Di tengah hiruk pikuk Jakarta yang penuh gedung tinggi, kemacetan, dan polusi, ada satu ruang sunyi yang mengajak kita berhenti sejenak dan kembali mengenal alam: Muspera Museum, Perpustakaan, dan Arboretum yang berada di bawah naungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia. Berlokasi di Kompleks Gedung Manggala Wanabakti, Jalan Jenderal Gatot Subroto, Muspera menjadi oasis yang menghadirkan hutan Indonesia ke tengah kota.
Begitu melangkah masuk, pengunjung disambut oleh deretan koleksi luar biasa yang menjadi saksi bisu kekayaan alam negeri ini. Salah satu yang paling mencolok adalah potongan pohon jati raksasa berusia sekitar 300 tahun, berdiri kokoh sebagai simbol keteguhan hutan Indonesia. Ada pula koleksi pohon mahoni, berbagai spesimen flora, serta satwa-satwa dilindungi seperti harimau, beruang madu, trenggiling, dan burung-burung endemik yang diawetkan. Sebagian besar dari koleksi ini merupakan hibah, menjadi pengingat bahwa banyak satwa yang telah kehilangan habitatnya atau menjadi korban perburuan.
Namun daya tarik Muspera tidak hanya terletak pada koleksinya. Di area luar, pengunjung dapat menjelajahi sebuah arboretum mini hutan kecil yang tumbuh di tengah panasnya Jakarta. Di sini, perubahan suhu terasa nyata. Udara menjadi lebih sejuk, lebih lembap, dan lebih bersih hanya karena kehadiran pepohonan. Pengalaman sederhana ini memberi refleksi kuat bahwa hutan bukan sekadar tempat hijau, melainkan penopang kehidupan.
Rangkong dan Pelajaran tentang Siklus Kehidupan
Dalam diskusi bersama tim museum, kami mendapatkan banyak perspektif baru. Salah satunya terkait burung rangkong, salah satu satwa yang semakin terancam. Penjelasan mereka membuat kami tertegun bahwa membunuh satu rangkong jantan dapat berarti memutus satu siklus kehidupan. Pasalnya, pejantan bertugas mencari makan untuk betina dan anaknya yang bersembunyi di dalam rongga pohon. Jika pejantan mati diburu, betina dan anaknya pun terancam mati kelaparan. Lebih tragis lagi, rangkong betina sangat jarang menemukan pasangan baru.
Dari seekor rangkong, kita belajar bahwa tindakan manusia yang tampak kecil bisa berdampak besar pada keberlangsungan suatu spesies.
Gajah, Migrasi, dan Salah Paham yang Menyakitkan
Refleksi lain muncul saat membahas konflik antara gajah dan manusia. Banyak yang menganggap gajah sebagai perusak permukiman, padahal kenyataannya mereka hanya mengikuti jalur migrasi yang sama selama ratusan tahun. Sayangnya, jalur-jalur itu kini berubah menjadi area perkebunan atau pemukiman manusia. Akibatnya, konflik tak terelakkan.
Dari situ muncul pertanyaan penting: Apakah hewan yang salah, ataukah kita yang mengambil ruang hidup mereka?
GAKKUM dan Para Penjaga Hutan yang Tak Terlihat
Kunjungan kami berlanjut dengan berbincang bersama GAKKUM (Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan). Mereka bercerita tentang perjuangan di lapangan menangani kebakaran hutan, memberantas perburuan, hingga menindak pembukaan lahan ilegal.
Tim Manggala Agni, misalnya, adalah garda terdepan dalam penanganan kebakaran hutan. Dengan alat seadanya dan risiko tinggi, mereka turun langsung ke area rawan api. Pemantauan satelit membantu mereka melihat titik panas sejak dini, tetapi tetap saja banyak kebakaran terjadi karena ulah manusia, terutama pembukaan lahan dengan cara dibakar. Cara ini merusak kesuburan tanah, menciptakan kabut asap, dan mengancam kesehatan jutaan orang.
Muspera: Ruang Belajar, Ruang Refleksi, Ruang Cinta terhadap Hutan
Dari semua cerita dan pengalaman di Muspera, satu hal menjadi jelas: mencintai hutan tidak selalu dimulai dari aksi besar, tetapi dari memahami ceritanya. Muspera menjadi tempat yang tepat untuk itu menghadirkan edukasi yang hangat, sederhana, dan membekas di tengah kesibukan kota.
Bahwa hutan bukan sekadar deretan pohon, melainkan rumah bagi jutaan kehidupan. Bahwa satwa bukan sekadar koleksi museum, tetapi bagian penting dari ekosistem yang saling terhubung. Dan bahwa manusia memiliki tanggung jawab besar untuk menjaga keberlanjutan bumi.
Di tengah kota yang terus bergerak cepat, Muspera menjadi pengingat bahwa kita perlu melambat dan mendengarkan cerita alam. Tempat ini mengajarkan bahwa alam selalu memberi tanpa meminta, dan tugas kitalah untuk menjaga sekecil apapun langkah yang kita bisa lakukan.
Karena pada akhirnya, mencintai hutan adalah mencintai masa depan kita sendiri.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News