Berulang kali kita mendengar cerita tentang ayam yang berkokok tak wajar sebelum gempa, sapi yang tiba-tiba gelisah tanpa sebab, atau ikan yang berenang kacau sebelum tsunami. Bagi sebagian orang, ini dianggap sebagai mitos atau kebetulan.
Namun, penelitian ilmiah justru menunjukkan bahwa perilaku itu bukan sekadar cerita. Ada petunjuk biologis bahkan genetik yang mungkin menjelaskan kemampuan hewan merespons perubahan alam sebelum manusia menyadarinya.
Fenomena ini dilaporkan di berbagai negara, mulai dari Jepang, Italia, hingga Indonesia, dan untuk memahaminya kita perlu masuk ke ranah behavior genetics, yaitu bidang yang menjelaskan bagaimana gen memengaruhi sensitivitas dan insting hewan.
Sebelum gempa atau bencana besar terjadi, lingkungan biasanya mengalami perubahan kecil seperti peningkatan gas radon dari tanah, gangguan elektromagnetik, perubahan ion udara, dan getaran mikro yang terlalu halus untuk dirasakan manusia.
Namun, hewan mampu mendeteksi sinyal-sinyal ini melalui kombinasi indra dan mekanisme biologis yang sangat sensitif. Sensitivitas ini pun tidak muncul begitu saja. Banyak penelitian menunjukkan bahwa respons cepat terhadap rangsangan ekstrem tersebut dipengaruhi oleh gen tertentu. Beberapa gen bahkan terbukti membuat hewan jauh lebih peka dibanding manusia, sehingga perilaku mereka dapat berubah drastis sebelum bencana terjadi.
Salah satu gen yang paling menarik adalah TRPA1 (Transient Receptor PotentialA1), yaitu gen yang membuat sel saraf hewan mampu mendeteksi getaran mikro, perubahan ion udara, gangguan elektromagnetik, dan perubahan suhu ekstrem.
Ekspresi TRPA1 pada tikus, burung, dan beberapa hewan ternak diketahui lebih tinggi dibanding manusia, sehingga mereka lebih responsif terhadap perubahan lingkungan. Gen lain yang berperan adalah ASIC1 (Acid-Sensing Ion Channel1), yaitu saluran ion yang mendeteksi perubahan tekanan tanah dan getaran frekuensi rendah (Ruan et al., 2021).
Burung dan rodent memiliki saluran ion ini dalam jumlah lebih banyak, sehingga mampu merasakan perubahan kecil di tanah yang sering kali menjadi tanda awal terjadinya gempa.
Selain itu, gen BDNF (Brain-Derived Neurotrophic Factor) juga berperan penting dalam mengatur sensitivitas saraf. Hewan yang hidup di alam liar atau sering terpapar stres lingkungan biasanya memiliki ekspresi BDNF yang lebih tinggi, membuat respons mereka terhadap ancaman tak terlihat menjadi lebih cepat dan tajam.
Ada pula gen CRHR1 dan CRHBP, yang mengatur respons stres. Hewan dengan ekspresi tinggi kedua gen ini akan menunjukkan kegelisahan, vokalisasi berlebihan, atau upaya melarikan diri ketika lingkungan tiba-tiba berubah. Perubahan perilaku inilah yang sering dianggap sebagai “insting meramal bencana”.
Fenomena ini bukan sekadar teori. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Wikelski dkk. (2020) di Italia. Peneliti memasang bio-logging tags pada sapi, domba, dan anjing yang berada di zona gempa 2016–2017. Hasilnya menunjukkan bahwa hewan-hewan tersebut mengalami peningkatan aktivitas, kegelisahan, dan respons stres 1 hingga 20 jam sebelum gempa, bahkan ketika manusia belum merasakan apa pun.
Pola perilaku itu juga berkorelasi dengan jarak hewan terhadap pusat gempa, sehingga semakin dekat ke episenter, semakin awal responsnya muncul. Temuan ini memberikan bukti kuat bahwa hewan memiliki sensitivitas biologis terhadap sinyal lingkungan pra-gempa.
Meski begitu, apakah perilaku hewan bisa dijadikan sistem peringatan dini bencana yang akurat? Jawabannya adalah tidak. Para ilmuwan sepakat bahwa prediksi berdasarkan perilaku hewan masih belum cukup stabil karena respons hewan tidak selalu muncul, dipengaruhi banyak variabel lingkungan, dan rentan menghasilkan false alarm.
Namun, potensi ini tetap menarik sehingga kini sedang dikombinasikan dengan teknologi modern, seperti pengembangan smart collar untuk memantau aktivitas sapi, AI behavior tracking, hingga integrasi data genom untuk menentukan hewan mana yang paling sensitif terhadap perubahan lingkungan. Dalam jangka panjang, bukan tidak mungkin hewan ternak menjadi bagian dari sistem mitigasi bencana berbasis perilaku yang lebih canggih.
Pada akhirnya, hewan sebenarnya tidak benar-benar “meramal” masa depan. Namun, tubuh mereka dan gen mereka memungkinkan mereka merespons sinyal lingkungan yang sangat halus jauh sebelum manusia menyadarinya.
Dengan memahami genetika seperti TRPA1, ASIC1, BDNF, dan CRHR1, kita bisa melihat bahwa apa yang selama ini dianggap sebagai mitos ternyata punya penjelasan biologis yang kuat. Mungkin suatu hari nanti, ilmu genetika dan teknologi perilaku hewan dapat berperan besar dalam meningkatkan kemampuan mitigasi bencana di Indonesia.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News