Sekolah berjalan seperti mesin besar yang bergerak otomatis. Para siswa masuk setiap pagi, duduk rapi, mencatat materi, lalu diminta menghafal. Setiap minggu ada tugas, setiap bulan ada ujian, dan setiap tahun ada penilaian akhir.
Semua proses tampak rapi di atas kertas, tapi terasa jauh dari kehidupan nyata. Saya mulai bertanya dalam hati, apakah sekolah benar-benar membantu siswa tumbuh sebagai manusia yang utuh?
Fenomena ini bukan hanya perasaan pribadi. Laporan Education at a Glance OECD tahun 2023 mencatat meningkatnya tekanan akademik pada pelajar di berbagai negara, termasuk Indonesia. Banyak siswa mengikuti sekolah dengan motivasi yang melemah karena beban hafalan. Siswa belajar untuk nilai, bukan untuk mengerti. Ketika nilai menjadi tujuan utama, makna pendidikan perlahan hilang dari ruang kelas.
Masalah besar dalam sistem ini adalah orientasi sekolah yang terlalu fokus pada hasil angka. Guru sering mengejar target kurikulum sehingga mengabaikan kebutuhan perkembangan siswa. Hasnawati dalam Pemikiran Ki Hadjar Dewantara tentang Pendidikan tahun 2019 menegaskan bahwa pola seperti ini mematikan kreativitas anak. Penulis sendiri sering melihat teman-teman kehilangan semangat karena merasa tidak cocok dengan cara belajar yang seragam.
Warisan pendidikan kolonial tampaknya masih terasa dalam sistem modern. Ki Hajar Dewantara menggambarkan pendidikan kolonial sebagai proses yang menekan kebebasan batin. Ia menuliskan kritik itu dalam Bagian Pertama: Pendidikan tahun 1936. Sayangnya pola tersebut masih hadir dalam bentuk aturan ketat, hukuman keras, dan penilaian kaku. Banyak siswa merasa sekolah lebih mirip penjara halus dibanding taman belajar.
Untuk memahami persoalan ini, penulis mencoba membaca kembali gagasan Ki Hajar tentang pendidikan. Dalam Karya Ki Hadjar Dewantara Bagian Pertama Pendidikan terbitan 2013, beliau menyebut pendidikan sebagai proses menuntun kekuatan kodrat anak. Menurut beliau, setiap anak memiliki potensi unik yang harus tumbuh secara alamiah. Proses belajar tidak boleh memaksa arah yang bertentangan dengan kodrat itu.
Ki Hajar juga menolak pendidikan berbasis hafalan tanpa makna. Ia mengatakan pendidikan harus menyalakan api semangat. Pernyataan ini selaras teori konstruktivisme Piaget dalam The Origins of Intelligence in Children tahun 1952 yang menekankan pentingnya pengalaman langsung. Banyak siswa sebenarnya lebih mudah memahami pelajaran ketika terlibat dalam percobaan, diskusi, atau proyek nyata.
Konsep Among yang ditawarkan Ki Hajar memberi gambaran tentang bagaimana pendidikan seharusnya berjalan. Sistem Among dibangun melalui Trilogi yang terkenal. Ing Ngarso Sung Tuladha mengajak guru memberi teladan. Ing Madya Mangun Karsa mengajak guru membangun semangat. Tut Wuri Handayani mengajak guru mendorong dari belakang. Konsep ini membayangkan guru sebagai mitra, bukan penguasa.
Suparlan dalam Filsafat Pendidikan Ki Hadjar Dewantara tahun 2020 menjelaskan bahwa hubungan manusiawi antara guru dan siswa adalah inti sistem Among. Sebagai siswa, saya merasakan kelas berjalan lebih hidup ketika guru membuka ruang dialog. Siswa merasa dihargai ketika pendapat siswa didengar. Pendidikan terasa berarti ketika guru tidak hanya mengajar, tetapi juga memahami kondisi siswa.
Sistem Among memandang sekolah sebagai taman yang menumbuhkan bakat alami. Ki Hajar menyebut anak memiliki Kodrat dan Kulitet yang perlu dipelihara. Bronfenbrenner dalam The Ecology of Human Development tahun 1979 menegaskan bahwa pertumbuhan anak sangat dipengaruhi lingkungannya. Lingkungan belajar seharusnya nyaman, aman, dan mendukung kreativitas. Sayangnya banyak ruang kelas masih terasa menekan.
Perubahan positif sebenarnya mulai berkembang dalam beberapa sekolah yang mencoba metode baru. Project based learning memberi kesempatan bagi siswa merasakan tantangan nyata. Laporan Balitbang Kemendikbud tahun 2023 menunjukkan metode proyek meningkatkan motivasi belajar. Penulis pernah merasakan hal itu dalam sebuah proyek kelas yang melibatkan penelitian kecil. Kami bekerja sama, menyusun ide, dan merasa pelajaran menjadi lebih hidup.
Sistem penilaian juga perlu berubah agar lebih mendukung proses belajar. Penilaian formatif memberi umpan balik berguna tanpa menakut-nakuti siswa. Black dan Wiliam dalam Inside the Black Box tahun 1998 membuktikan manfaat besar penilaian formatif. Siswa lebih memahami letak kesalahan dan cara memperbaikinya. Sistem ini jauh lebih manusiawi dibanding penilaian tunggal melalui ujian kognitif saja.
Sekolah merdeka harus dibangun melalui relasi sehat antara guru dan siswa. Ki Hajar menyebut tujuan pendidikan adalah membentuk manusia yang mandiri. Konsep ini sejalan dengan profil pelajar Pancasila yang menekankan kreativitas, gotong royong, dan kemandirian. Dalam dunia modern, kemampuan ini lebih penting daripada sekadar kemampuan menghafal informasi.
Namun saya masih melihat banyak ruang kelas yang bertahan pada pola lama. Siswa duduk pasif, mencatat materi panjang, lalu menghafal untuk ujian. Banyak siswa kehilangan kesempatan menemukan bakat mereka sendiri. Kita sering takut berpendapat karena takut salah. Pola ini membuat sekolah terasa jauh dari konsep taman yang dicita citakan Ki Hajar.
Karena itu semua pihak hendaknya melihat kembali tujuan pendidikan. Orang tua dapat memberi ruang bagi anak untuk tumbuh sesuai minat. Guru dapat membangun suasana kelas yang ramah kesalahan. Sekolah dapat memberi ruang eksperimen tanpa takut melanggar aturan. Hal hal kecil ini dapat memulai perubahan besar dalam pendidikan.
Pendidikan seharusnya memerdekakan siswa. Sekolah tidak boleh menjadi tempat yang menekan batin dan mematikan kreativitas. Sekolah harus membantu siswa mengenali potensi, membangun karakter, dan memahami kehidupan. Ki Hajar Dewantara mengingatkan bahwa pendidikan harus memanusiakan manusia. Semoga di era digital ini, sekolah Indonesia benar-benar menuju arah itu.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News