Kota Jakarta pernah mempunyai taman modern yang terbesar di Asia pada zamannya. Taman yang dibangun pada era kolonial Belanda itu bernama Taman Wilhelmina.
Taman Wilhelmina ini dibangun Belanda pada abad 19 Masehi atas prakarsa Gubernur Jenderal Van De Bosch. Taman Wilhelmina ini terletak terletak di depan Lapangan Banteng, Gambir, Jakarta Pusat itu, memiliki luas kurang lebih 9,32 hektar.
Pemberian nama Wilhelmina untuk taman ini sebagai bentuk penghormatan warga Belanda yang ada di nusantara kepada calon Ratu Wilhelmina. Dia adalah ibu dari Ratu Juliana dan nenek Ratu Beatrix.
Hal menarik yang dapat diceritakan dari Taman Wilhelmina adalah letaknya yang sangat dekat dengan Sungai Ciliwung. Karena itu pengunjung dapat mendengar suara gemericik air mengalir.
Selain itu, di lokasi ini terdapat benteng bernama Benteng (Citadel) Prins Frederik Hendrik yang oleh warga pribumi sering kali disebut sebagai “Gedung Tanah”. Disebut demikian karena masyarkat meyakini jika di bawah tanah dibangun 'gedung' oleh Belanda, yaitu sebuah bunker lengkap dengan terowongannya.
Bungker ini konon digunakan untuk kepentingan militer dan tembus sampai ke pelabuhan Pasar Ikan. Menurut cerita, bila ada bahaya di Batavia, pasukan Belanda bisa memasuki terowongan untuk kemudian melarikan diri dengan kapal.
“Tapi sejauh ini, belum dapat dibuktikan keberadaan terowongan ini karena gedungnya sudah tertutup tanah,” dinukil dari Republika.
Tempat pelancong orang-orang Eropa
Taman Wilhelmina menjadi salah satu tujuan rekreasi terfavorit kala itu. Setiap Sabtu dan Minggu tiba, taman itu selalu menjadi tempat rekreasi para pembesar Belanda, tuan tanah, dan orang-orang kaya yang ada di Batavia dengan keluarganya.
Taman ini juga berfungsi sebagai kebun sayur bagi para opsir Belanda di Batavia itu di dalamnya dipenuhi oleh rerimbunan pepohonan. Sejumlah jembatan yang menghubungkan dua tepi sungai Ciliwung juga dibangun di dalamnya.
Karena itu, Taman Wilhelmina begitu sejuk dan indah dipandang mata. Hal itu menjadi salah satu alasan mengapa taman itu ramai dikunjungi.
Lokasi taman yang dekat dengan sungai Ciliwung semakin membuat udara di sekitar taman bertambah sejuk. Para pengunjung dapat dengan jelas mendengarkan gemericik aliran air dari sungai Ciliwung yang saat itu kondisi airnya masih sangat jernih.
"… Sore itu, Taman Wilhelmina tidak begitu ramai. Satu dua pasangan jalan bergandengan tangan menikmati udara sore. Mereka berbincang nyaris tanpa suara. Ada juga pasangan yang duduk di rerumputan tepi kali," demikian gambaran suasana Taman Wilhelmina saat sore hari seperti tertulis dalam buku "Primadona-sebuah roman," karya Nano Riantiarno, terbitan Gramedia Pustaka Utama, 2006.
Diubah jadi lokasi Masjid Istiqlal
Tetapi setelah kemerdekaan, Taman Wilhelmina tak lagi terurus. Taman yang terletak di antara Jalan Perwira, Jalan Lapangan Banteng, Jalan Katedral, dan Jalan Veteran itu akhirnya berubah menjadi tempat yang kotor dan tak terawat.
Bahkan, Benteng (Citadel) Prins Federik Hendrik dan Monumen Atjeh yang tadinya terawat dengan baik, berubah dipenuhi lumut. Hiruk pikuk keramaian para bule Belanda yang biasa terlihat setiap akhir pekan tak lagi tampak di taman itu.
Hingga puncaknya di awal tahun 1950-an taman indah ini sempat berubah menjadi sebuah lokasi telantar dan sangat kotor. Presiden Soekarno pun meminta seluruh taman beserta bangunan yang terdapat di dalamnya di tata ulang.
Taman Wilhelmina akhirnya dibongkar setelah Presiden Soekarno menyetujui pembangunan Masjid Istiqlal di lokasi itu. Pemancangan tiang pertama masjid yang namanya memiliki arti "Merdeka" itu dilakukan Bung Karno pada tanggal 24 Agustus 1961.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News