Dunia yang semakin cepat dan sarat informasi ternyata tidak membuat manusia lebih terhubung secara emosional. Sebaliknya, banyak individu justru merasa berjalan sendirian.
Dalam diskusi yang digelar oleh Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) di CBN Hall Kuningan, Jakarta Selatan pada Selasa (2/12/2025), Iqbal Hariadi, selaku CEO Proud Project, menegaskan bahwa cerita masih menjadi jembatan paling ampuh untuk menciptakan koneksi antarmanusia.
Dihadiri berbagai pelaku industri kreatif, pegiat komunitas, serta masyarakat urban, acara ini mengangkat tema "From Local Heroes to Global Stories: Indonesia's Best Practices in Positive Storytelling".
Proud Project sebagai media dan komunitas yang berfokus pada dewasa muda menunjukkan bahwa kekuatan cerita bukan hanya alat komunikasi, tetapi juga sarana pemulihan emosi melalui narasu yang ringan dan positif.
Satu Direct Message yang Mengubah Paradigma
Dalam pemaparannya, Iqbal membuka sesi dengan sebuah kisah yang ia sebut sebagai titik balik bagi dirinya dan Proud Project. Ia menerima sebuah direct message (DM) dari seorang pembaca yang mengaku hampir mengakhiri hidupnya sebelum melihat salah satu konten tulisan Proud Project.
Namun yang menarik, konten tersebut bukanlah tentang kesehatan mental. Konten itu hanya mengajak pembaca untuk kembali melakukan hobi masa kecil yang pernah membuat bahagia.
“Dalam kasus itu, pembaca tersebut teringat bahwa ia dulu sangat hobi menggambar dan tumbuh bersama ibunya. Setelah sang ibu meninggal, ia berhenti menggambar. Tetapi setelah membaca konten itu, ia mulai menggambar lagi dan dari situ ia ingin hidup kembali,” ujar Iqbal di hadapan hadirin.
Kisah itu menjadi pengingat bahwa sebuah cerita kecil bisa memiliki dampak besar, bahkan mungkin menyelamatkan nyawa seseorang. Menurut Iqbal, pengalaman tersebut mengubah cara Proud Project melihat pusat dari storytelling: bukan sekadar menyampaikan pesan, tetapi membuat orang merasa menjadi manusia kembali.
Loneliness, Epidemik yang Tak Terlihat
Merujuk penelitian yang pernah dirilis META, Iqbal menjelaskan bahwasatu dari empat orang di dunia merasa kesepian. Namun kesepian yang dimaksud bukan tentang seseorang duduk sendirian di sudut kamar, melainkan perasaan bahwa masalah atau emosi tertentu hanya dialami oleh dirinya sendiri.
“Kita bisa saja dikelilingi orang, tapi tetap merasa tidak ada yang benar-benar mengerti. Mahasiswa merasa skripsinya mandek, hanya terjadi pada dirinya. Pekerja merasa gagal naik gaji hanya dialami dirinya. Kita merasa sendiri dalam perjalanan hidup,” jelasnya.
Menurutnya, storytelling hadir sebagai ruang untuk mempertemukan pengalaman manusia secara lebih jujur dan apa adanya. Ketika seseorang membaca cerita tentang orang lain yang mengalami hal serupa, rasa terhubung pun muncul.
Tiga Pilar Cerita Proud Project
Iqbal kemudian memaparkan tiga karakter utama yang membuat konten Proud Project resonan dan memiliki engagement tinggi:
- Everyday Common People
Proud Project tidak mengandalkan tokoh publik atau figur besar. Mereka lebih memilih cerita orang-orang biasa, agar pembaca merasa, “Oh, ini mirip hidup gue.” - Raw and Honest.
Cerita dibuat sejujur dan setulus mungkin. Tidak diperhalus demi estetika. Justru kejujuran inilah yang membuka perasaan pembaca. - First-Person POV.
Cerita dituturkan dari sudut pandang orang pertama sehingga memberi pengalaman seperti berbincang langsung dengan sang pencerita.
Menurut Iqbal, pendekatan ini membuat pembaca merasa sedang duduk di kedai kopi, mendengarkan seseorang bercerita dari hati ke hati, bukan sekadar membaca konten digital.
Percakapan yang Menular
Iqbal juga menyampaikan bahwa cerita yang jujur dapat memicu percakapan yang positif. Meskipun dunia digital sering diasosiasikan dengan hal negatif yang cepat menyebar, hal positif pun dapat menular dengan cara yang sama.
“Ketika satu orang bercerita dengan jujur, pembaca lain juga ingin bercerita. Di situ percakapan terjadi, di situ koneksi tumbuh, dan cerita bisa menyebar lebih luas,” jelasnya.
Proud Project melihat betapa percakapan yang terbentuk dari sebuah cerita bisa mempertemukan orang-orang yang sebelumnya merasa berjalan sendirian. Inilah kekuatan komunitas yang tumbuh dari kerentanan dan keautentikan.
Era Konten Baru: Seapa Adanya, Bukan Sempurna
Iqbal kemudian menyoroti fenomena menarik di dunia digital, dimana konten yang terlalu rapi justru mulai kehilangan kepercayaan. Masyarakat kini semakin paham pola pemasaran dan strategi digital.
“Orang makin curiga kalau kontennya terlalu rapi. Kesannya "marketing banget" membuat penonton menjauh,” ungkapnya.
Itulah mengapa tren konten seperti video buram, perekaman yang kurang rapi, dan narasi personal tanpa editing berlebihan,
justru mendapatkan tempat yang lebih kuat di hati audiens. Konten yang raw lebih dipercaya, lebih relate, dan lebih manusiawi.
Tren lain yang ikut menguat adalah pergeseran dari influencer besar ke micro influencer, serta kebangkitan komunitas sebagai pusat interaksi digital.
Menurut Iqbal, orang lebih nyaman mendengar dari figur yang “mirip dirinya” ketimbang selebritas dengan kehidupan yang terasa jauh.
Menutup sesi monolognya, Iqbal memprediksi bahwa tahun-tahun mendatang adalah momentum untuk menghidupkan kembali interaksi manusia melalui pertemuan langsung. Publik sudah jenuh dengan dunia virtual dan kembali merindukan koneksi nyata.
“Offline akan meledak tahun depan. Orang rindu disapa, didengar, berbagi cerita, tertawa dan menangis bareng orang lain. Kita sedang kembali mencari koneksi yang genuine,” paparnya.
Dengan berbagi pengalaman yang tulus, Proud Project berharap dapat terus menjadi media yang menyuarakan kejujuran, kerentanan, dan kekuatan cerita manusia.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News