Kekerasan yang dilakukan anak terhadap orang tua merupakan simbol dari kegagalan negosiasi dalam keluarga. Kekerasan dapat terjadi saat anak memiliki otoritas yang lebih tinggi dibandingkan orang tua. Teori ini diungkapkan oleh Sani Budiantini Hermawan, seorang Psikolog Anak, Remaja, dan Keluarga.
Fenomena yang terjadi belakangan, anak tidak lagi hanya menjadi korban kekerasan yang dilakukan oleh kelompok dewasa. Lebih dari itu, anak kini turut menjadi pelaku kekerasan. Lingkup korbannya tidak hanya teman sebaya, tetapi bisa juga menyasar orang tua, nenek, atau siapapun yang lebih tua.
Misalnya, Desember lalu seorang remaja 14 tahun di Jakarta Selatan menusuk ibu, ayah, dan neneknya, yang menyebabkan sang ayah dan nenek meninggal, sedangkan ibu dalam kondisi kritis. Atau yang terbaru, remaja 23 tahun di Bekasi menganiaya ibunya dengan dalih tidak diberikan uang sebesar Rp30 ribu.
Peristiwa ini tentu menjadi catatan sejarah bagi para psikolog anak, begitupun orang tua yang dinilai sangat perlu untuk menilik kembali pola asuh anak. Sebab, tiap kasus kekerasan yang dilakukan oleh anak memiliki latar belakang dan motif yang berbeda.
Meski demikian, kejahatan atau kekerasan pada anak tidak sepenuhnya kesalahan anak. Ada peran orang tua dan lingkungan di dalamnya.
Hilangnya Otoritas Orang Tua terhadap Anak
Keterbukaan merupakan sikap yang perlu diterapkan dalam pola komunikasi antara anak dan orang tua. Dengan adanya keterbukaan, hubungan antara anak dan orang tua dapat terbantuk secara lebih cair.
Anak dapat bebas bercerita dan membagikan pengalaman-pengalamannya layaknya kepada teman.
Meski demikian, batasan antara orang tua dan anak perlu ditegaskan. Orang tua juga memegang otoritas terkait mengasuh, membimbing, melindungi, dan mendidik anak.
Sebab, sikap permisif atau serba membolehkan anak tanpa adanya batasan, dinilai dapat menjadi salah satu penyebab anak kehilangan kontrol akan batasan peran orang tua—anak. Akibatnya, anak justru memegang kendali agar orang tua selalu menuruti keinginan-keinginan anak.
Secara umum, kekerasan yang dilakukan oleh pemegang otoritas merupakan simbol dari ketidakberhasilan dalam bernegosiasi.
“Anak mengontrol orang tua, orang tua mengalah pada anak, biasanya anak memiliki power berlebihan terhadap orang tua. Ini bertolak belakang dengan parenting style yang kita sebut dengan otoritas di mana justru orang tua yang memiliki peran controller, punya power kepada anaknya, sehingga biasanya orang tua yang melakukan KDRT kepada anak” jelas Sani yang merupakan Direktur Lembaga Psikologi Daya Insani, dikutip dari alenia.id.
Anak Melakukan Apa yang Dilihat
Faktor terkuat dari tindakan kekerasan oleh anak adalah proses anak meniru apa yang dilihat. Anak adalah seorang peniru ulung. Maka, ia akan melakukan apa saja yang dilihat, termasuk tindakan kekerasan yang disaksikan dari lingkungan, tontonan, dan video gim yang agresif.
Akibatnya, seorang anak tidak bisa mengendalikan emosi, cenderung ekspresif menyerang atau melukai orang lain, sementara orang tua pun gagal dalam membantu anak mengontrol emosinya.
“Maka anak akan melakukan kekerasan atau melukai siapa pun di lingkungannya, termasuk kepada orang tuanya,” imbuhnya.
Pentingnya Iklim Demokratis dalam Keluarga
Kemampuan bernegosiasi menjadi salah satu kunci dalam keberhasilan menekan kekerasan. Negosiasi yang mencapai kesepakatan akan mengurangi potensi kekerasan yang dilakukan sebagai dampak dari kekecewaan.
“Ada negosiasi dan komunikasi dua arah. Ada kesepakatan dan di satu sisi, orang tua memiliki otoritasnya untuk melakukan pendidikan yang bersahabat,” ungkap Sani.
Peran orang tua di sini sangat sentral untuk membangun kondisi yang bersahabat, nyaman, dan ramah anak. Sebab, keluarga merupakan pendidikan pertama bagi anak.
Jika orang tua merasa kesulitan dalam mengontrol anak, orang tua dapat meminta bantuan psikolog agar orang tua dan anak dengan bekerja sama melakukan terapi terkait pengendalian emosi.
“Dan memiliki family time bersama untuk saling mengenal satu sama lain, berkegiatan bersama, sehingga muncul trusted,” imbuhnya.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News