membedah tunjangan pph dpr keadilan pajak di tengah kebijakan negara - News | Good News From Indonesia 2025

Membedah Tunjangan PPh DPR: Keadilan Pajak di Tengah Kebijakan Negara

Membedah Tunjangan PPh DPR: Keadilan Pajak di Tengah Kebijakan Negara
images info

Membedah Tunjangan PPh DPR: Keadilan Pajak di Tengah Kebijakan Negara


Pajak penghasilan merupakan salah satu pilar utama dalam struktur penerimaan negara serta menjadi instrumen penting dalam menciptakan keadilan fiskal di sistem ekonomi.

Kebijakan perpajakan yang transparan, adil, dan konsisten menjadi kunci dalam menjaga kepercayaan publik terhadap pemerintah.

Dalam kerangka itulah muncul perhatian terhadap kebijakan tunjangan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), di mana seluruh beban pajak atas penghasilan mereka ditanggung oleh negara atau biasa disebut dengan Pajak Ditanggung Pemerintah (DTP).

Informasi mengenai kebijakan tersebut menjadi sorotan publik setelah adanya penjelasan resmi pemerintah dan berbagai pemberitaan media.

Berdasarkan laporan dari CNN Indonesia (2025), setiap anggota DPR menerima tunjangan PPh sebesar sekitar Rp2.699.813 per bulan sebagai kompensasi agar penghasilan bersih yang mereka terima tidak berkurang akibat potongan pajak.

baca juga

Secara administratif, anggota DPR tetap dikategorikan sebagai wajib pajak yang kewajibannya dilaksanakan melalui pemotongan dan penyetoran pajak oleh bendahara pemerintah.

Namun, karena pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), kebijakan ini menimbulkan persepsi publik bahwa para anggota DPR memperoleh fasilitas fiskal yang tidak dinikmati oleh masyarakat pada umumnya.

Kewajiban pajak atas penghasilan pejabat negara, termasuk anggota DPR, diatur oleh sejumlah regulasi yang saling mendukung.

Pusat perhatian utama adalah Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 262/PMK.03/2010, yang secara khusus mengatur tata cara pemotongan PPh Pasal 21 atas penghasilan pejabat negara (termasuk anggota DPR) yang dibebankan pada anggaran negara (APBN/APBD).

Berdasarkan regulasi ini, pajak atas gaji dan tunjangan pejabat negara dipotong dan disetorkan langsung oleh bendahara pemerintah, bukan oleh individu pejabat.

Selain itu, Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2010 mempertegas mekanisme pemotongan dan penyetoran PPh Pasal 21 oleh instansi pemerintah. Dengan demikian, meskipun anggota DPR tetap dicatat sebagai wajib pajak secara legal, beban pajaknya diambil dari anggaran negara, bukan dari kantong mereka sendiri.

Dalam praktiknya, kebijakan ini sering disebut sebagai “gross-up sistem”, di mana pemberi kerja (negara) menanggung pajak pegawai agar penghasilan bersih yang diterima tidak tergerus potongan.

Tujuannya adalah untuk memudahkan administrasi perpajakan dan menjamin kepastian penerimaan negara.

Namun, dari sudut pandang keadilan fiskal, skema ini menimbulkan keprihatinan karena dapat dianggap sebagai perlakuan istimewa bagi pejabat publik.

baca juga

Mekanisme pembayaran pajak atas tunjangan DPR ini dipotong langsung melalui bendahara negara, yang nantinya akan disetor langsung ke kas negara. Sehingga, pajak ini tidak dibebankan kepada DPR secara langsung, melainkan sudah diperhitungkan dan dilunasi melalui tunjangan yang diberikan oleh pemerintah.

Sederhananya, para anggota DPR ini tetap membayar pajak sama seperti masyarakat lainnya. Akan tetapi, nominalnya dikompensasikan secara khusus melalui tunjangan yang diberikan oleh pemerintah, sehingga tidak dibebankan langsung ke kantong anggota DPR itu sendiri.

Namun, apabila anggota DPR memiliki penghasilan tambahan di luar tunjangan dan gaji dan tunjangan dari APBN/APBD, maka harus tetap disetor secara mandiri dan dilaporkan dalam SPT Tahunan.

Model pembayaran pajak seperti ini juga berlaku pada sektor swasta, di mana pemberi kerja akan memberikan fasilitas tunjangan pajak. Dengan demikian, para pegawai sudah menerima penghasilan bersih dan kewajiban pajaknya sudah terpenuhi.

Tunjangan pajak ini memberikan respon beragam dari masyarakat. Tidak sedikit dari mereka menganggap bahwa hal ini menimbulkan ketidakadilan karena anggota DPR dan pejabat negara pembayaran pajaknya ditanggung oleh negara, menggunakan uang dari APBN yang sejatinya berasal dari pajak rakyat.

Hal ini membuat masyarakat merasa bahwa mereka harus menanggung kewajiban pajak sepenuhnya. Sementara pejabat negara menikmati fasilitas berupa tunjangan pajak tanpa harus mengurangi pendapatan bersih mereka.

Banyaknya jenis tunjangan yang diberikan kepada pejabat negara dinilai jauh dari rasa keadilan sosial. Terlebih lagi di tengah situasi ekonomi negara yang masih belum stabil dan beban pajak yang dirasakan masyarakat masih berat.

Menanggapi hal ini, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memberikan klarifikasi secara resmi. DJP menegaskan bahwa anggota DPR dan pejabat negara tetap wajib membayar pajak penghasilan (PPh) yang disetorkan langsung ke kas negara melalui mekanisme khusus, yakni pajak atas gaji dan tunjangan mereka ditanggung negara alias dipotong dan dibayarkan oleh bendahara negara (Kementerian Keuangan).

baca juga

Mekanisme ini berbeda dari pekerja biasa, tetapi bukan berarti DPR dan pejabat negara lainnya bebas pajak. Skema ini dilakukan agar administrasi pajak lebih mudah dan pembayarannya lebih pasti, serta praktis untuk pengelolaan anggaran negara.

Namun, penghasilan tambahan di luar gaji dan tunjangan tersebut tetap harus dilaporkan dan dibayar pajaknya oleh yang bersangkutan secara pribadi. 

Anggota DPR RI menerima penghasilan yang terdiri dari gaji pokok sekitar Rp4,2 juta per bulan, ditambah tunjangan melekat seperti tunjangan istri/suami, anak, jabatan, serta berbagai tunjangan operasional dan representasi.

Total penghasilan kotor mereka biasanya mencapai sekitar Rp50–60 juta per bulan, tergantung posisi dan masa jabatan. Negara juga membayarkan tunjangan PPh sekitar Rp2,7 juta per bulan agar penghasilan bersih anggota DPR tidak berkurang akibat kewajiban pajak.

Dengan, estimasi penghasilan bersih mereka berada di kisaran Rp50–55 juta per bulan, belum termasuk fasilitas non-tunai seperti kendaraan dinas dan staf ahli.

Namun, mekanisme pajak yang ditanggung pemerintah oleh anggota DPR menimbulkan pertanyaan soal keadilan fiskal, karena tidak semua wajib pajak menerima perlakuan serupa.

Selain itu, tunjangan perumahan dan transportasi yang diberikan bersamaan dengan fasilitas negara seperti rumah dan kendaraan dinas menimbulkan kesan tumpang tindih dan kurang efisien, yang memperkuat persepsi publik bahwa penggunaan anggaran negara oleh pejabat publik belum sepenuhnya mengedepankan prinsip akuntabilitas dan penghematan.

Skema pajak dan tunjangan DPR menunjukkan bahwa negara telah membangun sistem administrasi yang rapi dan legal dalam pemotongan PPh pejabat negara.

Namun, secara substansi, kebijakan pajak ditanggung pemerintah (DTP) bagi pejabat publik menciptakan ketimpangan moral di mata masyarakat.

Di tengah upaya pemerintah memperluas basis pajak dan meningkatkan kepatuhan wajib pajak, kebijakan yang memberi kesan “keistimewaan fiskal” bagi pejabat justru melemahkan rasa keadilan dan kepercayaan publik.

Pemerintah perlu menegakkan transparansi dan komunikasi publik yang lebih terbuka mengenai dasar, tujuan, serta dampak dari kebijakan tunjangan pajak ini. Lebih jauh lagi, diperlukan revisi paradigma, bahwa keadilan fiskal bukan hanya soal siapa yang membayar pajak, tetapi juga siapa yang menanggungnya.

Jika pejabat publik turut menanggung sebagian beban pajaknya sendiri, maka kebijakan fiskal akan lebih selaras dengan prinsip kesetaraan sosial dan etika kepemimpinan publik—bahwa mereka yang membuat aturan, seharusnya menjadi contoh pertama yang menaatinya.

 

 

 

Penulis: Ariela Zahra Ramadhani, Nada Ramadani, Benaya Yoel Maranata, dan Rania Danika Izzany.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

AZ
KG
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.