Masyarakat di negeri ini tampaknya mulai memiliki jarak dengan tradisinya, dengan budayanya. Pertanyaannya, apakah fenomena ini harus diratapi atau diterima dengan lapang dada sebagai keniscyaan dari perubahan sosial?
Tak sedikit budaya nusantara yang memiliki keunggulan dalam membangun kehidupan masyarakat dalam bingkai keragaman di Indonesia. Keunggulan itu dalam bentuk kebiasaan, pemikiran, pengetahuan, keterampilan, dan tata moral yang terus menerus mampu menjaga tatanan sosial yang saling menghargai, menghormati. Satu dari berbagai nilai dan ajaran di nusantara, misalnya, ajaran mengenai kemampuan menyesuaikan diri yang disebut dengan empan papan.
Perjumpaan budaya dengan budaya lain dalam jangka waktu panjang, membentuk model kerja budaya yang disebut dengan asimilasi. Ini sebuah proses pembauran dua atau lebih budaya yang berbeda, dan melahirkan budaya baru dengan pengetahuan, kebiasaan, pemikiran, dan nilai yang baru. Terlepas perubahan itu menjadian nilai lebih baik menurut budaya lokal, dan mungkin juga dianggap lebih buruk dampaknya.
Serbuan globalisasi informasi, pun membuat perubahan budaya, termasuk perubahan gaya berpakian dan gaya bertingkah laku. Sebut misalnya, melalui dunia digital dan informasi masuk musik dan film Korea yang kini mulai memunculkan gaya hidup baru, untuk sementara ini digelari dengan istilah K-pop. Pada jangka panjangnya, ini akan bisa memengaruhi perubahan budaya di negeri ini.
Melakukan penangkalan terhadap budaya luar dan asing tentu saja merupakan tindakan konyol dan hanya akan berujung dengan sia-sia. Sebab perubahan budaya, juga sebagaimana juga perubahan dalam berbagai bidang kehidupan merupakan keniscayaan, dan tak akan mungkin bisa menghindari di bangsa dan negara mana pun.
Apa yang mungkin dilakukan dalam ranah budaya ini adalah dengan merawat budaya itu dengan berbagai strategi kebudayaan dalam berbagai ranah budaya, kesadaran akan nilai budaya, pengetahuan, keterampilan, dan habitus yang mampu menjadi lahan subur bertahannya budaya lama yang memiliki makna dan manfaat bagi kehidupan masyarakat.
.jpg)
Image by inno kurnia from Pixabay
Setidaknya, ada dua strategi efektif untuk merawat budaya dengan berbagai keunggulannya. Pertama, melakukan perjumpaan warga masyarakat dengan berbagai budaya. Strategi ini bisa melalui berbagai pertunjukkan, pembangunan museum, melakukan berbagai penerbitan dan produksi video, mendukung pengembangan komunitas-komuntas budaya, dan pendidikan lain dalam bentuk formal, nonformal, dan informal.
Bentuk yang menarik dan mulai banyak dilakukan di berbagai daerah adalah pengajaran kembali bahasa-bahasa daerah, melalui pembelajaran di sekolah—biasanya melalui kurikulum lokal, dan pengajaran publik sebagai prakarsa dari kelompok masyarakat itu sendiri. Mempertemukan masyararakat dengan bahasa daerah tentu sangat strategis untuk menggali berbagai budaya. Masyarakat busa mempelajari kembali ajaran moral, cerita rakyat, dan bahkan berbagai pengetahuan yang masih tersimpan dalam buku-buku bahasa daerah, dan tak mampu lagi dibaca masyarakat kebanyakan.
Kedua, melakukan rebranding budaya sebagai identitas yang membanggakan bagi masyarakat. Masuknya nalar modernitas, dan berkembang selama ini menempatkan budaya lokal, tradisi lokal sebagai penanda keterbelakangan, ketertinggalan zaman, dan kemunduran. Lebih parah lagi mengasosiasikan budaya daerah atau lokal sebagai perilaku penuh mitos dan takhayul, dan tak jarang pula yang mengidentikkan sebagai kesirikan.
Pembangunan modern dengan begitu dipahami sebagai upaya meminggirkan budaya lokal dan daerah, karena budaya itu akan menghambat pembangunan. Mereka yang masih memegangi budaya daerahnya dianggap sebagai kelompok masyarakat kolot, dan tidak berbudaya, dan barbar. Tata nilai lama ditempatkan sebagai bentuk pembelengguan kebebasan masyarakat, dan tak mampu memberikan peluang maju dan berkembang.
Rebranding budaya sebagai identitas merupakan upaya melawan pengetahuan yang selama ini dihunjamkan modernitas, membongkar kembali nalar sesat modernitas dalam memandang budaya daerah dan lokal. Cara pandang yang sering kali diajarkan melalui lembaga-lembaga pendidikan formal. Langkah utama dengan membangun narasi tentang budaya yang mudah dipahami berbagai level masyarakat, terutama lagi bagi generasi mudanya.
Narasi ini memuat keunggulan-keunggulan budaya leluhur yang termuat dalam berbagai karya-karya budaya dan menelusuri jejak-jejak leluhur dalam membangun kehidupan masyarakat yang kuat dan sejahtera. Jejak-jejak ini untuk menunjukkan, budaya yang berkembang saat ini sesungguhnya memiliki akar yang kuat dalam budaya nusantara.
Selain itu, merawat budaya daerah dan lokal, berarti juga sedang melakukan perlawanan terhadap paham modernitas yang destruktif terhadap berbagai nilai budaya dan abai terhadap semesta, termasuk merusak hutan-hutan sebagai pelindung bumi. Kerusakan lingkungan, polusi udara dan tanah merupakan bagian dari destruktifnya modernitas.
Budaya sebagai identitas, berarti menunjukkan warga bangsa yang menghargai kehidupan semesta, menjaga kelestarian lingkungan, dan menghargai keragaman, sebagaimana telah ditunjukkan secara nyata dalam berbagai peninggalan pengetahan dan tata nilai nenek moyang.***
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News