Bangunan sekolah di belokan Sungai Ayung, Desa Sibang Kaja, Bali, disusun dari anyaman bambu. Megah, unik, dan artistik. Namanya Green School Bali. Sekolah ini adalah salah satu Satuan Pendidikan Kerja Sama (SPK).
Satuan Pendidikan Kerja Sama (SPK) adalah istilah resmi dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) untuk menyebut sekolah yang menyelenggarakan pendidikan dengan kerja sama antara lembaga pendidikan Indonesia dan lembaga asing. Istilah ini menggantikan istilah lama, yaitu sekolah internasional.
Sejak 2008, sekolah ini memosisikan dirinya sebagai ruang belajar untuk membentuk generasi yang memiliki kesadaran lingkungan.
Green School Bali tidak dibangun dari struktur batu atau semen. Hampir semua struktur dibuat dari bambu, mulai dari ruang belajar, jembatan, hingga papan basket.
Bambu adalah tanaman cepat tumbuh, fleksibel, dan rendah jejak karbon. Dalam arsitektur berkelanjutan, bambu dianggap bahan unggulan karena mampu menyerap CO₂ lebih tinggi dibanding kayu konvensional.
Membangun Pendidikan Regeneratif
“Misi Green School Bali adalah kami merupakan komunitas pelajar yang ingin membuat bumi berkesinambungan,” kata Kepala Sekolah Green School Bali, Sal Gordon, dikutip dari VOA.
Istilah regenerative merujuk pada proses yang tidak hanya menjaga keberlanjutan, tetapi juga memulihkan sistem alam. Model ini berbeda dari konsep sustainable yang fokus pada mempertahankan kondisi. Regeneratif mendorong perbaikan aktif, seperti memulihkan sungai atau menghidupkan kembali ekosistem lokal.
“Kami yakin pendidikan bisa menjadi mekanisme regenerative, mekanisme perubahan untuk membuat masa depan yang berkelanjutan,” imbuhnya.
Metode Belajar Tanpa Sekat Komunitas
Green School mengembangkan kerangka pembelajaran yang melibatkan seluruh komunitas. Guru, murid, organisasi sekitar, hingga tamu yang berkunjung ikut menjadi bagian proses belajar.
“Model baru ini memungkinkan semua yang terlibat dengan sekolah untuk belajar bersama,” jelas Gordon.
Pendekatan ini sejalan dengan prinsip community-based learning, yaitu metode yang menempatkan masyarakat sebagai sumber pengetahuan. Murid tidak hanya menerima pelajaran, meresa juga memahami dampak tindakan manusia terhadap ekologi dan sosial di sekitar mereka.
Contoh praktiknya adalah program Bio Bus. Bio Bus adalah kendaraan berbahan bakar minyak jelantah. Selain itu, sisa hasil olahan minyak jelantah bahkan dapat diubah menjadi sabun. Proyek ini dipimpin murid dan berhasil mengantar sekolah menjadi salah satu contoh inovasi transportasi ramah lingkungan di Indonesia.
Kerangka Belajar Perubahan Iklim Berbasis Tema
Green School Bali menyusun kurikulum iklim sesuai jenjang usia, mulai dari SD hingga SMA. Materi seperti matematika, sains, dan literasi tetap diajarkan. Bahkan, bahwa bagi siswa WNI, tiga mata pelajaran wajib tetap diajarkan, yakni Pancasila, Bahasa Indonesia, dan Agama.
Nah, sekolah ini menambahkan kerangka belajar tematik, misalnya laut, sungai, produksi pangan, ekosistem lokal, dan energi terbarukan. Tema ini mengikuti isu-isu yang juga menjadi fokus PBB.
Pendekatan ini memungkinkan murid belajar konsep ilmiah sambil mengamati fenomena nyata. Misalnya, belajar sains melalui peternakan kelinci atau sistem akuaponik yang sudah ada di kompleks sekolah.
Siswa kelas 4 bahkan diberi kesempatan memelihara ayam dan menjual telur. Hal ini bertujuan untuk memperkenalkan konsep ekonomi dasar melalui praktik.
Praktik tersebut sesuai dengan apa yang dikatakan Green School Bali dalam laman resminya.
“Melihat anak-anak belajar melalui praktik, mendengarkan diskusi siswa yang mendalam dan bermakna, mengalami pertumbuhan sehari-hari sebagai pribadi seutuhnya dan merasakan kegembiraan menjadi bagian dari komunitas pembelajar yang aktif adalah pengalaman Green School.”
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News