Di Indonesia, ketahanan pangan dan gizi menjadi dua hal penting yang fundamental. Keduanya berhubungan langsung dengan tumbuh kembang anak dan kesehatan keluarga secara umum.
Karena itulah, banyak program atau inisiatif yang secara khusus menyasar dua aspek ini. Kebun Gizi Pesisir menjadi salah satu contohnya.
Program berakronim KUZIR ini menyasar masyarakat wilayah pesisir, yang banyak bergantung pada hasil laut. Meski sebenarnya tak kekurangan protein hewani dari lautan, mereka rentan terhadap kekurangan gizi mikro seperti vitamin dan mineral karena keterbatasan akses atau kurangnya pengetahuan akan keragaman pangan nabati.
Lahan di wilayah pesisir juga kerap dianggap kurang produktif untuk bercocok tanam sayuran dan buah-buahan karena kondisi tanah yang berpasir atau salinitas yang tinggi. Berangkat dari permasalahan itulah, program yang dicetuskan Aulia Caprina Roestam ini hadir. Penggagas yang juga seorang ahli gizi ini menyadari tantangan unik masalah gizi di wilayah pesisir.
Maka, gerakan yang dirintis di Sulawesi Utara ini hadir untuk menghadapi tantangan tersebut. Dengan mengadopsi teknik berkebun yang adaptif terhadap lingkungan pesisir. Dari sini, potensi lahan pesisir dapat ditemukan dan diolah.
Secara umum, KUZIR fokus menanam aneka jenis pangan lokal yang kaya gizi dan mudah dibudidayakan, seperti bayam, kangkung, daun kelor, cabai, hingga buah-buahan lokal. Tanaman-tanaman ini menjadi garda pangan terdekat bagi keluarga di wilayah tersebut.
Dengan akses mudah ke sayuran segar dan bergizi tinggi, pemenuhan kebutuhan gizi menjadi lebih terjamin. KUZIR juga dapat menjadi sarana edukasi praktis, khususnya bagi para ibu dan kader Posyandu, untuk mengolah hasil panen menjadi makanan yang sehat dan bergizi, dengan harga tetap terjangkau.
Ketika harga komoditas di pasar melonjak atau cuaca buruk membatasi aktivitas nelayan, kebun gizi ini tetap dappat diandalkan sebagai sumber makanan pokok. Keluarga pun dapat berhemat, tanpa perlu mengurangi asupan gizi.
Karenanya, KUZIR bergerak sebagai sebuah gerakan kolektif, yang merangkai kembali benang-benang jaring ketahanan pangan, gizi, dan kesejahteraan di wilayah pesisir. Jadi, ini bukan satu aktivitas seremonial saja, karena menghadirkan satu keberlanjutan.
Menariknya, jika keberlanjutan ini dilengkapi dengan edukasi dan pemberdayaan berbasis komunitas setempat, ada keterampilan baru, khususnya dalam hal bertani, yang dapat membantu perekonomian masyarakat. Ada juga potensi penghasilan tambahan yang cukup membantu, khususnya saat aktivitas nelayan sedang terkendala cuaca buruk.
Dari segi lingkungan, kehadiran KUZIR juga dapat membantu pemanfaatan lahan pantai secara ramah lingkungan. Dengan lahan produktif yang hijau, dampak negatif akibat ancaman abrasi pun bisa dicegah.
KUZIR menjadi contoh inovasi sosial yang sederhana, yang relevan dengan konteks kondisi sosio-ekologis lokal, khususnya di wilayah pesisir. Jika dilengkapi dengan konsep "berbasis komunitas " yang berjalan optimal, akan ada dampak transformatif yang sangat bermanfaat bagi masyarakat setempat, karena konsisten dilakukan secara gotong royong.
Jika melihat nilai keberlanjutan yang turut diperjuangkan, program ini adalah investasi jangka panjang. Sebuah warisan berharga untuk generasi mendatang. Di sini, ada proses membangun kesadaran gizi sejak dini, dan membekali masyarakat supaya dapat semakin mandiri.
Maka, Pemerintah daerah, organisasi non-pemerintah, dan sektor swasta harus konsisten memberikan dukungan, baik dalam bentuk pelatihan teknis, penyediaan bibit unggul, maupun fasilitas akses pasar. Dengan sinergi yang kuat, gaya berkebun ala KUZIR dapat menjadi contoh positif, yang dapat direplikasi, dan disesuaikan dengan ragam dinamika berbagai wilayah pesisir lainnya, di seluruh Nusantara.
#kabarbaiksatuindonesia
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News