muhammad farid membangun banyuwangi islamic school dengan bayaran sayur mayur - News | Good News From Indonesia 2025

Muhammad Farid, Membangun Banyuwangi Islamic School dengan Bayaran Sayur Mayur

Muhammad Farid, Membangun Banyuwangi Islamic School dengan Bayaran Sayur Mayur
images info

Muhammad Farid, Membangun Banyuwangi Islamic School dengan Bayaran Sayur Mayur


Kawan GNFI, buku novel berjudul “Totto-Chan: The Little at the Window” pernah menjadi karya yang fenomenal di awal tahun 2000-an. Karya Tetsuko Kuroyanagi ini menceritakan soal pengalaman pribadinya sebagai murid Jepang di sekolah Tomoe Gakuen yang unik. Selain dibangun di atas gerbong-gerbong kereta tak terpakai, sekolah tersebut mengusung kurikulum yang tak biasa dan dengan cara tak biasa pula.

Karya ini mengingatkan penulis oleh sosok Farid, salah satu pemenang SATU Indonesia Awards yang juga membuat sekolah dengan konsep ‘unik’. Seperti apa?

Muhammad Farid adalah pendiri sekolah yang dikenal dengan konsep alternatif di Banyuwangi, Jawa Timur. Sasaran utamanya adalah anak-anak dari keluarga kurang mampu.

Ia memulai idenya setelah melihat model sekolah alam yang ada di kota besar. Namun, menyadari bahwa biaya di sekolah-alam tersebut sangat tinggi sehingga tidak dapat diakses oleh masyarakat berpenghasilan rendah.

baca juga

Maka, pada tahun 2005, ia bersama rekannya mendirikan sekolah yang kemudian dikenal sebagai Banyuwangi Islamic School (BIS) atau sering disebut Sekolah Alam BIS. Lokasinya ada di Desa Genteng Kulon, Kecamatan Genteng, Kabupaten Banyuwangi. Sekolah ini dirancang menggunakan lahan wakaf seluas sekitar 3.000 hingga 4.000 meter² dari seorang pemilik kebun kopi.

Sekolah yang didirikan Farid mengusung filosofi akses terbuka bagi anak-anak dari keluarga ekonomi lemah, dengan 2 elemen yang sangat mencolok:

  • Pembayaran fleksibel: Anak dari keluarga kurang mampu bisa “membayar” SPP atau biaya pendidikan dengan sayuran hasil panen keluarga atau bahkan sekadar dengan doa jika benar-benar tidak mampu.
  • Lingkungan belajar terbuka dan alam: Alih-alih hanya ruang kelas konvensional, sekolah menyediakan aula, sanggar, saung-saung kayu di lingkungan terbuka, kegiatan belajar dilakukan dengan permainan, kebun, bertani, dan pengalaman langsung.

Selain itu, kurikulum di BIS menggabungkan aspek pendidikan modern dan pesantren salafiyah. Ini termasuk dengan penguasaan bahasa asing seperti Inggris, Jepang, Mandarin, serta Bahasa Arab dan hafalan Al-Qur’an.

Mereka juga mengadakan outbond di halaman sekolah selama sepekan sekali untuk pembentukan karakter kepemimpinan.

Untuk seragamnya sendiri, para murid diwajibkan menggunakan ‘hanya’ satu pakaian lengkap untuk hari Senin dan Selasa. Selain itu, mereka diperbolehkan menggunakan pakaian bebas.

Farid membuat sekolah ini menarik perhatian karena mengubah paradigma bahwa “sekolah bagus harus mahal” tidak selalu benar. Dalam sejumlah pemberitaan, sekolah ini awalnya sangat sederhana dengan murid sedikit, ruang fisik minim, pengakuan pemerintah pun belum ada. Farid bahkan harus door-to‐door mencari murid.

Sebuah cerita menarik dituliskan, bahwa di awal, Farid sempat mencari murid dari anak-anak putus sekolah di pasar-pasar.

Kini, BIS tak hanya berkembang dan mampu bersaing dengan sekolah biasa, tetapi juga menerima uang untuk pembayaran sekolah bagi murid yang bisa.

5 tahun sejak berdirinya BIS, Farid diapresiasi oleh Astra dalam kategori pendidikan dalam ajang SATU Indonesia Awards.

Penghargaan SATU Indonesia Awards merupakan inisiatif dari Astra International untuk mengapresiasi individu atau kelompok yang memberikan kontribusi signifikan bagi masyarakat Indonesia melalui inovasi sosial di bidang pendidikan, lingkungan, kesehatan, dan sebagainya.

Dalam e-book Astra, profil Farid dituliskan sebagai “Sayur untuk Sekolah,” sesuai dengan konsep awal berdirinya BIS, yang menerima barter sayur mayur untuk bayaran sekolah.

baca juga

Nah Kawan GNFI, Muhammad Farid adalah contoh nyata dari praktisi pendidikan sosial yang menggabungkan idealisme dan praktik.

Dengan mendirikan Banyuwangi Islamic School (BIS) dan mengusung model “bayar dengan sayur atau doa”, ia membuka akses pendidikan bagi anak-anak yang selama ini terpinggir karena biaya dan kondisi.

Penghargaan SATU Indonesia Awards 2010 yang diterimanya menjadi pengakuan atas perjuangan tersebut dan sekaligus memperkuat keberlanjutan inisiatifnya.

Inisiatif seperti ini penting karena mengingatkan bahwa pendidikan bukan sekadar bisnis atau biaya tinggi, tetapi soal keadilan, kreativitas, dan memberi ruang bagi semua anak untuk bermimpi dan belajar.

#kabarbaiksatuindonesia

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

AJ
FS
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.