Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, pernah dilanda gempa dan likuefaksi 2018 yang menghancurkan rumah, lahan, dan mata pencaharian. Namun di balik kesedihan itu muncul semangat untuk membangun kembali dengan cara yang lebih bijak.
Nedya Sinintha Maulaning, perempuan desa di Sigi, percaya bahwa ekonomi dan ekologi tidak harus saling bertentangan. Berbekal bahan alami dan kearifan lokal yang melimpah, ia mendirikan GIAT (Gampiri Inkubasi Usaha Lestari).
GIAT merupakan sebuah ruang inkubasi yang mempertemukan ide hijau, empati sosial, dan wirausaha. GIAT lahir sebagai wadah bagi masyarakat Sigi bangkit melalui usaha berkelanjutan setelah bencana.
GIAT bukan hanya inisiatif pribadi. Pemkab Sigi mendukung program inkubasi ini melalui visi Sigi Hijau. Laporan Dinas Koperasi & UKM menyebutkan bahwa program inkubasi dibutuhkan agar pelaku usaha mendapatkan pendampingan mulai dari strategi bisnis, perluasan jejaring hingga pengukuran dampak ekonomi, sosial dan lingkungan.
GIAT menjawab tantangan tersebut dengan menyediakan wadah gotong royong bagi anak muda untuk belajar mengenal diri, berbagi pengalaman, dan merumuskan gerakan bersama demi pembangunan lestari.
Menjadi Inkubator Usaha Lestari
GIAT menjalankan program inkubasi yang terstruktur. Menurut dokumen Profil GI dari Gampiri Interaksi Lestari, pada 2023 program ini telah mendampingi 19 usaha lestari yang mewakili delapan komoditas unggulan.
Pendampingan tidak hanya meningkatkan kemampuan produksi, tetapi juga menghasilkan 13 inovasi produk turunan di bidang pangan dan meningkatkan transaksi penjualan rata‑rata lebih dari 50% setelah inkubasi.
Salah satu produk mereka bahkan tampil dalam Festival Jazz Prambanan dan kecap rempah “Banggale Sigi” berhasil masuk menu di restoran terkenal.
Kelas inkubasi disusun dalam tiga fase: pra‑inkubasi (persiapan dan kurasi peserta), inkubasi (kelas peningkatan kapasitas, pendampingan, sertifikasi) dan pasca‑inkubasi (demo day, business matching serta GIAT Fest).
Materi meliputi visi usaha, proses bisnis, penyusunan business model canvas, branding produk, tata kelola, manajemen keuangan, produksi, pemasaran digital, pengadaan lestari, pembuatan pitch deck, hingga public speaking.
Keterlibatan instansi seperti Dinas Perdagangan, Dinas Kesehatan (PIRT), BPJPH (sertifikat halal), Kemenkumham (hak merek), serta mitra seperti Forum Cagar Biosfer Lore Lindu, Rumah BUMN Telkom, Etre Group dan KADIN memperkuat ekosistem GIAT.
Dalam praktiknya, GIAT mendorong peserta untuk membuat produk ramah lingkungan seperti sabun herbal, lilin aromaterapi, dan perawatan tubuh berbahan kelapa. Seluruh produk menggunakan sumber daya lokal dan prinsip ekonomi sirkular: meminimalkan limbah dan mengedukasi masyarakat agar lebih peduli bumi.
Usaha‑usaha ini mendapat dukungan pemasaran melalui kampanye media sosial, partisipasi di festival kuliner seperti Jakarta Dessert Week dan promosi oleh alumni MasterChef Indonesia.
Perempuan sebagai Pilar Ekonomi Hijau
GIAT memandang perempuan sebagai inti gerakan. Nedya melihat banyak perempuan desa memiliki kreativitas tinggi tetapi kurang akses pelatihan dan pasar. Melalui program “Gampiri Interaksi”, GIAT mengadakan kelas kewirausahaan, mentoring digital, dan pameran produk yang meningkatkan ekonomi rumah tangga dan rasa percaya diri.
Berbagai pelatihan mendorong peserta untuk memahami branding, pemasaran digital, dan storytelling produk. Peserta menulis cerita di balik setiap produk karena GIAT percaya bahwa cerita adalah kekuatan baru dalam membangun ekonomi hijau.
Hasilnya, puluhan perempuan Sigi kini memiliki usaha mandiri dari sabun alami hingga kerajinan daur ulang dengan nilai utama: lestari, lokal, dan memberdayakan.
Dampak, Penghargaan dan Kolaborasi
Transformasi yang dicapai GIAT tak hanya terukur pada jumlah usaha, tetapi juga pada perubahan pola pikir. Pendekatan humanis membuat GIAT tumbuh secara organik dan dikenal luas. Kesuksesan ini mengantarkan Nedya Sinintha Maulaning meraih Apresiasi SATU Indonesia Awards Nasional dan Provinsi 2024 bidang Kewirausahaan.
Penghargaan dari Astra ini juga tercatat dalam daftar penerima Apresiasi SATU Indonesia Awards, yang mencantumkan “GIAT (Gampiri Inkubasi Usaha Lestari) di Kabupaten Sigi” sebagai kegiatan yang diusung Nedya.
Selain itu, GIAT berhasil membangun jaringan pemasaran. Produknya dipromosikan oleh mitra nasional seperti modern retail, hotel, dan restoran. Kolaborasi dengan pemerintah daerah memberi akses perizinan seperti PIRT dan sertifikasi halal, sementara dukungan dari Rumah BUMN Telkom dan Etre Group membantu digitalisasi dan ekspansi.
Hijau Sebagai Gaya Hidup, Bukan Tren
GIAT mengubah perspektif bahwa gaya hidup hijau bukan sekadar tren, tetapi budaya hidup. Nedya mengajak masyarakat untuk memulai dari hal kecil membuat sabun herbal atau lilin alami sebagai langkah menjaga bumi. Peserta inkubasi belajar menyeimbangkan keuntungan dan keberlanjutan.
Nilai‑nilai ini menanamkan prinsip “tumbuh bersama alam, bukan melawannya”. GIAT menumbuhkan wirausaha hijau muda yang mengutamakan empati dan tanggung jawab terhadap lingkungan.
Dari tangan‑tangan perempuan Sigi lahir produk yang bukan hanya bernilai ekonomis, tetapi juga menyimpan semangat untuk bumi yang lebih baik. Nedya meyakini bahwa perubahan sejati dimulai dari keberanian untuk peduli.
Harapan ke Depan
Keberhasilan GIAT di Sigi menunjukkan bahwa program inkubasi usaha lestari dapat menjadi model replikasi di daerah lain. Dengan dukungan pemerintah, sektor swasta, dan komunitas, inisiatif semacam ini berpotensi mempercepat transisi menuju ekonomi hijau lokal.
GIAT bukan sekadar inkubator bisnis ia adalah inkubator kesadaran. Setiap produk yang dihasilkan menyimpan cerita tentang keberanian bangkit dari bencana, memanfaatkan potensi lokal, memimpin perempuan, dan menjaga bumi.
Dari Sigi untuk Indonesia, GIAT menyalakan inspirasi bahwa wirausaha sejati adalah yang memberikan nilai lebih bagi kehidupan dan lingkungan.
#kabarbaiksatuindonesia
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News