Konflik bersenjata dua negara ASEAN—Thailand dan Kamboja—sampai menjelang akhir bulan Desember 2025 ini masih belum usai. Pertempuran di perbatasan kedua negara itu mengejutkan semua pihak karena konflik ini sangat jauh dari tujuan dibentuknya ASEAN dulu. Seperti diketahui, ASEAN didirikan oleh lima negara melalui lima menteri luar negerinya: Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, dan Filipina di Bangkok pada 8 Agustus 1967 melalui Deklarasi Bangkok yang salah satu isinya adalah “Meningkatkan perdamaian dan kestabilan regional (kawasan).”
Brunei Darussalam menjadi anggota pertama ASEAN di luar lima negara pionir. Brunei Darussalam bergabung menjadi anggota ASEAN pada tanggal 7 Januari 1984 (tepat seminggu setelah memperingati hari kemerdekaannya). Sebelas tahun kemudian, ASEAN kembali menerima anggota baru, yaitu Vietnam yang menjadi anggota ketujuh pada tanggal 28 Juli 1995. Dua tahun kemudian, Laos dan Myanmar menyusul masuk menjadi anggota ASEAN, yaitu pada tanggal 23 Juli 1997. Walaupun Kamboja berencana untuk bergabung menjadi anggota ASEAN bersama dengan Myanmar dan Laos, rencana tersebut terpaksa ditunda karena adanya masalah politik dalam negeri Kamboja. Meskipun begitu, satu tahun kemudian Kamboja akhirnya bergabung menjadi anggota ASEAN, yaitu pada tanggal 30 April 1999. Terbaru, Timor Leste resmi menjadi anggota ke-11 dari ASEAN pada tanggal 26 Oktober 2025.
Beberapa negara ASEAN memang memiliki persoalan-persoalan politik, antara lain soal konflik batas negara seperti antara Malaysia-Indonesia, Malaysia-Filipina, dsb. Namun, dulu para pendiri ASEAN termasuk mantan Presiden Indonesia, Soeharto, dikenal bijak dalam menyelesaikan berbagai masalah antaranggota ASEAN. Sampai ada istilah yang populer di mana semua persoalan diselesaikan dengan “The ASEAN Way”—cara-cara penyelesaian ASEAN yang menitikberatkan pada musyawarah kekeluargaan.
Lalu, di luar kebiasaan kawasan ASEAN yang damai itu, muncul sengketa negara Thailand dan Kamboja mengenai teritorial yang diselesaikan lewat pertempuran. Konflik ini menjadi konfrontasi bersenjata langsung pada 24 Juli 2025 di sepanjang perbatasan Kamboja-Thailand. Kedua negara kemudian menyetujui gencatan senjata tanpa syarat pada 28 Juli 2025. Namun, pertempuran pecah lagi pada bulan Desember, dengan Thailand merebut beberapa kota dan bukit di dekat perbatasan.
Situasi semakin meningkat pada 23 Juli, ketika seorang tentara Thailand terluka parah setelah menginjak ranjau darat antipersonel PMN-2 di distrik Nam Yuen, Provinsi Ubon Ratchathani. Insiden itu memicu permusuhan, dan keesokan harinya, bentrokan bersenjata langsung meletus di beberapa sektor perbatasan, dengan media Thailand setuju bahwa roket BM-21 Kamboja, yang menghantam daerah pemukiman Thailand, rumah sakit, dan pompa bensin, adalah katalis konflik militer pada 24 Juli 2025.
Komunitas internasional—khususnya ASEAN dan Perserikatan Bangsa-Bangsa—didesak untuk campur tangan dalam menengahi konflik. Meskipun ketegangan berangsur-angsur mereda di bawah tekanan diplomatik eksternal, serangan udara dan keterlibatan darat Juli 2025 adalah salah satu episode paling intens dalam sengketa perbatasan Kamboja-Thailand sejak kasus Kuil Preah Vihear, meninggalkan dampak jangka panjang pada stabilitas dan keamanan daratan Asia Tenggara.
Pada 7 Desember 2025, Kamboja dan Thailand terlibat dalam pertempuran perbatasan selama 30 menit. Keesokan harinya, Thailand melakukan operasi darat dan udara F-16 di beberapa lokasi perbatasan di Kamboja. Pada 10 Desember, Angkatan Darat Kerajaan Thailand (Royal Thai Army—RTA) meluncurkan "Operasi Sattawat" dan merebut sejumlah daerah di Kamboja utara. Amerika Serikat di bawah Presiden Donald Trump mendesak Kamboja dan Thailand untuk menghormati Perjanjian Damai Kuala Lumpur di tengah bentrokan perbatasan yang diperbarui.
Konflik bersenjata kedua negara anggota ASEAN yang menelan korban jiwa itu memang disayangkan mengingat kawasan ASEAN ini digadang-gadang dunia menjadi pusat pertumbuhan ekonomi global. Kawasan dengan penduduk lebih dari 600 juta jiwa ini merupakan pasar tunggal dan basis produksi yang terintegrasi, dengan pertumbuhan rata-rata yang solid dan diproyeksikan menjadi pasar tunggal terbesar keempat dunia pada 2030. Selain itu, potensi ekonomi digital ASEAN sangat besar, diprediksi mencapai US$2 triliun pada 2030, dengan Indonesia menjadi porsi terbesar (40%). Kawasan ASEAN juga telah menjadi tujuan FDI (foreign direct investment) terbesar kedua di dunia dan eksportir global, didukung oleh berbagai perjanjian kerja sama ekonomi seperti AFTA (ASEAN Free Trade Area).
Semoga para pemimpin ASEAN generasi sekarang ini tidak lupa dengan wisdom atau kebijaksanaan para pendiri (founding fathers) ASEAN dulu yang selalu mengedepankan musyawarah kekeluargaan dan menghindari konflik dalam menyelesaikan berbagai persoalan di antara negara-negara anggotanya.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News


