“Perilaku coparenting mengacu pada kolaborasi dalam pengasuhan anak dari dua figur orang tua yang berbagi tanggung jawab, dan menekankan bagaimana orang tua bekerja sama atau melawan satu sama lain ketika mengasuh anak mereka,” kata Feng Qing Zhao dalam penelitiannya yang dimuat dalam International Journal of Environmental Research and Public Health.
Co-parenting adalah konsep tentang bagaimana dua figur orang tua saling berinteraksi dalam mengasuh anak; apakah mereka mampu berkolaborasi, saling mendukung, atau justru saling menentang.
Work and Family Researchers Network mengatakan bahwa co-parenting atau hubungan pengasuhan bersama terjadi ketika setidaknya dua individu, berdasarkan kesepakatan bersama atau norma-norma sosial, memiliki tanggung jawab bersama atas kesejahteraan seorang anak.
Dengan definisi ini, pengasuhan bersama merupakan kesepakatan antar pasangan (yang menikah, belum menikah, dan bercerai) terlepas dari orientasi seksual pasangan tersebut dan apakah anak tersebut memiliki hubungan biologis dengan pengasuhnya atau tidak
Pada dasarnya konsep ini ingin menegaskan bahwa co-parenting (pengasuhan bersama) tidak hanya terjadi pada pasangan yang menikah atau memiliki hubungan darah dengan anak.
Yang terpenting adalah adanya tanggung jawab bersama antara dua orang atau lebih terhadap kesejahteraan seorang anak, baik karena kesepakatan pribadi maupun harapan sosial.
Artinya, selama dua orang dianggap (oleh diri mereka sendiri atau masyarakat) memiliki peran dalam membesarkan anak yang sama, maka hubungan mereka bisa disebut co-parenting.
Co-parenting adalah konsep inklusif. Ia tidak terikat pada bentuk keluarga tradisional. Fokus utamanya bukan pada struktur hubungan, melainkan pada fungsi pengasuhan. Intinya adalah tentang bagaimana para pengasuh itu saling berkoordinasi, berbagi peran, dan memastikan anak tumbuh dalam lingkungan yang stabil dan penuh dukungan.
Dengan kata lain, co-parenting adalah dimensi universal dari pengasuhan, yang bisa muncul dalam berbagai bentuk keluarga, baik yang utuh secara hukum maupun yang terbentuk dari dinamika sosial modern.
Akan tetapi, dalam berbagai literatur populer, co-parenting didefinisikan sebagai kondisi ketika kedua orang tua yang sudah bercerai bekerja sama untuk mengasuh anak bersama. Sistem pengasuhan ini mengesampingkan perasaan pribadi orang tua, tetapi berfokus pada kesejahteraan dan kepentingan anak.
Hal ini diungkapkan oleh Yuliani Dwi Astuti, Pendidik Rumah Main Cikal Bandung bahwa Co-parenting merupakan sebuah usaha kerja sama pengasuhan anak yang dapat diupayakan bilamana keduanya masih berkomitmen untuk tetap memberikan optimalisasi dukungan akan pengasuhan hingga pendidikan anak.
Dalam Co-Parenting, Anak adalah Segalanya
Dalam co-parenting, anak adalah pihak yang paling diutamakan. Co-parenting menuntut koordinasi, rasa percaya, dan kesadaran pasangan bahwa anak butuh keduanya, bahkan jika cinta orang tuanya sudah berakhir.
Peneliti Mark E. Feinberg dari The Family Institute menjelaskan bahwa hubungan co-parenting berbeda dengan hubungan pernikahan. Artinya, meskipun pernikahan sudah usai, hubungan sebagai orang tua tetap hidup dan berdiri sendiri dengan dinamika yang unik. Mereka tetap menjalankan peran-perannya untuk mendukung pertumbuhan anak.
Keberhasilan co-parenting tidak diukur dari tidak adanya konflik, tapi dari bagaimana mereka mengelola konflik itu tanpa melibatkan anak. Penelitian dari Palo Alto University bahkan menegaskan bahwa kualitas hubungan anak dan orang tua jauh lebih menentukan hasil perkembangan anak dibanding tingkat konflik antara orang tua.
Artinya, anak bisa tumbuh sehat secara emosional meski orang tuanya sering berselisih, asalkan ia tetap merasa dicintai dan didengar.
Sebuah studi yang dilakukan di Shanghai menunjukkan bahwa dukungan positif dalam co-parenting meningkatkan rasa mampu (sense of competence) orang tua, dan menurunkan masalah perilaku anak.
Dukungan Moral bagi Orang Tua
Selain dari segi anak, co-parenting juga berdampak pada orang tua. Ketika seorang ibu merasa didukung oleh mantan pasangannya dalam pengasuhan, ia merasa lebih kompeten. Rasa mampu itu membuatnya lebih sabar, lebih stabil secara emosi, dan anak pun ikut tenang.
Bagi banyak orang tua tunggal, perasaan tidak cukup sering kali muncul. Oleh karena itu, kerja sama yang sehat dengan mantan pasangan bukan hanya baik untuk anak, tetapi juga membantu penyembuhan emosional diri sendiri.
Ada satu temuan menarik dari tinjauan penelitian selama dua dekade bahwa keterlibatan ayah dalam pengasuhan sangat dipengaruhi oleh perilaku co-parenting pasangannya. Artinya, jika ibu memberikan ruang bagi ayah untuk tetap terlibat, ayah cenderung lebih aktif dalam merawat dan membangun hubungan dengan anak. Sebaliknya, bila hubungan co-parenting penuh saling tuding, keterlibatan ayah menurun drastis dan anak kehilangan figur yang seharusnya ada di sisinya.
Co-parenting tidak berarti harus sepakat dalam segala hal. Kadang, cukup dengan saling menghormati peran masing-masing. Mereka yang berhasil biasanya punya pola komunikasi yang jelas.
Co-parenting membutuhkan komitmen yang kuat. Strategi yang direncanakan pun harus matang. Sebab tanpa itu semua, anak berpotensi merasakan kebingungan saat pola pengasuhan yang diterima dari dua pihak saling berlawanan.
“Tidak ada satu hal pun yang mutlak hitam dan putih. Begitu pun mengenai co-parenting. Menurut saya, co-parenting akan menjadi hal yang sangat baik untuk pertumbuhan anak jika kedua sisi orang tua mampu berkomitmen dan berstrategi untuk membuat action plan dalam menerapkan co-parenting tersebut.” ungkapnya.
“Jika penerapan co-parenting tidak direncanakan dan dilaksanakan secara matang, anak akan kebingungan terhadap pola yang diberikan oleh masing-masing sisi orang tua terhadap dirinya yang mungkin juga akan mempengaruhi dirinya secara negatif dalam memandang sesuatu yang ia temui di kesehariannya,” imbuhnya.
Tips Co-Parenting
Ada berbagai cara dan tips co-parenting yang bisa dilakukan. Yang terpenting adalah komunikasi dan kesepakatan. Beberapa tips tersebut di antaranya:
- Bangun kerjasama yang mendukung (supportive co-parenting)
- Konsistensi aturan dan rutinitas di kedua rumah
- Komunikasi yang terfokus pada anak, bukan konflik orang dewasa
- Fokus pada kolaborasi, bukan persaingan atau pengikisan peran
- Bagi-bagi tugas pengasuhan secara jelas
- Hindari melibatkan anak sebagai mediator konflik
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News