Viralnya tagar #KaburAjaDulu di media sosial X (Twitter) ternyata menyimpan pesan tentang keresahan, harapan, dan refleksi generasi Z terhadap masa depan Indonesia.
Melalui Program Kreativitas Mahasiswa bidang Riset Sosial Humaniora (PKM-RSH), Tim GenKaburAjaDulu dari IPB University berupaya mendalami makna di balik tagar tersebut. Riset dilakukan pada Juli—Oktober menggunakan pendekatan kualitatif yang memadukan proses scrapingdata media sosial X, FGD bersama generasi Z, serta survei Delphi terhadap Diaspora Indonesia, akademisi, pejabat publik, pakar/ahli komunikasi dan kebijakan.
Hasil analisis cuitan bertagar #KaburAjaDulu menggunakan model IndoBERTweet menunjukkan adanya peningkatan afeksi negatif setelah tagar ini viral pada 14 Januari 2025. Peningkatan ini mencerminkan perubahan afeksi publik akibat rasa lelah dan kecewa terhadap kondisi sosial yang dihadapi.
Jika dilihat dari narasinya, tagar #KaburAjaDulu mengalami perubahan makna seiring dengan penggunaannya. Sebelum viral, penggunaan tagar tersebut menggambarkan orientasi personal.
Setelah tagar ini viral, muncul frasa seperti “Indonesia gelap” dan “kabur” yang bernada satir terhadap realitas sosial-politik. Menurut teori dramatisme Kenneth Burke, tindakan simbolik ini menunjukkan bahwa tekanan sosial mendorong munculnya ekspresi digital yang berfungsi sebagai kritik sosial.

Hasil analisis sentimen cuitan bertagar #KaburAjaDulu menggunakan model IndoBERTweet
Temuan ini diperkuat oleh hasil FGD) bersama generasi Z di Jakarta Selatan. Mereka berpendapat bahwa penggunaan tagar #KaburAjaDulu menjadi cara generasi muda untuk mengekspresikan keresahan dan kekecewaan terhadap kondisi yang dihadapinya.
Melalui media sosial, mereka mencari validasi dan dukungan emosional dari sesama pengguna yang memiliki keresahan serupa.
Hasil FGD juga menunjukkan adanya faktor-faktor pembentuk aspirasi migrasi generasi Z. Pertama, faktor pendorong yang mencakup ketidakpastian sistem nasional, kurangnya penghargaan atas kompetensi, serta sistem seleksi kerja yang kurang transparan dan lebih mengutamakan koneksi dibanding kompetensi.
Kedua, faktor personal berupa keinginan untuk mencari ruang bertumbuh yang lebih baik akibat sistem sosial yang stagnan. Ketiga, faktor penarik yang muncul melalui citra negara tujuan yang dianggap mampu memberikan keadilan sosial, apresiasi profesi, dan kesempatan berkembang, serta menyediakan lingkungan yang lebih terbuka terhadap dialog dan praktik pembelajaran yang aplikatif.
Meski demikian, lemahnya paspor Indonesia dan kompleksitas prosedur administrasi menjadi hambatan utama yang turut membentuk negosiasi aspirasi migrasi generasi Z.
Keempat faktor ini tidak terlepaskan dari peran media sosial yang memungkinkan generasi Z memproduksi, mengasosiasikan, dan memvalidasi aspirasi migrasinya.
Sebagai langkah lanjutan, tim melakukan survei Delphi terhadap Diaspora Indonesia, akademisi, pejabat publik, serta pakar/ahli komunikasi dan kebijakan. Tujuannya untuk menghimpun pandangan serta konsensus bagaimana sebaiknya tren #KaburAjaDulu dipahami dan direspon dalam konteks kebijakan nasional.
Sebagian besar informan menilai bahwa tren #KaburAjaDulu menjadi refleksi kritis terhadap sistem sosial yang belum memberi ruang cukup bagi pengembangan diri.
Munculnya tren #KaburAjaDulu seharusnya bisa menjadi momentum bagi pemerintah untuk melihat mobilitas anak muda sebagai peluang, bukan ancaman.
Untuk itu, diperlukan strategi kebijakan yang tidak hanya menahan arus kepergian, tetapi juga memfasilitasi keterhubungan dan kolaborasi berkelanjutan antara diaspora dengan anak muda di tanah air.
Informan survei Delphi merumuskan 5 arah kebijakan strategis. Pertama, meningkatkan kesejahteraan tenaga muda melalui pemberian insentif dan jaminan kerja yang layak.
Kedua, memperluas lapangan kerja yang relevan dan berbasis kompetensi agar generasi muda dapat berkembang di dalam negeri. Ketiga, mereformasi sistem pendidikan dan vokasi agar lebih adaptif terhadap kebutuhan global.
Keempat, memperkuat integritas birokrasi dan tata kelola publik sebagai upaya membangun kembali kepercayaan anak muda terhadap negara.
Kelima, membangun jejaring kolaborasi dengan diaspora melalui skema visiting researcher, mentoring digital, serta riset dan investasi bersama lintas sektor.
Seluruh temuan ini memberikan gambaran bahwa tren #KaburAjaDulu merupakan potret nyata dari bagaimana generasi Z menegosiasikan harapan, realitas, dan masa depan mereka.
“Kabur” menjadi simbol tentang keinginan untuk tumbuh, memperbaiki diri, dan menciptakan perubahan. Jika pesan ini ditangkap secara bijak, maka fenomena ini dapat menjadi wadah lahirnya kebijakan yang lebih inklusif dan berpihak pada masa depan generasi muda Indonesia.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News