karena resiliensi masyarakat indonesia kualitas hidupnya baik meski ekonomi lesu - News | Good News From Indonesia 2025

Karena Resiliensi, Masyarakat Indonesia Kualitas Hidupnya Baik meski Ekonomi Lesu

Karena Resiliensi, Masyarakat Indonesia Kualitas Hidupnya Baik meski Ekonomi Lesu
images info

Karena Resiliensi, Masyarakat Indonesia Kualitas Hidupnya Baik meski Ekonomi Lesu


Masyarakat Indonesia ternyata hidupnya cukup bahagia meski kondisi ekonominya kurang baik. Kok bisa?

Lembaga Indonesia Social Survey (ISS) baru-baru ini merilis hasil survei yang menggambarkan potret kualitas hidup masyarakat Indonesia. Survei yang melibatkan 2.200 responden di 38 provinsi pada Juli 2025 ini menunjukkan, indeks kualitas hidup Indonesia berada di angka 65 dari 100, masuk dalam kategori “cukup baik.”

Angka tersebut merupakan cerminan dari tujuh aspek kehidupan yang diukur, di mana keamanan dan kesehatan menjadi sektor paling menonjol dengan skor masing-masing 72,3 dan 70,1.

Meskipun demikian, ada sisi rapuh yang menjadi sorotan, yaitu kesejahteraan ekonomi dengan skor terendah, 42,6. Temuan ini menggambarkan adanya kontradiksi menarik. Di satu sisi, masyarakat tampak cukup bahagia, sehat, dan merasa aman. Namun di sisi lain, mereka menghadapi tantangan berat di sektor ekonomi.

baca juga

Melihat Kondisi Ekonomi Masyarakat Indonesia

Dari hasil survei ISS, ada temuan bahwa 59.6% pernah harus meminjam uang karena tidak ada uang tersisa. Bahkan, angka ini melonjak menjadi 62.2% di kalangan kepala rumah tangga. 

Selain itu, kesulitan mencari pekerjaan pengganti juga menjadi masalah serius, dengan 72.6% responden menyatakan sulit melakukannya jika kehilangan penghasilan utama. Semakin tua seseorang, semakin sulit menemukan pekerjaan pengganti. Perempuan juga menghadapi hambatan yang lebih besar dalam mencari pekerjaan pengganti. Namun ada pengecualian pada mereka yang berpendidikan D3/Diploma. 

Meski demikian, di tengah semua kesulitan ini, tingkat kepuasan kondisi keuangan justru cukup tinggi, mencapai 69%. Menurut para peneliti, hal ini bisa jadi mencerminkan adaptasi psikologis masyarakat terhadap kesulitan ekonomi, atau standar harapan yang rendah terhadap perbaikan kesejahteraan.

Survei juga mengungkap perbedaan persepsi masyarakat atas kondisi ekonomi mereka berdasarkan kelompok usia dan pendidikan. Kelompok usia muda, terutama 20–29 tahun, cenderung merasakan perbaikan ekonomi dibandingkan kelompok yang lebih tua. Sementara itu, responden dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi merasa kondisi ekonominya lebih baik.

Kepuasan terhadap kondisi keuangan rumah tangga pun berbanding lurus dengan tingkat pendidikan. Kepuasan ini meningkat seiring dengan naiknya tingkat pendidikan, namun cenderung menurun seiring bertambahnya usia.

baca juga

Bertahan Hidup dengan Resiliensi

Lantas, mengapa masyarakat Indonesia bisa terus bertahan di tengah buruknya kondisi ekonomi saat ini?

Jawabannya ternyata berkaitan dengan karakter umum masyarakat Indonesia. Adapun karakter tersebut, menurut Direktur Eksekutif ISS, Whinda Yustisia, adalah pandai bersyukur dan nrimo.

"Kita punya kecenderungan untuk meyakini segala sesuatu itu adil." ujar Whinda.

Dengan karakter tersebut, masyarakat kerap abai terhadap perlunya kritik atau tekanan terhadap pemerintah. Padahal, situasi ekonomi suatu masyarakat tidak lepas dari andil pemerintahnya.

"Mereka lupa bahwa kondisi ekonomi. Sulit atau tidak (untuk) mendapat pekerjaan, mampu atau tidak memenuhi kebutuhan keluarganya, itu tidak semata-mata jalan rezekinya dia. Jalan rezekinya mungkin harusnya bisan dibukakan oleh pemerintah, sistem yabg lebih makro lagi misal negara." lanjut Whinda.

Hasil survei ISS sebetulnya tidak mengejutkan. Sebelumnya. Ada pula studi bertajuk Global Flourishing Study (GFS) 2025 yang menunjukkan hasil serupa. Dalam studi yang dilakukan Universitas Harvard, Baylor University, dan Gallup dengan melibatkan lebih dari 200.000 responden dari 22 negara itu, orang Indonesia termasuk yang paling sejahtera lahir dan batin.

Hasil studi menunjukkan menempatkan orang Indonesia di posisi teratas dalam hal tingkat kesejahteraan, dengan skor mencapai 8,10. Meskipun pendapatannya tak tinggi, masyarakat Indonesia punya skor bagus dalam aspek lainnya, mulai dari kesehatan mental, relasi sosial, makna hidup, hingga spiritualitas. Dengan kata lain, kekayaan atau pendapatan tinggi bukanlah satu-satunya tolok ukur bagi kesejahteraan. 

Hal senada juga disampaikan oleh Akademisi Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Joevarian Hudiyana. Menurutnya, masyarakat sering menjustifikasi atau membenarkan sistem yang ada demi mendapatkan ketenangan meski sebenarnya keadaan tidak baik-baik saja. Dengan kata lain, masyarakat Indonesia punya sifat resilien, yang berarti mampu beradaptasi dengan baik dalam kesulitan atau tantangan hidup.

"Kelihatannya dari luar wajahnya adalah resilien, wajah masyarakat yang dengan segala kemalangan yang terjadi, dia bisa menangani hidup dengan baik-baik saja." tutur Joevarian.

Pada dasarnya, diungkapkan Joevarian, resilien adalah aspek yang positif untuk bisa dilihat sebagai faktor penting dari kesejahteraan. Meski demikian, ia menekankan bahwa itu tidak membuat negara bisa lepas tangan dari tanggung jawab untuk memperbaiki kondisi ekonomi masyarakat.

"Pada akhirnya negara tetap berkewajiban untuk menyejahterakan masyarakat dan masyarakat harus lebih sejahtera juga." pungkasnya.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Aulli Atmam lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Aulli Atmam.

AA
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.