, perubahan iklim dan cuaca, serta tempat untuk persiapan berburu.
Manusia Flores ini dipercaya sebagai asal usul nenek moyang masyarakat Flores yang dikenal dengan sebutan Ebu Gogo menurut tradisi lisan disana.
Sistem kebudayaan Homo floresiensis telah mengenal berburu, beternak, dan bercocok tanam untuk mencari makanan. Mereka mengunakan alat-alat tradisional dari tulang, batu, dan kayu berbentuk lancip yang membantu mereka dalam berburu. Tak hanya itu, manusia Flores ini juga telah memiliki keterampilan dalam membuat pakaian dari kulit hewan dan gerabah sederhana.
Daftar Pustaka
Agestiani, E. D., Putri, E. N., Anastasia, M. S., & Laili, N. N. FUNGSI DAN BENTUK TEKNOLOGI MANUSIA PURBA MASA NEOLITIK DI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR. Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Malang.
Jatmiko. Sutikno, Thomas (2006). Temuan Homo Floresiensis di Situs Liang Bua. Jurnal Naditira Widya Balai Arkeologi Kalimantan Selatan.
Kusumaningsih, Asih (2019). 8 Ciri-Ciri Homo Floresiensis dan Kontroversinya. https://sejarahlengkap.com/pra-sejarah/ciri-ciri-homo-floresiensis diakses pada tanggal 5 Juni 2021 pukul 22:00
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News