Bagi siapa pun yang melangkahkan kaki di Kota Solo, sering muncul kesan bahwa kota ini memiliki dua “kekuatan” besar yang hidup berdampingan. Di satu sisi berdiri Balaikota Surakarta, pusat pemerintahan modern yang penuh aktivitas administratif.
Setiap hari, tempat ini menjadi ruang kerja Wali Kota dan perangkat Pemerintah Kota (Pemkot) dalam mengurus layanan publik, membenahi tata kota, hingga mengembangkan infrastruktur yang menunjang kehidupan warganya.
Namun, hanya berjarak beberapa menit dari area pemerintahan tersebut, berdiri Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat dengan tembok benteng tuanya, para Abdi Dalem yang berbusana adat, serta keberadaan seorang Raja yang tetap bertahta.
Kontras ini sering menimbulkan tanda tanya di benak masyarakat: jika seluruh urusan pemerintahan sudah ditangani Pemkot, lalu apa peran Keraton di masa kini? Apakah keberadaannya sekadar pelengkap sejarah?
Pertanyaan tersebut wajar muncul, terutama dalam sistem republik yang tidak memberikan kekuasaan politik kepada lembaga tradisional seperti Keraton. Namun, menyebut Keraton hanya sebagai ornamen sejarah adalah kesimpulan yang keliru. Keraton Surakarta justru memegang peran penting yang tidak dapat digantikan oleh Pemkot.
Otak dan Jantung Kota
Cara paling mudah memahami hubungan Pemkot dan Keraton adalah dengan mengibaratkan Kota Solo sebagai tubuh manusia. Pemkot Surakarta berfungsi seperti otak: mengatur hal yang bersifat logis dan teknis. Semua hal terkait kemacetan, pembangunan flyover, peningkatan layanan kesehatan melalui Puskesmas, hingga administrasi kependudukan merupakan ranah kerja Pemkot. Bidang ini berkaitan dengan raga kota.
Sementara itu, Keraton Surakarta adalah jantungnya. Jantung tidak mengurus kemacetan atau pajak, tetapi jantung memberi kehidupan, karakter, dan rasa. Keraton memompa “darah” berupa budaya, tradisi, nilai hidup, sejarah, dan filosofi. Bidang ini merupakan urusan jiwa kota.
Tanpa jantung, sebuah kota akan terasa kaku dan kehilangan kehangatannya. Sebaliknya, tanpa otak, jantung tidak dapat menjalankan fungsinya secara efektif di era modern. Oleh sebab itu, keberadaan keduanya bukan bentuk kompetisi, melainkan kerja sama dalam bidang yang berbeda.
Keraton Bukan Museum, tetapi Cagar Budaya Hidup
Kesalahpahaman umum lainnya adalah anggapan bahwa Keraton sama dengan museum. Museum menyimpan benda mati dari masa lalu, sedangkan Keraton Surakarta merupakan Cagar Budaya Hidup. Istilah ini penting karena menegaskan bahwa Keraton bukan sekadar tempat untuk melihat artefak, melainkan tempat di mana tradisi masih berdenyut.
Ada tiga alasan utama mengapa Keraton disebut sebagai warisan budaya yang hidup:
1. Masih ditinggali
Keraton bukan bangunan kosong. Raja dan keluarganya masih tinggal dan menjalani kehidupan sehari-hari di dalamnya.
2. Masih aktif dijalankan
Ratusan Abdi Dalem bekerja setiap hari. Ada yang merawat gamelan, menjaga manuskrip kuno, mempersiapkan upacara adat, hingga berlatih tarian sakral.
3. Tradisi terus berlangsung
Upacara seperti Grebeg, Kirab Pusaka Malam 1 Suro, atau Bedhaya Ketawang bukan sekadar tontonan, tetapi bagian dari laku budaya yang diwariskan secara turun-temurun.
Pemkot tidak memiliki wewenang dan kapasitas untuk menjalankan ritual-ritual sakral tersebut. Oleh karena itu, Keraton menjadi penjaga autentisitas budaya Jawa. Jika peran ini hilang, yang tersisa hanya festival modern yang kehilangan roh dan maknanya.
Peran Keraton Surakarta dapat dilihat dalam tiga fungsi utama yang berpengaruh langsung pada kehidupan sosial, budaya, dan identitas kota.
1. Menjadi Penyangga Spiritual dan Ritual Warga
Di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern yang serba cepat, masyarakat membutuhkan tempat untuk mencari ketenangan, makna, dan penguatan batin. Keraton menyediakan ruang itu melalui berbagai ritual yang memiliki makna mendalam. Ribuan orang rela berdesakan saat Grebeg Mulud demi mendapatkan berkah dari Gunungan. Kirab Malam 1 Suro menjadi momentum refleksi melalui laku bisu yang dilakukan warga secara massal. Tradisi semacam ini menjadi “terapi jiwa” bagi kota dan pengingat bahwa Solo memiliki akar budaya yang kuat.
2. Menjaga Ilmu yang Tidak Tergantikan oleh Teknologi
Keraton juga berfungsi sebagai pusat pengetahuan tradisional yang tidak dapat ditemukan di mesin pencari mana pun. Para Abdi Dalem memegang peran penting sebagai penjaga ilmu budaya. Mereka memahami bagaimana memakai jarik dengan aturan yang benar, makna filosofis setiap gerakan tarian sakral, hingga cara membaca manuskrip kuno dan merawat keris pusaka. Ilmu-ilmu semacam ini tidak hanya dipelajari, tetapi harus dijalani melalui pengabdian dan laku budaya.
3. Menjadi Identitas dan Daya Tarik Kota Solo
Perbedaan utama antara Solo dan kota besar lain bukan terletak pada pusat perbelanjaan atau gedung pemerintahan, melainkan pada keberadaan Keraton. Daya tarik wisata Solo tumbuh dari atmosfer sejarah, arsitektur khas, hingga tradisi yang tetap hidup. Tanpa Keraton, Solo akan kehilangan identitasnya dan daya tarik utama bagi wisatawan.
Hubungan Pemkot dan Keraton bukan hubungan yang saling meniadakan. Keduanya justru saling melengkapi. Keraton membutuhkan dukungan pemerintah untuk perawatan bangunan berusia ratusan tahun, restorasi, hingga bantuan dalam pengamanan dan promosi acara besar. Sementara Pemkot membutuhkan Keraton sebagai penopang identitas kota, sumber pendidikan budaya, dan magnet wisata.
Pemkot menyediakan panggung, dan Keraton menjadi bintang utamanya. Kombinasi inilah yang menjadikan Solo sebagai kota modern yang tetap memiliki jiwa dan karakter kuat.
Keberadaan Keraton Surakarta di tengah kota modern bukan sekadar warisan sejarah, tetapi bagian penting yang menjaga nyawa budaya Solo tetap berdenyut. Pemkot bekerja mengelola raga kota, sementara Keraton merawat jiwanya. Kehadiran keduanya adalah keistimewaan yang menjadikan Solo berbeda dari kota-kota lain berupa sebuah kota yang mampu bergerak maju tanpa meninggalkan akar tradisinya.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News