Sepanjang tahun 2025 mungkin kita sering melihat atau mendengar kasus bullying di lingkungan pendidikan atau sekolah yang kian hari kian marak terjadi. Hampir setiap bulannya media masa memberitakan kasus bullying yang terjadi pada pelajar sekolah, mirisnya pelaku bullying biasanya teman-teman di sekolah korban.
Banyak korban sampai meninggal dunia akibat bullying, salah satunya terjadi pada siswa SMP di Tangsel yang menjadi korban bullying hingga matanya rabun, dan sampai dirawat di ICU. Sayangnya, setelah seminggu dirawat di ICU korban meninggal dunia.
Terjadi pula pada siswa SMP di Grobogan yang tewas di ruang kelasnya akibat dianiaya teman sekelas saat belum ada guru di kelas. Ada pun korban bullying yang sampai terpaksa berhenti sekolah. Hal ini yang dialami seorang siswi SMP di Bandar Lampung yang memilih berhenti sekolah karena terus-menerus di-bully oleh teman-temannya, karena pekerjaan orang tuanya yang berprofesi sebagai pemulung.
Dari tiga kasus di atas, kita mungkin bertanya-tanya: memangnya tidak ada orang lain yang membantu korban? Atau, mengapa teman-temannya yang bukan bagian dari pelaku tidak melapor kepada guru atau mengambil tindakan langsung?
Lalu, kenapa orang-orang yang menjadi saksi bullying justru cenderung pasif dan tidak melakukan apa pun untuk menolong korban? Nah, ada istilah yang namanya "bystander effect" yaitu salah satu fenomena psikologis dimana seseorang cenderung tidak membantu orang lain yang sedang kesulitan, karena adanya banyak saksi mata.
Dalam konteks bullying "bystander effect" terjadi dimana ketika seseorang yang menyaksikan peristiwa bullying, cenderung tidak membantu korban karena beranggapan orang lain yang akan membantu.
Selain beranggapan orang lain yang akan membantu, ada beberapa faktor lainnya. Untuk itu kita akan mengulik beberapa faktor yang menjadi alasan seorang bystander lebih memilih diam ketika menyaksikan peristiwa bullying.
Menganggap Orang Lain yang Akan Membantu
Menganggap orang lain yang akan membantu adalah faktor utamanya. Seseorang yang menyaksikan bullying dan mengetahui bahwa bukan hanya dirinya yang menyaksikan peristiwa tersebut. Mereka akan cenderung berpikir dan menganggap orang lainlah yang akan membantu, sehingga mereka akan mengandalkan orang lain untuk menolong korban.
Menurut Nande dan Noorrizki (dalam Isma dkk, 2025), anggapan bahwa orang lain juga mengetahui dan melihat peristiwa tersebut adalah salah satu alasan seseorang bisa menjadi bystandereffect. Semakin banyak orang berada di tempat kejadian, semakin kecil seseorang akan memberi bantuan.
Takut Menjadi Sasaran Pelaku Bullying
Faktor lainnya yang membuat bystander diam bukan hanya karena mengandalkan orang lain untuk membantu, tapi ada faktor sosial lainnya. Seseorang yang menyaksikan peristiwa bullying sebenarnya mungkin ingin menolong, akan tetapi mereka takut menjadi korban selanjutnya atau menjadi sasaran pelaku bullying berikutnya.
Seperti yang dinyatakan oleh Maulani dkk (dalam Isma dkk, 2025) seorang bystander yang memilih diam dan tidak menolong korban umumnya merasa takut pada pelaku bullying.
Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya bystander punya rasa peduli dan iba, tapi mereka juga khawatir akan konsekuensi yang mereka dapatkan jika berani membantu dan membela korban. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa bystander lebih mengkhawatirkan dampak yang akan dirinya terima daripada mengkhawatirkan kondisi korban.
Kurangnya Rasa Empati
Bystander yang memilih diam ketika menyaksikan peristiwa bullying, bisa juga dapat disebabkan kurangnya rasa empati kepada korban. Staub (dalam Atjo & Tatteng, 2024) menyatakan bahwa salah satu faktor yang dapat memengaruhi seseorang untuk membantu orang lain adalah empati.
Seseorang yang memiliki empati lebih tinggi cenderung akan membantu korban, sedangkan mereka yang memiliki rasa empati rendah turut berpotensi untuk menjadi pelaku kekerasan atau tetap bersikap pasif. Empati yang tinggi ini lah yang membuat bystander terdorong untuk membantu korban.
Lalu, solusi apa yang tepat untuk kawan GNFI lakukan agar terhindar dari fenomena bystander effect? Yuk, simak beberapa langkah yang bisa kawan lakukan agar tidak hanya menjadi penonton ketika peristiwa bullying terjadi.
Meningkatkan Rasa Empati
Konsep empati mengacu pada kemampuan seseorang untuk memahami, merasakan, berpikir, mengerti kondisi orang lain dari sudut pandang orang tersebut, sehingga kita benar-benar merasakan apa yang dirasakan atau dialami orang lain (Halim & Djuwita 2019).
Oleh karena itu, memiliki rasa empati yang tinggi sangat penting agar kawan GNFI punya rasa kemanusiaan dan kepedulian untuk menolong orang-orang yang mengalami bullying.
Mulai Berani Bertindak
Setelah memiliki rasa empati yang tinggi, langkah selanjutnya yang harus kawan GNFI lakukan adalah punya keberanian untuk mulai bertindak mencegah terjadinya pembullyan. Salah satu tindakan yang dapat dilakukan adalah dengan cara melapor ke pihak berwenang.
Polanin dkk dalam (Khasanah, 2024) juga menyatakan bahwa bystander dapat berperan dalam menghentikan atau mencegah terjadinya bullying dengan melapor kejadian tersebut ke pihak yang berwenang.
Mengandalkan orang lain untuk membantu korban bullying bukanlah sebuah solusi. Kita tidak pernah tahu apakah orang lain akan benar-benar membantu atau justru memilih diam. Karena itu, alih-alih mengandalkan orang lain, kita lah yang harus mulai berani menolong korban dari kejamnya perilaku bullying.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News


