Kasus perundungan di sekolah bukan lagi isu pinggiran. Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat sebanyak 1.480 kasus bullyingdi lingkungan pendidikan, dan angka ini diyakini hanya sebagian kecil dari kasus yang sebenarnya terjadi.
Survei nasional juga menunjukkan bahwa lebih dari 75% siswa di Indonesia pernah menyaksikan atau mengalami perundungan, sebagian besar dalam bentuk ejekan verbal di lingkungan kelas. Fenomena ini tidak hanya melukai fisik, tetapi juga mencederai rasa aman dan harga diri anak.
Bullying sering muncul dari ketidakseimbangan kuasa, lemahnya empati, hingga pengaruh media yang menormalisasi kekerasan verbal. Anak-anak menyerap pola interaksi yang keras tanpa disaring, lalu menirunya di dunia nyata. Tak heran jika banyak pihak menilai bahwa Indonesia tengah menghadapi darurat perundungan di sekolah.
Namun di tengah kegelisahan itu, banyak sekolah memilih melawan dengan cara yang menumbuhkan, bukan hanya menghukum. Solusi yang kini mulai banyak dikembangkan berpusat pada tiga hal, yaitu kolaborasi antara guru dan orang tua, penguatan pendidikan karakter, serta kegiatan literasi berbasis empati.
Ketika Guru dan Orang Tua Bersatu Melindungi Anak
Kolaborasi antara keluarga dan sekolah menjadi kunci utama dalam mencegah perundungan. Komunikasi yang terbuka antara guru dan orang tua memperkuat rasa aman anak di sekolah. Ketika siswa tahu bahwa orang dewasa di sekitarnya bekerja sama, mereka merasa lebih terlindungi dan berani melapor saat menghadapi perilaku yang tidak menyenangkan.
Guru kini tidak hanya menjadi pengajar, tetapi juga penjaga iklim sosial yang sehat di kelas. Sementara itu, orang tua berperan sebagai mitra dalam pembentukan karakter di rumah, seperti mendorong anak untuk bercerita, mengenali emosi, dan berlatih empati. Kolaborasi ini bukan sekadar formalitas, melainkan hubungan yang dibangun atas dasar saling percaya dan kepedulian.
Di sejumlah sekolah dasar, program seperti Menulis Surat Kebaikan menjadi simbol nyata sinergi tersebut. Anak-anak diajak menulis pesan positif kepada teman sebaya, misalnya ucapan terima kasih, kata maaf, atau dukungan kecil yang lahir dari hati. Guru membimbing kegiatan di sekolah, sementara orang tua menindaklanjuti di rumah dengan percakapan ringan tentang pentingnya menghargai dan memaafkan.
Pendidikan Karakter sebagai Tembok Pertahanan Moral
Pendidikan karakter menjadi hal penting dalam menciptakan lingkungan belajar yang aman, nyaman, dan manusiawi. Nilai-nilai seperti empati, toleransi, dan tanggung jawab sosial dapat dibangun melalui kegiatan reflektif seperti berbagi cerita, mendongeng dengan tema persahabatan, hingga membuat poster bertuliskan pesan anti-bullying.
Kegiatan itu sederhana, tetapi berdampak besar. Anak belajar bahwa setiap kata memiliki kuasa, bisa menyembuhkan, dan bisa juga melukai. Dari proses itu, nilai moral tidak lagi sekadar teori dalam buku, melainkan keterampilan hidup yang mereka jalani setiap hari.
Pendekatan yang menekankan kasih sayang, kepercayaan, dan pelibatan aktif anak juga menjadi cara efektif untuk membantu korban maupun pelaku. Ketika anak diperlakukan dengan empati dan bukan hanya dengan hukuman, mereka belajar memperbaiki diri tanpa kehilangan harga diri.
Perpustakaan dan Kelas yang Menyembuhkan
Salah satu praktik baik datang dari SDN Kare 01 Madiun. Di sekolah ini, perpustakaan bertransformasi menjadi ruang tumbuh karakter melalui program Literasi Anti-Bullying Sekar Wasistha. Melalui kegiatan seperti Pojok Cerita dan Menulis Surat Kebaikan, anak-anak diajak memahami bahwa setiap teman berharga dan pantas dihargai.
Kepala perpustakaan, Rahma Farida, menyebut bahwa perpustakaan kini bukan hanya tempat membaca, tetapi juga tempat belajar berempati. Anak-anak menulis surat untuk teman-temannya, membaca kisah persahabatan, dan belajar menyapa dengan hati. Ruang baca itu kini menjadi laboratorium kecil untuk menumbuhkan nilai-nilai kemanusiaan.
Program semacam ini menunjukkan bahwa solusi untuk menghentikan perundungan tidak selalu datang dari kebijakan besar. Kolaborasi sederhana antara guru dan orang tua, disertai kegiatan literasi yang menumbuhkan empati, mampu membentuk karakter anak yang kuat dan penuh kasih.
Harapan Sekolah sebagai Ruang Aman
Bullyingmungkin tidak bisa dihapus sepenuhnya dalam semalam. Namun arah perubahan sudah tampak jelas. Ketika guru, orang tua, dan siswa berbagi tanggung jawab dalam menumbuhkan empati, sekolah kembali menjadi tempat yang aman untuk tumbuh dan belajar.
Kuncinya bukan pada seberapa keras sanksi dijatuhkan, melainkan seberapa hangat ruang belajar dibangun. Karena di balik setiap anak yang berperilaku baik, selalu ada orang dewasa yang terlebih dahulu percaya pada kebaikan.
Sekolah tanpa perundungan bukan sekadar impian. Ia tumbuh dari tindakan-tindakan kecil seperti sebuah surat kebaikan, sapaan lembut, atau ruang yang memberi kesempatan untuk saling memahami. Dari hal-hal sederhana inilah lahir generasi yang berani, berempati, dan sadar bahwa kebaikan selalu punya tempat di setiap hati yang mau mendengarkan.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News