mengenal usmar ismail bapak perfilman indonesia - News | Good News From Indonesia 2025

Usmar Ismail: Sosok Penting di Balik Film-Film Legendaris Indonesia

Usmar Ismail: Sosok Penting di Balik Film-Film Legendaris Indonesia
images info

Usmar Ismail: Sosok Penting di Balik Film-Film Legendaris Indonesia


Kalau Kawan GNFI melihat kalender pada tanggal 30 Maret, kita akan menemukan peringatan Hari Film Nasional. Namun, pernahkah terlintas di benakmu kenapa tanggal tersebut yang dipilih? Kenapa bukan tanggal kelahiran aktor terkenal atau tanggal rilis film terlaris sepanjang masa?

Jawabannya membawa kita kembali ke tahun 1950, pada hari pertama pengambilan gambar film Darah dan Doa (The Long March). Di balik kamera itu, berdiri sosok visioner, seorang maestro yang kini kita kenal sebagai Bapak Perfilman Indonesia, ialah Usmar Ismail.

Usmar Ismail bukan sekadar sutradara. Ia adalah seorang pejuang yang memilih kamera sebagai senjatanya. Melalui lensa dan gulungan film, ia merekam denyut nadi bangsa yang baru lahir, mengubah hiburan "gambar hidup" menjadi alat identitas nasional yang membanggakan. Mari kita telusuri jejak langkah sang legenda yang telah dianugerahi gelar Pahlawan Nasional ini.

baca juga

Kehidupan Usmar Ismail

Lahir di Bukittinggi, Sumatra Barat, pada 20 Maret 1921, Usmar Ismail adalah anak dari Datuk Tumenggung Ismail, ayahnya, guru Sekolah Kedokteran di Padang, dan Siti Fatimah, ibunya. Ia mempunyai seorang kakak yang juga terjun ke dunia sastra, yakni Dr. Abu Hanifah yang menggunakan nama pena "El Hakim".

Darah seni sudah mengalir deras dalam dirinya. Ia tumbuh dalam lingkungan yang mencintai literatur. Kawan GNFI mungkin akan terkejut mengetahui bahwa sebelum memegang megaphone sutradara, Usmar lebih dulu akrab dengan pena dan kertas.

Perjalanan pendidikannya pun cukup baik. Mula-mula, ia bersekolah di HIS di Batusangkar, lalu melanjutkan ke MULO di Simpang Haru, Padang, dan kemudian ke AMS di Yogyakarta. Setamat dari AMS, ia melanjutkan lagi pendidikannya ke University of California di Los Angeles, Amerika Serikat.

Pada masa pendudukan Jepang, Usmar aktif di Pusat Kebudayaan (Keimin Bunka Shidoso). Di sinilah ia menajamkan kepekaan artistiknya. Ia mendirikan kelompok sandiwara Maya bersama nama-nama besar lain, seperti El Hakim (dr. Abu Hanifah), Rosihan Anwar, Cornel Simanjuntak, Sudjojono, H.B. Jassin, Rosihan Anwar dan lain-lain.

Setelah Proklamasi Kemerdekaan, Usmar bergabung dengan dinas militer dan terjun aktif dalam dunia jurnalistik di Jakarta. Bersama Syamsuddin Sutan Makmur dan Rinto Alwi, ia kemudian mendirikan sebuah surat kabar bernama Rakyat. Ketika pindah ke Yogyakarta, Usmar kembali berkecimpung dalam penerbitan dengan mendirikan harian Patriot serta majalah bulanan Arena.

Dalam masa tugasnya sebagai wartawan, Usmar sempat ditangkap dan dipenjara oleh pihak Belanda karena dituduh terlibat dalam aktivitas subversif. Ketika itu, ia bertugas sebagai wartawan politik di kantor berita Antara dan tengah meliput perundingan Belanda-RI di Jakarta. Kejadian tersebut berlangsung pada 1948.

Latar belakang teater dan sastra inilah yang kelak memberikan "nyawa" pada setiap dialog dan skenario film-filmnya. Baginya, cerita adalah raja, dan visual adalah pelayannya.

Namun, dunia panggung sandiwara dirasa belum cukup untuk menjangkau masyarakat luas. Usmar melihat potensi besar pada media film.

Ia menyadari bahwa film memiliki daya penetrasi yang luar biasa untuk menanamkan nilai-nilai kebangsaan, sesuatu yang sangat dibutuhkan oleh Indonesia yang kala itu baru saja memproklamasikan kemerdekaannya.

Kelahiran Perfini dan Identitas Nasional

Pada 30 Maret 1950, Usmar Ismail mendirikan Perusahaan Film Nasional Indonesia (Perfini). Perfini menjadi perusahaan film pertama milik pribumi yang didirikan di Jakarta. Pada hari yang sama, Usmar Ismail juga melakukan pengambilan gambar perdana untuk film Darah dan Doa, film Indonesia pertama yang seluruh pengerjaannya dikerjakan oleh anak Bangsa.

Film ini mengisahkan perjalanan long march Divisi Siliwangi dari Yogyakarta kembali ke Jawa Barat. Berbeda dengan film perang yang penuh heroisme semu, Usmar memotret sisi manusiawi para tentara: keraguan, ketakutan, dan cinta di tengah revolusi. Inilah yang membuat karya Usmar begitu abadi. ia tidak memotret patung pahlawan, melainkan memotret manusia.

Usmar Ismail merupakan seorang sutradara yang penuh semangat. Ia selalu ingin membuat film yang tidak hanya menghibur, tetapi juga mencerminkan realitas sosial dan budaya masyarakat Indonesia.

Film-filmnya sering mengangkat tema-tema seperti perjuangan kemerdekaan, kemiskinan, kesenjangan sosial, dan kritik terhadap budaya materialisme.

Deretan Film Karya Usmar Ismail

  • Darah dan Doa (1950)
  • Enam Jam di Yogya (1951)
  • Dosa Tak Berampun (1951)
  • Krisis (1953)
  • Kafedo (1953)
  • Lewat Jam Malam (1954)
  • Tiga Dara (1956)
  • Asrama Dara (1958)
  • Pejuang (1960)
  • Big Village (1969)

Mengenang Jasa Usmar Ismail

Penghargaan terbesar bagi Usmar mungkin bukan piala, melainkan pengakuan negara atas sumbangsihnya dalam membangun karakter bangsa lewat perfilman. Setelah melalui proses pengusulan yang panjang, akhirnya pada 2021, Presiden Joko Widodo menetapkan Usmar Ismail sebagai Pahlawan Nasional.

Untuk mengenang jasanya juga, namanya diabadikan di sebuah gedung perfilman, yaitu Pusat Perfilman Usmar Ismail yang terletak di daerah Kuningan, Jakarta.

Gelar ini menegaskan bahwa perjuangan tidak melulu angkat senjata. Kawan GNFI harus bangga bahwa kita memiliki pahlawan yang berjuang lewat budaya.

Sang "Bapak Perfilman Indonesia" membangun fondasi agar wajah Indonesia bisa tampil bermartabat di layar lebar. Ia meletakkan dasar-dasar etika, estetika, dan semangat nasionalisme dalam perfilman yang masih dipegang teguh oleh sineas-sineas masa kini.

Usmar Ismail wafat pada 2 Januari 1971, meninggalkan warisan yang tak ternilai harganya. Ia bukan hanya meninggalkan semangat dan visi, tetapi juga semangat. Semangat untuk tidak menjadi penonton di negeri sendiri. Semangat untuk berani berkarya dengan identitas kita sendiri.

Penting bagi kita, generasi muda, untuk tidak hanya mengenal namanya, tetapi juga mengapresiasi karyanya. Beruntungnya, berkat teknologi restorasi digital, film-film klasik Usmar, seperti Lewat Jam Malam dan Tiga Dara, kini bisa dinikmati kembali dengan kualitas gambar yang jernih. Menonton film-film tersebut adalah cara terbaik untuk berziarah ke dalam pemikiran sang maestro.

baca juga

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Muhammad Saddam Amtael Soerawijaya lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Muhammad Saddam Amtael Soerawijaya.

MS
FS
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.