cerita rakyat dari maluku legenda kapitan putra lease sosok patriot yang pimpin rakyat lawan penjajah - News | Good News From Indonesia 2025

Cerita Rakyat dari Maluku, Legenda Kapitan Putra Lease, Sosok Patriot yang Pimpin Rakyat Lawan Penjajah

Cerita Rakyat dari Maluku, Legenda Kapitan Putra Lease, Sosok Patriot yang Pimpin Rakyat Lawan Penjajah
images info

Cerita Rakyat dari Maluku, Legenda Kapitan Putra Lease, Sosok Patriot yang Pimpin Rakyat Lawan Penjajah


Legenda Kapitan Putra Lease merupakan salah satu cerita rakyat yang berasal dari daerah Maluku. Legenda ini berkisah tentang seorang pemuda yang memimpin perlawanan rakyat melawan penjajah.

Simak kisah dari legenda Kapitan Putra Lease tersebut dalam artikel berikut.

Cerita Rakyat dari Maluku, Legenda Kapitan Putra Lease

Dikutip dari artikel Inggrit Schane J. Sahertian, "Kapitan Putra Lease" yang terbit dalam buku Antologi Cerita Rakyat Pulau Ambon dan Pulau Lease, di Pulau Haruku terdapat sebuah negeri yang dikenal dengan nama Aboru. Di negeri tersebut, ada sebuah marga yang dikenal, yakni Sinai.

Dulunya dari marga Sinai ada dua anak laki-laki dan seorang anak perempuan. Kedua anak laki-laki ini bernama Bahua dan Lukas.

Sementara itu, anak perempuan bernama Helena. Kedua anak laki-laki ini biasanya memasang bubu untuk menangkap ikan dan dijual agar bisa memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari.

Pada suatu hari, Bahua mengajak Lukas untuk mengambil bubu yang sudah mereka pasang sebelumnya. Berangkatlah kedua kakak beradik ini menggunakan perahu untuk mengangkat bubu tersebut.

Setelah berjalan cukup jauh, sampailah mereka di tempat bubu tersebut. Bahua dan Lukas langsung mengangkat bubu dan mengeluarkan ikan hasil tangkapan mereka.

Tiba-tiba mata Bahua tertuju pada sebuah kapal besar yang terlihat mendekat. Bahua merasa penasaran dengan kapal tersebut.

Dia kemudian mengajak Lukas untuk mendekati kapal itu. Namun sang adik merasa ketakutan.

Bahua tetap dengan rasa ingin tahunya. Dirinya kemudian seorang diri mendayung perahu dan mendekat ke kapal besar tersebut.

Ketika dirinya mendekat, kapten kapal tersebut menyuruh anak buahnya untuk mengangkut Bahua. Bahua yang awalnya senang melihat kapal besar tersebut langsung ketakutan.

Ternyata kapal tersebut adalah milik Belanda. Bahua kemudian dibawa bersama kapal tersebut menuju Pulau Banda.

Sesampainya di Pulau Banda, Bahua dibawa ke perusahaan yang mengurus hasil rempah-rempah yang disetorkan oleh masyarakat. Bahua kemudian bekerja di perusahaan tersebut.

Seiring berjalannya waktu, Bahua mulai tumbuh dewasa. Semua tugas yang diberikan berhasil dia kerjakan dengan baik.

Akhirnya Bahua diangkat menjadi mandor di perusahaan tersebut. Dia mengurus rempah-rempah yang nantinya akan dikirimkan ke Belanda.

Namun situasi ini justru membuat masyarakat makin terdesak. Semua hasil alam mereka dirampas begitu saja oleh pihak penjajah.

Bahua sebenarnya merasa peduli dengan kondisi masyarakat. Namun dia juga tidak bisa berbuat banyak.

Akhirnya pertempuran pecah antara kedua belah pihak. Pertempuran ini dikenal dengan nama Perang Laut Taka I.

Untuk mengakhiri pertempuran ini, pihak Belanda kemudian mengajak pemimpin masyarakat Banda untuk berunding. Namun pada saat pertemuan, para pemimpin ini justru dihabisi di tempat.

Hal ini tentu menimbulkan kemarahan pada masyarakat. Hal yang sama juga dirasakan oleh Bahua.

Dia kemudian memutuskan untuk keluar dari perusahaan tersebut. Bahua bergabung bersama masyarakat untuk melawan penjajah.

Kedatangan Bahua disambut baik oleh masyarakat. Bahkan dirinya diangkat menjadi panglima dan diberi nama Kapitan Putra Lease.

Bahua kemudian memimpin masyarakat Banda dalam Perang Laut Taka II. Pada awalnya, masyarakat berhasil mengalahkan para penjajah di markasnya.

Namun pihak Belanda mendatangkan armada laut yang besar ke Pulau Banda. Hal ini membuat masyarakat Banda terpukul mundur dan menyebar ke pulau-pulau lain yang ada di sekitarnya.

Berkat kelihaiannya, Bahua berhasil mengambil kora-kora milik Belanda yang kemudian diberi nama Silawane. Dia bersama Patrou, Tutkey, Melay, dan dua ekor anjing naik ke kora-kora tersebut meninggalkan Pulau Banda.

Setelah berlayar cukup lama, sampailah Bahua ke sebuah pulau yang asing bagi mereka. Bahua kemudian memerintahkan teman-temannya untuk memeriksa daerah tersebut.

Patrou, Tutkey, dan Melay tidak menemukan apa-apa di sana. Mereka menduga bahwa pulau tersebut tidak berpenghuni.

Namun Bahua melihat bercak merah pada dua anjing mereka. Dia meyakini bahwa bercak tersebut merupakan bekas air sirih dari penduduk yang ada di sana.

Bahua kemudian mengikuti kedua anjing tersebut ke daerah pegunungan. Ternyata memang sudah ada penduduk asli pulau tersebut yang dikenal dengan nama Sarpoi.

Masyarakat Sarpoi tidak berpakaian pada waktu itu. Bahua kemudian mengambil kain berang dan memberikannya sebagai pakaian untuk masyarakat.

Tidak semua masyarakat Sarpoi yang mengenakan pakaian tersebut. Masyarakat yang sudah berpakaian kemudian menjadi pengikut Bahua dan menetap di tempat tinggal baru.

Daerah tempat tinggal Bahua ini kemudian diberi nama Salti. Sementara itu, tempat tinggal penduduk asli pulau tersebut dikenal dengan nama Wulalori.

Penduduk Wulalori ini kemudian dikenal sebagai orang ilang-ilang yang dipercaya tidak bisa dilihat wujud fisiknya. Bagi masyarakat marga Sinai, orang-orang Wulaloru ini dipercaya tidak akan pernah berbuat jahat pada mereka.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Irfan Jumadil Aslam lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Irfan Jumadil Aslam.

IJ
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.