tidur siang tak pernah setara tidur malam penjelasan ilmiah bagi pekerja shift malam - News | Good News From Indonesia 2025

Tidur Siang Tak Pernah Setara Tidur Malam: Penjelasan Ilmiah bagi Pekerja Shift Malam

Tidur Siang Tak Pernah Setara Tidur Malam: Penjelasan Ilmiah bagi Pekerja Shift Malam
images info

Tidur Siang Tak Pernah Setara Tidur Malam: Penjelasan Ilmiah bagi Pekerja Shift Malam


Penelitian menunjukkan, tubuh manusia tidak dirancang untuk terjaga di malam hari. Akan tetapi, tuntutan ekonomi dan layanan publik membuat kerja malam (shift malam) tidak dapat dihindarkan. Lantas, bagaimana proses tubuh beradaptasi dengan perubahan jam tidur?

Tubuh manusia memiliki ritme sirkadian, artinya jam biologis internal yang mengatur kapan kita mengantuk, lapar, dan waspada. Ritme ini dikendalikan oleh bagian otak bernama suprachiasmatic nucleus (SCN). Bagian ini sangat sensitif terhadap cahaya. Artinya, cahaya matahari adalah sinyal utama tubuh untuk menentukan waktu aktif dan istirahat.

baca juga

Masalahnya, bekerja malam tidak serta-merta memindahkan jam biologis. Banyak penelitian menemukan bahwa meski seseorang sudah bertahun-tahun bekerja malam, ritme sirkadiannya hanya bergeser sebagian. Tubuh tetap pada polanya; malam adalah waktu tidur.

Inilah sebabnya rasa mengantuk tetap muncul meski seseorang sudah terbiasa shift malam.

baca juga

Hormon Bekerja tapi Tidak Sinkron

Salah satu dampak utama dari kerja malam adalah terganggunya sistem hormon. Sistem hormon yang dimaksud adalah melatonin dan kortisol. 

Melatonin sering disebut sebagai hormon tidur. Hormon ini diproduksi oleh kelenjar pineal di otak dan meningkat saat kondisi gelap. Produksinya menjadi sinyal bagi tubuh bahwa waktu istirahat telah tiba. 

Penelitian menunjukkan bahwa paparan cahaya di malam hari, termasuk cahaya lampu ruangan, dapat menunda dan menekan produksi melatonin. Oleh karena itu, paparan cahaya ruangan sebelum tidur dapat menunda onset melatonin dan memperpendek durasi produksinya dibandingkan kondisi cahaya redup. Dampaknya, seseorang merasa sulit mengantuk atau sulit tidur meskipun merasa lelah.

baca juga

Sementara itu, kortisol dikenal sebagai hormon kewaspadaan. Dalam kondisi normal, kadarnya paling tinggi pada pagi hari, terutama sesaat setelah bangun tidur. Hormon ini lantas menurun secara bertahap hingga malam. Pola ini membantu tubuh merasa segar di pagi hari dan siap beristirahat di malam hari.

Pada pekerja shift malam, ritme alami kortisol ini sering mengalami gangguan. Tinjauan ilmiah terbaru tentang kortisol dan kerja shift menunjukkan bahwa kerja malam dan kerja shift bergilir mengubah ritme harian kortisol. Ritme ini termasuk perubahan waktu puncak, respons saat bangun tidur, dan variasi kadar hormon sepanjang hari.

Gangguan ritme inilah yang diyakini berkontribusi pada keluhan umum pekerja malam, yakni tubuh terasa lelah meski sudah tidur, sulit merasa benar-benar segar saat bangun, dan sulit sepenuhnya mengantuk saat waktu istirahat tiba. Namun, para peneliti juga menegaskan bahwa perubahan pola kortisol tidak selalu sama pada setiap individu. Hal ini dipengaruhi oleh durasi kerja malam, pola rotasi shift, kualitas tidur, dan faktor individu lainnya.

baca juga

Tidur Siang Tidak Pernah Setara Tidur Malam

Banyak pekerja malam mencoba mengganti tidur malam dengan tidur siang. Sayangnya, kualitasnya tidak sama.

Tidur di siang hari rata-rata lebih pendek dan lebih mudah terbangun. Salah satu penyebabnya adalah sleep pressure, dorongan biologis untuk tidur yang seharusnya mencapai titik jenuh di malam hari, bukan siang hari.

Dorongan ini secara alami mencapai puncaknya pada malam hari setelah tubuh terjaga sepanjang siang. Sebaliknya, pada siang hari, sleep pressure cenderung lebih rendah karena tubuh belum berada pada fase biologis yang optimal untuk tidur.

baca juga

Selain itu, ritme sirkadian juga mempengaruhi suhu inti tubuh. Pada malam hari, terutama menjelang dan selama tidur malam, suhu inti tubuh menurun secara alami. Kondisi ini mendukung munculnya slow-wave sleep, yaitu fase tidur dalam yang berperan penting dalam pemulihan fisik dan metabolik. Pada siang hari, suhu inti tubuh relatif lebih tinggi, sehingga fase tidur dalam lebih sulit tercapai dan tidur menjadi lebih mudah terfragmentasi.

Perbedaan inilah yang menjelaskan mengapa tidur siang, meskipun dapat membantu mengurangi rasa kantuk, umumnya tidak memberikan efek pemulihan yang setara dengan tidur malam.

Peneliti menjelaskan bahwa gangguan ritme sirkadian dapat mempengaruhi regulasi sel dan hormon. Dalam jangka panjang, ini berkaitan dengan peningkatan risiko kanker payudara, prostat, dan kolorektal.

Selain kanker, studi kohort besar di BMJ (2020) menemukan pekerja shift malam memiliki risiko lebih tinggi terhadap penyakit kardiovaskular, termasuk penyakit jantung koroner.

baca juga

Mengapa Tidak Semua Orang Terdampak Sama?

Menariknya, tidak semua pekerja malam mengalami dampak yang sama. Faktor genetik ikut berperan.

Penelitian di Proceedings of the National Academy of Sciences (PNAS) menunjukkan bahwa variasi gen jam biologis, seperti PER3, berkaitan dengan perbedaan chronotype atau preferensi waktu tidur–bangun.

Chronotype ini kemudian diketahui mempengaruhi cara seseorang merespons kerja di jam biologis yang tidak biasa. Sejumlah penelitian observasional menunjukkan bahwa individu dengan evening chronotype cenderung lebih mudah beradaptasi dengan aktivitas malam, sementara morning chronotype lebih rentan mengalami gangguan tidur dan kelelahan ketika bekerja malam.

Meski demikian, para peneliti menegaskan bahwa toleransi terhadap kerja malam bersifat multifaktorial dan tidak ditentukan oleh faktor genetik semata.

baca juga

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Aslamatur Rizqiyah lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Aslamatur Rizqiyah.

AR
Tim Editorarrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.