Kegiatan menenun di Indonesia memiliki sejarah yang panjang. Para ahli antropologi memperkirakan keberadaan kain tenun berkembang sejak masa Neolitikum.
Ini dibuktikan dengan ditemukannya benda-benda prasejarah seperti tenunan dan alat pemintal, misalnya pada situs Melolo Sumba Timur.
Tenunan Sumba Timur dengan corak motif yang beragam merupakan hasil penuangan ide, gagasan, mitologi, kepercayaan bahkan filosofi yang berkaitan erat dengan keyakinan masyarakat lokal, yakni Marapu.
Bagi mereka, kain tenun lebih dari sebuah sandang, tetapi menjadi bagian yang tak terpisahkan dari tradisi dan kehidupan di Tanah Sumba.
Mengenal Tenun Ikat Sumba Timur
Bersumber dari laman Budaya Kita, tenunan Sumba Timur terbagi dua berdasarkan teknik pembuatan motifnya, yakni tenun Ikat (dengan teknik ikat) dan tenun Pahikung (dengan teknik sungkit atau songket).
Sementara menurut jenis, tenun Sumba Timur dibedakan dari peruntukannya. Kain untuk pria disebut Hinggi dan sarung untuk perempuan disebut Lawu.
Kain tenun Sumba Timur lahir dari kekayaan alam tanahnya. Pewarnaannya menggunakan bahan-bahan alami: akar mengkudu untuk menghasilkan warna merah, serat kayu dan lumpur untuk warna kecoklatan, dan tanaman nila atau tarum untuk warna biru-keunguan.
Untuk menghasilkan sehelai kain bermutu, para penenun harus memiliki daya imajinasi dan intuisi yang kuat sebab seluruh pola kain hanya direkam dalam ingatan. Adapun dari sisi religius, kepandaian memproses dan menenun ini dipercaya merupakan pemberian Marapu.
Motif tenun ikat Sumba Timur penuh dengan simbol-simbol yang merepresentasikan kepercayaan Marapu. Adapun motif utama dalam tenun ikat maupun tenun pahikung, antara lain kuda (Njara), ayam (Manu), kakatua (Kaka), manusia (Tau), Tugu Tengkorak Manusia (Andadungu Katiku Tau), ular (Ularu/Mandu), rusa (Ruha), udang (Kurangu), buaya (Wuya), kura-kura (Karawulangu), cicak terbang (Habaka).
Tenun Sumba Timur di Kampung Adat Raja Prailiu
Pelancong yang ingin melihat langsung pembuatan tenun Sumba Timur dapat berkunjung ke Kampung Adat Raja Prailiu. Lokasinya tidak jauh dari tengah kota. Penduduk kampung ini mempertahankan uma mbatangu, “rumah berpuncak” yang merupakan rumah adat Sumba. Mayoritas merupakan pengrajin kain tenun.
Salah satu pengrajin tenun di Kampung Adat Raja Prailiu adalah Mama Reynold (58). Dia menjelaskan bahwa aktivitas mengatur benang lungsin, mengikat corak, hingga mewarnai dan menenun selalu diawali dengan sembahyang kepada Marapu.
“Kain (tenun) yang berwarna biru itu sangat sakral. Sebelum diwarnai dengan pewarna alam, kami potong ayam untuk mengalirkan darahnya dipersembahkan untuk Marapu,” kata Mama Reynold kepada awak media di Kampung Adat Raja Prailiu, Kamis (27/11/2025).
Bagi para penenun, sembahyang kepada Marapu penting untuk memohon pengetahuan, keterampilan dan akal budi (Kaminaku Manggana) dan meminta izin serta restu agar menghasilkan tenun terbaik.
Kegiatan menenun tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan busana, tetapi hal yang lebih mendasar adalah untuk memenuhi kebutuhan sistem nilai dalam budaya, yakni kepentingan adat yang berkaitan dengan perkawinan, kematian, hingga sosial budaya lainnya.
“Saat ada kematian, kain-kain tenun biasanya dikuburkan bersama dengan jenazah. Kain digunakan untuk membungkus jenazah, seperti pocong dilingkarkan ke seluruh badannya,” jelas Mama Reynold.
“Saat pernikahan juga kami biasanya membawa kain-kain. Saat ada pernikahan, tamu-tamu dicatat mereka membawa kain apa, apa kain Sumba Timur, Sumba Barat Daya, lalu kalau ada keluarga lain menikah, kami juga membawa kain untuk mereka,” pungkasnya.
Mewariskan Tenun ke Generasi Muda
Proses pembuatan tenun ikat Sumba Timur membutuhkan ketelitian dan waktu yang lama, bisa mencapai berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun untuk satu kain. Prosesnya dimulai dengan memintal kapas menjadi benang.
Sebagai langkah awal mengenal tradisi tenun, anak-anak di Kampung Adat Raja Prailiu sejak usia 5 tahun sudah diajarkan untuk memintal benang. Selanjutnya, benang tersebut akan diikat (disebut "mengikat") menggunakan tali plastik atau daun gebang menurut pola yang telah direncanakan. Bagian yang diikat ini tidak akan menyerap warna, sehingga membentuk motif.
Mama Reynold mengatakan, anak-anak usia 12 tahun di Kampung Adat Raja Prailiu sudah pandai membuat motif tenun. Mereka biasa membuat kain tenun kecil seukuran syal untuk dijual ke wisatawan. Dalam konteks gender, keahlian menenun dititipkan kepada perempuan, sedangkan laki-laki membantu dalam proses lain.
“Laki-laki juga diajarkan membuat kain tenun. Tapi untuk menenun hanya untuk perempuan. Karena kalau laki-laki menenun, yang tadinya gagah dan kuat, nanti dia (perilakunya) akan menjadi seperti perempuan, lemah lembut,” kata Mama Reynold.
Baca juga Mengenal Tenun dan Jenis-Jenisnya
https://youtu.be/QTOtz_ABBdk?si=1UCgNl-TyWvieaw5
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News