Maraknya gaya berpakaian ala vintage look kembali merebut perhatian banyak kalangan. Di berbagai sudut kota, kita dengan mudah menemukan kemeja bermotif lawas, jaket denim pudar, hingga celana retro yang seru untuk dipadupadankan dengan gaya “anak tongkrongan” masa kini.
Popularitas ini pun ikut menghidupkan pasar thrifting, tempat orang berburu pakaian bekas impor dengan harga terjangkau dan sentuhan autentik yang sulit ditemukan pada pakaian baru.
Namun, di balik tingginya minat masyarakat, pasar thrifting justru menjadi sorotan. Banyak aktivitas di dalamnya dianggap melanggar aturan karena barang-barang bekas impor sering masuk tanpa pengawasan yang baik.
Pakaian bekas yang datang tanpa proses sortir dan sterilisasi yang jelas juga membawa risiko kesehatan mulai dari potensi jamur, tungau, bakteri kulit, hingga residu kimia yang menempel dari proses penyimpanan hingga pengiriman.
Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 40 Tahun 2022 mencantumkan bahwa “pakaian bekas” termasuk barang yang dilarang untuk impor. Larangan ini ditegaskan kembali oleh pemerintah dengan alasan perlindungan kesehatan dan industri UMKM dalam negeri.
Sebelumnya, Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 51/M‑DAG/PER/7/2015 tentang Larangan Impor Pakaian Bekas juga menyatakan dengan tegas bahwa Pakaian bekas dilarang untuk diimpor ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jadi secara formal, impor pakaian bekas memang tidak diperbolehkan masuk ke Indonesia.
Di satu sisi, aturan tersebut dibuat untuk melindungi industri tekstil dan menjaga agar persaingan usaha tetap sehat. Menurut penjelasan dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, barang-barang bekas impor yang masuk secara tidak resmi dapat menciptakan kerugian bagi pelaku industri dalam negeri dan bahkan isu kesehatan hingga lingkungan.
Arus barang impor pakaian sampai ke tangan penjual maupun konsumen melalui dua jalur yang berbeda. Ada alur resmi, di mana importir berizin mengikuti seluruh ketentuan, membayar bea dan cukai, serta menjalankan prosedur sesuai aturan.
Di sisi lain, ada alur tidak resmi yang sering kali memanfaatkan celah. Barang bekas impor dapat masuk tanpa prosedur lengkap, melalui jalur gelap, atau dilabeli sebagai barang “baru” agar lolos dari pengawasan dan regulasi yang seharusnya diterapkan.
Barang ilegal menjadi jelas ketika pakaian bekas impor masuk tanpa izin atau melewati prosedur yang dilarang. Misalnya barang tidak membayar bea masuk atau tidak memenuhi persyaratan label dan standar nasional sehingga dapat menekan produk lokal yang seharusnya bersaing dalam kondisi yang wajar.
Masuknya barang impor tanpa kendali membawa dampak pada berbagai sisi. Pelaku industri lokal, termasuk UMKM, berpotensi tersisih karena mereka harus mematuhi standar produksi dan menanggung beban biaya, sementara barang impor yang lolos melalui celah aturan dapat dijual dengan harga jauh lebih rendah.
Kondisi ini juga membuat negara kehilangan penerimaan dari bea masuk dan pajak karena prosedur resmi tidak dilalui.
Konsumen pun menjadi pihak yang paling rentan. Ketika “murah” selalu menjadi daya tarik. Namun, tidak ada kejelasan legalitas, tentu kualitas dan keamanannya sulit dipastikan.
Selain itu, hadirnya barang bekas impor tersebut mampu merusak ekosistem usaha lokal, tertutupnya peluang tumbuh bagi pelaku UMKM, dan tergerusnya nilai kreativitas yang seharusnya menjadi ciri khas produk dalam negeri.
Ketika pasar dipenuhi barang bekas tanpa standarisasi yang baik, konsumen akan terseret pada ilusi “murah” yang sesungguhnya mengorbankan keberlanjutan ekonomi.
Disinilah letak urgensi kebijakan larangan impor barang bekas sehingga menjadi langkah penting untuk memulihkan keseimbangan pasar dan memberi ruang bernapas bagi UMKM agar dapat berkembang, berinovasi, dan berdaya saing.
Dengan begitu, produk lokal yang diolah melalui proses kurasi dan kreativitas yang mumpuni, memiliki peluang besar untuk menjadi pilihan utama para penggemar pakaian vintage yang seringkali mencari nilai otentik.
Rasanya pengawasan butuh untuk diperkuat di seluruh rantai impor, mulai dari proses masuknya barang, pemeriksaan di bea cukai, hingga alur distribusinya, bukan hanya pada pedagang di tingkat pasar.
Pelaku usaha juga perlu memahami aturan dengan jelas, terutama bahwa impor pakaian bekas memang pada dasarnya dilarang oleh ketentuan yang berlaku.
Di titik inilah peran konsumen menjadi penting. Jadilah pembeli kritis saat berbelanja dengan memastikan legalitasnya, hingga mengecek apakah produk tersebut melewati prosedur impor yang benar. Karena dengan begitu tentu akan membantu mendorong peredaran produk yang lebih aman dan sesuai aturan.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menyatakan dukungan penuh atas kebijakan Kementerian Keuangan Republik Indonesia yang melarang impor pakaian bekas (thrifting) ke Indonesia.
Gubernur DKI Jakarta menegaskan bahwa langkah larangan ini penting karena praktik barang bekas impor secara ilegal dianggap merugikan pelaku usaha dalam negeri serta menimbulkan persaingan yang tidak sehat.
Melalui Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah DKI Jakarta (PPKUKM) berencana membuka pelatihan dan program pendampingan khusus bagi para pedagang pakaian. Program ini bertujuan membantu pedagang agar menjadi pelaku usaha mandiri yang produktif, bukan hanya sebagai reseller pakaian bekas impor.
Gubernur menginstruksikan agar dinas terkait segera menyelenggarakan pelatihan agar pedagang bisa mengembangkan produk sendiri dan meningkatkan kapasitas usaha mereka.
Dukungan tersebut termasuk kolaborasi dalam pelaksanaan operasi dan pendampingan bagi pedagang yang terdampak agar beralih ke jalur usaha yang sah dan produktif.
Persoalan pakaian impor di pasar Jakarta bukan lagi soal selera dan harga saja, tetapi tentang keadilan berdagang, keselamatan konsumen, dan kepastian hukum. Pemerintah punya tanggung jawab untuk menegakkan aturan secara konsisten, pelaku usaha perlu menjalankan bisnis dengan mematuhi prosedur impor yang benar, dan konsumen memegang peran penting melalui pilihan belanja yang lebih kritis.
Upaya memperbaiki situasi ini bukan untuk mengekang kreativitas dan akses masyarakat terhadap fesyen, melainkan untuk memastikan bahwa semua pihak bergerak dalam sistem yang adil dan transparan.
Dengan terbentuknya pasar yang lebih tertib, maka harapannya ke depan adalah semua pihak akan berada dalam posisi yang lebih adil dan bermanfaat.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News