Saya tercenung. Lama sekali.
Mata saya basah. Bukan. Bukan hanya karena melihat berita bencana itu. Banjir di Sumatera memang begitu mengerikan. Rumah hanyut. Harta benda lenyap. Begitu banyak korbann jiwa. Duka di mana-mana. Seluruh Indonesia berduka, seluruh bangsa ikut menahan luka.
Satu lagi yang membuat air mata saya menetes justru kabar yang datang dari ribuan kilometer di seberang sana. Dari tanah Papua.
Namanya Pison Kogoya. Ia anak pegunungan. Mimpinya sederhana sekali: ingin turun bermain dan berlibur ke kota Jayapura.
Satu tahun ia menabung. Lembar demi lembar rupiah ia masukkan ke celengan. Rencananya sudah tersusun rapi untuk liburan Natal ini. Ia ingin melihat Pantai Amai. Ia ingin minum air kelapa muda. Ia ingin main air di Danau Sentani.
Bagi kita, mungkin itu biasa. Bagi Pison, itu mimpi mewahnya.
Tapi lihatlah apa yang terjadi.
Sebuah berita di televisi mengubah segalanya. Pison kecil melihat rumah-rumah di Sumatera hanyut. Ia melihat saudara-saudaranya di ujung negeri kehilangan pakaian dan tempat berteduh, susah makan dan minum.
Tiba-tiba, mimpi tentang es kelapa dan pantai itu terasa tidak penting lagi baginya.
Dengan suara bergetar, ia bertanya pada gurunya: “Bapak… rumah hanyut-hanyut itu, mereka tidur di mana?”.
Pertanyaan polos. Tapi menampar hati orang dewasa. Hati kita semua.
Detik itu juga, keputusan besar dibuat. Pison menyerahkan celengannya. Isinya Rp 1.500.000. Seluruh tabungannya selama setahun.
Ia berkata pada gurunya: “Bapak Guru, ini sumbangan untuk Sumatera. Saya tidak jadi ke Jayapura.”.
Ia ikhlas batal liburan. Asalkan saudaranya yang berjarak 4.000 kilometer itu bisa makan dan tidur nyenyak.
Dada saya sesak membacanya. Hati Pison ternyata seluas samudera yang bahkan belum sempat ia lihat itu.
Dan Pison tidak sendirian.
Saya dengar ada tukang cukur. Kakinya pegal berdiri seharian. Tangannya linu. Tapi ia ikhlas menyumbangkan penghasilan kerjanya berhari-hari untuk saudara-saudaranya di Sumatera, yang bahkan tak pernah ia jumpai atau kenal.
Di Jogja. Di Jakarta. Di Bandung. Di Surabaya. Di Bali. Di Sulawesi. Kalimantan. Semua tergerak dan bergerak.
Warung-warung kecil bergerak. Tanpa komando.
Mereka tahu banyak mahasiswa rantau asal Sumatera yang sedang bingung. Kiriman orang tua terputus. Rumah orang tua mereka di kampung sedang terendam. Kabar dari mereka pun bahkan ada yang belum didapatkan.
Maka tulisan-tulisan itu bermunculan di seluruh penjuru Indonesia: “Gratis Makan bagi Mahasiswa Terdampak”.
Ekonomi kita sedang sulit? Iya. Hidup sedang susah? Pasti. Harga-harga makin mahal? Betul. Cari kerjaan masih susah? Masih.
Tapi ketika ada bagian tubuh Indonesia yang sakit, logika ekonomi itu runtuh. Kalkulator untung-rugi itu dibuang jauh-jauh.
Saar air mata saya belum kering menangisi Sumatra, rasa haru itu datang lagi bergelombang.
Lihatlah ke lapangan. Ke pusat bencana itu. Di sana ada seragam loreng. TNI. Basah kuyup. Berlumpur. Di sana ada rompi oranye. Relawan. Wajahnya kusut. Tak tidur berhari-hari.
Mereka tidak memikirkan kulit yang keriput kedinginan. Mereka menerjang arus. Menggendong nenek-nenek yang lumpuh. Menjinjing balita yang menangis.
Medannya bukan main sulitnya. Jalan putus. Jembatan ambrol. Tanah labil. Longsor bisa jadi masih mengancam.
Tapi mereka tidak mundur selangkah pun. "Makan nanti saja, yang penting warga selamat dulu. Mereka dibantu dulu, mereka makan dulu," kata mereka dalam hati. Mereka meninggalkan anak istri di rumah demi menyelamatkan anak istri orang lain.
Lalu tengoklah ke atas tiang-tiang itu.
Di tengah gerimis sisa badai, ada petugas PLN yang memanjat gardu. Bertaruh nyawa. Kabel-kabel semrawut. Tiang miring.
Mereka bekerja dalam senyap. Fokusnya satu: agar gelap gulita tidak menambah pekat duka para pengungsi. Agar cahaya segera kembali.
Dan nun jauh di jalanan lintas pulau... Deru mesin diesel terdengar bersahutan. Siang malam.
Itu para sopir truk. Pahlawan jalanan. Mereka bukan sedang mengantar barang dagangan. Bukan sedang mengejar setoran bos.
Truk-truk itu datang jauh sekali. Dari Jawa Timur. Dari Jawa Tengah. Dari Jakarta. Ribuan kilometer jauhnya. Menyeberangi selat. Mendaki bukit.
Mata sopir-sopir itu merah. Lelah. Tapi kaki mereka mantap menginjak gas.
Di bak belakang truk mereka, bertumpuk ton-ton beras. Pakaian layak pakai. Mie instan. Selimut.
Itu semua titipan. Titipan dari rakyat yang menyisihkan uang belanjanya. Titipan dari Pison-Pison lain di seluruh penjuru negeri.
Para sopir itu tahu: setiap putaran roda mereka adalah harapan bagi saudara di Sumatera. Terlambat sedikit, ada perut yang lapar menunggu.
Saya jadi bertanya-tanya: Terbuat dari apa sebenarnya hati rakyat Indonesia ini? Dari anak kecil di Papua sampai sopir truk di Pantura, frekuensinya sama. Getarannya sama.
Kita mungkin sering bertengkar soal politik. Kita sering ribut di media sosial.
Tapi begitu bencana datang, kita kembali menjadi satu tubuh yang utuh. Yang saling menguatkan. Yang saling menopang.
Saya bangga menjadi bagian dari bangsa yang "aneh" ini. Bangsa yang hatinya mudah sekali tergerak. Bangsa yang tidak tega melihat saudaranya menderita.
Di tengah lumpur dan derita di Sumatera sana, kita menemukan kembali harta karun terbesar bangsa ini: Hati nurani rakyatnya.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News