dari hutan ke ekskavator jejak deforestasi sumatra demi tambang dan sawit - News | Good News From Indonesia 2025

Dari Hutan ke Ekskavator: Jejak Deforestasi Sumatra demi Tambang dan Sawit

Dari Hutan ke Ekskavator: Jejak Deforestasi Sumatra demi Tambang dan Sawit
images info

Dari Hutan ke Ekskavator: Jejak Deforestasi Sumatra demi Tambang dan Sawit


Pulau Sumatra pernah dikenal sebagai salah satu benteng terakhir hutan hujan tropis di Asia Tenggara, dengan luas tutupan hutan alam yang pada tahun 1950-an diperkirakan mencapai lebih dari 40 juta hektare.

Namun, dalam kurun waktu 7 dekade, hutan tersebut menyusut drastis. Data berbagai lembaga lingkungan menunjukkan bahwa hingga tahun 2020-an, Sumatra telah kehilangan lebih dari 50% tutupan hutan aslinya, terutama akibat pembukaan lahan besar-besaran untuk perkebunan kelapa sawit dan pertambangan.

Lanskap yang dulu didominasi pepohonan raksasa berdiameter hingga 2 meter kini berubah menjadi lahan terbuka, perkebunan monokultur, dan jalan-jalan industri.

Salah satu pendorong utama deforestasi adalah ekspansi perkebunan kelapa sawit. Berdasarkan estimasi berbagai kajian, luas perkebunan sawit di Sumatra telah mencapai sekitar 10–12 juta hektare, atau lebih dari 70% total kebun sawit nasional. Provinsi Riau, Sumatra Utara, Jambi, dan Sumatra Selatan menjadi pusat ekspansi terbesar.

Setiap tahunnya, sekitar 300.000–500.000 hektare lahan baru dibuka pada puncak ekspansi sawit di dekade 2000–2010, sebagian besar berasal dari hutan alam dan lahan gambut.

Selain sawit, sektor pertambangan memberikan kontribusi signifikan terhadap hilangnya tutupan hutan. Aktivitas tambang batu bara, emas, dan mineral lainnya membutuhkan pembukaan lahan dalam skala luas.

baca juga

Diperkirakan lebih dari 3–5 juta hektare kawasan di Sumatra telah memiliki izin usaha pertambangan.

Tambang terbuka (open pit) menjadi metode yang paling banyak digunakan, menyisakan lubang-lubang raksasa sedalam puluhan hingga ratusan meter, yang seringkali ditinggalkan tanpa reklamasi memadai.

Dampak ekologis dari deforestasi ini sangat serius. Populasi harimau Sumatra diperkirakan menurun hingga lebih dari 80% dalam satu abad terakhir, dengan jumlah tersisa kurang dari 400 ekor di alam liar.

Gajah Sumatra juga mengalami penurunan populasi hingga 60–70% sejak tahun 1980-an. Hilangnya habitat akibat pembukaan lahan memaksa satwa-satwa ini keluar dari kawasan hutan dan masuk ke pemukiman warga, memicu konflik serius antara manusia dan satwa liar.

Kerusakan hutan juga berdampak pada sistem hidrologi. Hutan alam berfungsi menyerap dan menyimpan air hujan dalam jumlah besar. Ketika hutan hilang, daya serap tanah menurun drastis.

Studi lingkungan menunjukkan bahwa daerah aliran sungai (DAS) di Sumatra yang kehilangan lebih dari 30% tutupan hutannya mengalami peningkatan frekuensi banjir hingga 2–3 kali lipat dalam dua dekade terakhir. Erosi tanah meningkat, menyebabkan pendangkalan sungai dan memperparah banjir bandang.

Lahan gambut menjadi korban paling rapuh dari alih fungsi lahan. Sumatra memiliki sekitar 4–5 juta hektare lahan gambut yang sebagian besar telah dikeringkan untuk perkebunan sawit dan hutan tanaman industri. Pengeringan ini menyebabkan gambut menjadi sangat mudah terbakar.

baca juga

Bencana kebakaran hutan dan lahan pada tahun 2015, misalnya, melepaskan lebih dari 1,6 miliar ton CO₂ ke atmosfer dan menimbulkan kerugian ekonomi nasional hingga lebih dari Rp220 triliun.

Dampak sosial dari deforestasi tak kalah besar. Data konflik agraria menunjukkan bahwa ratusan konflik lahan terjadi setiap tahunnya, banyak di antaranya berada di wilayah Sumatra.

Masyarakat adat dan komunitas lokal kehilangan akses terhadap hutan yang selama ini menjadi sumber pangan, obat-obatan, dan bahan bangunan.

Di beberapa daerah, lebih dari 50% konflik lahan terkait langsung dengan konsesi perkebunan sawit dan pertambangan.

Dari sisi ekonomi, industri sawit dan tambang memang memberikan kontribusi signifikan. Minyak sawit menyumbang devisa negara hingga US$20–30 miliar per tahun, dan sektor pertambangan memberikan miliaran dolar dalam bentuk ekspor serta penerimaan negara bukan pajak.

Namun, studi ekonomi lingkungan menunjukkan bahwa biaya kerusakan lingkungan, bencana banjir, kebakaran hutan, dan krisis kesehatan seringkali menghasilkan kerugian yang mendekati atau bahkan melebihi keuntungan ekonomi jangka pendek tersebut.

Praktik pembalakan liar (illegal logging) juga memperparah situasi. Meski telah dilakukan berbagai operasi penertiban, diperkirakan jutaan meter kubik kayu ilegal masih keluar dari hutan Sumatra setiap tahun.

Jalur distribusi kayu ilegal sering terhubung dengan jaringan industri, membuat upaya penegakan hukum menjadi sangat sulit. Tanpa pengawasan ketat, kawasan hutan lindung pun menjadi sasaran penebangan.

baca juga

Pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan untuk menekan deforestasi, seperti moratorium pemberian izin baru di hutan primer dan lahan gambut.

Namun, implementasi kebijakan di lapangan sering menghadapi tantangan besar, mulai dari lemahnya pengawasan hingga tumpang tindih perizinan.

Beberapa laporan menunjukkan bahwa masih terdapat ratusan ribu hektare konsesi yang berada di kawasan dengan status tata ruang bermasalah.

Peran perusahaan menjadi sorotan utama. Sebagian perusahaan besar telah mengikuti skema sertifikasi berkelanjutan seperti RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil). Namun, banyak penelitian menunjukkan bahwa sertifikasi belum sepenuhnya menghentikan pembukaan hutan alam.

Di beberapa kasus, perusahaan tetap membuka lahan dengan dalih “izin lama” atau memanfaatkan celah regulasi.

Masyarakat sipil dan organisasi lingkungan tetap menjadi garis depan perlawanan. Kampanye global, investigasi lapangan, dan tekanan dari konsumen internasional mulai mengubah cara pandang sebagian pelaku industri.

Negara-negara importir mulai menuntut produk bebas deforestasi, mendorong praktik yang lebih ramah lingkungan. Namun, perubahan sistemik masih berjalan lambat dibandingkan laju kehilangan hutan.

Masa depan hutan Sumatra kini berada di titik krusial. Jika laju deforestasi tetap berada pada kisaran ratusan ribu hektare per tahun, maka dalam beberapa dekade ke depan, hutan alam yang tersisa bisa tersingkir sepenuhnya dari sebagian besar lanskap Sumatera.

Pilihan ada di tangan manusia: melanjutkan eksploitasi tanpa batas atau mulai membangun model pembangunan yang menghargai alam sebagai penopang utama kehidupan.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

AR
KG
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.