Dongeng adalah salah satu sarana yang dapat digunakan untuk mengajarkan nilai-nilai moral kepada generasi muda. Kisah-kisah dalam dongeng sering kali menyelipkan pesan-pesan penting tentang kebaikan, keadilan, dan kejujuran. Membaca atau mendengarkan dongeng membantu anak-anak memahami pentingnya perilaku yang baik.
Dongeng juga dapat membantu kita memahami perasaan dan pengalaman orang lain. Melalui karakter dan konflik dalam cerita, kita dapat belajar tentang empati dan pemahaman sosial. Ini sangat penting dalam membangun hubungan yang kuat dengan orang lain.
Dengan mengetahui manfaat dongeng itulah seorang pemuda asal Maluku bernama lengkap Eklin Amtor de Frentes menyebarkan pesan perdamaian dan toleransi, terutama kepada anak-anak di Maluku. Perjalanan mendongengnya pun tidak begitu mulus. Bagaimana cerita selengkapnya?
Berawal dari Keprihatinan Akibat Konflik Maluku
Konflik Maluku yang terjadi pada tahun 1999 hingga 2002 merupakan bagian dari sejarah kelam yang menimpa wilayah yang sering disebut sebagai Negeri Seribu Pulau itu. Persengketaan yang berkaitkan dengan masalah agama itu utamanya terjadi di Pulau Ambon dan Halmahera. Lebih dari 2.000 orang menjadi korban jiwa, mulai dari orang dewasa hingga anak-anak.
Ketika konflik tersebut terjadi, Eklin, sapaan akrabnya, merasa tidak begitu risau karena ayahnya seorang tentara dan mereka tinggal di rumah yang aman dari konflik. Akan tetapi, bagaimana dengan teman-teman sebaya dan masyarakat Maluku lainnya? Tidak sedikit dari mereka yang mengalami ketakutan dan trauma.
Meskipun kini konflik telah usai dan kondisi di sana sudah kondusif, bukan berarti upaya segregasi dari berbagai pihak sudah hilang sepenuhnya. Benih-benih kebencian dan trauma yang masih tersisa akibat konflik tersebut barangkali masih ada, sehingga bisa rawan memicu konflik baru.
Begitu menginjak dewasa, panggilan hati dan kesadaran Eklin akan pentingnya perdamaian di wilayahnya ia wujudkan dengan membentuk Youth Interfaith Peace Camp. Forum yang didirikan pada tahun 2017 ini digunakan sebagai sarana untuk mengumpulkan pemuda lintas iman untuk belajar dan berbagi nilai-nilai perdamaian.
Kegiatan ini telah diikuti oleh banyak pemuda di Maluku dengan latar belakang agama yang berbeda, mulai dari Islam, Katolik, Kristen, hingga penghayat kepercayaan yang berasal dari suku Nuaulu. Program ini mereka manfaatkan sebagai sarana untuk mengadakan dialog yang menumbuhkan rasa toleransi terhadap perbedaan.
Tidak mau berhenti berinovasi, pada tahun 2019, Eklin membuat program baru belajar di Rumah Dongeng Damai yang berfungsi sebagai tempat anak-anak belajar tentang perdamaian dan toleransi dengan cara yang menyenangkan, yakni lewat Dongeng Damai.
Dengan cara ini, Eklin berusaha untuk meng-counter cerita-cerita tentang konflik Maluku yang mungkin saja masih diceritakan oleh orang tua kepada anaknya yang rentan menimbulkan bibit-bibit kebencian dan segregasi, apalagi anak-anak belum sepenuhnya dapat memahami apa yang sebenarnya terjadi.
Belajar Dongeng Secara Otodidak

Kegiatan Elin di Rumah Dongeng Damai (Instagram: @kak_elin)
Inspirasi Eklin menggunakan media dongeng didapatnya dari seorang tetangga yang sering menceritakan cerita-cerita perdamaian yang membuatnya terhibur. Memori tentang sosok tersebut dan keyakinannya terhadap kekuatan bercerita membuatnya memutuskan untuk menjadi pendongeng, padahal sebelumnya ia tidak suka berinteraksi dengan anak-anak.
Lelaki kelahiran 1991 ini belajar mendongeng secara otodidak dengan menonton video-video di YouTube. Ia mendongeng dengan menggunakan teknik suara perut atau ventriloquist yang dipelajarinya selama dua minggu. Teknik ini terbukti lebih disukai oleh anak-anak karena menciptakan suasana yang lebih hidup. Sebagai atribut pelengkap dalam mendongeng, Eklin membeli boneka seharga satu juta rupiah yang ia beri nama Dodi yang merupakan akronim dari Dongeng Damai.
Eklin menambah warna di Rumah Dongeng Damai dengan mengadakan kelas bahasa Inggris, bahasa Jerman, dan kelas kesenian. Tujuannya agar anak-anak bisa memahami dongeng dengan berbagai bahasa sambil melestarikan seni.
Menempuh Jalan yang Tidak Mulus
Awal mula menjalankan Dongeng Damai, Eklin sempat mengalami penolakan dari warga Desa Sepa yang terletak di pedalaman Puau Seram. Penduduk suku Nuaulu yang mendiami tempat tersebut menuduhnya akan melakukan kristenisasi. Hal tersebut terjadi lantaran pada waktu itu Eklin sedang menempuh pendidikan sebagai calon pendeta.
Tak mau menyerah, keesokan harinya Eklin berpindah ke wilayah suku lain untuk menyebarkan perdamaian dan toleransi lewat Dongeng Damai kepada anak-anak. Ia melakukannya tanpa memandang perbedaan suku dan agama.
Bersama anggota tim relawan dari komunitas Jalan Merawat Perdamaian, Eklin mendongeng dari satu ke desa lainnya untuk menyebarkan pesan perdamaian dan toleransi. Kini, kegiatan mendongengnya telah diikuti oleh ribuan anak yang tinggal di ratusan desa di dalam dan luar Maluku. Eklin pun tak jarang diundang ke provinsi lain untuk mendongeng.
Pada tahun 2020, kerja keras Eklin mendapatkan apresiasi dari Astra melalui programnya yang bertajuk SATU Indonesia Awards sebagai sosok inspiratif di bidang pendidikan. Program ini rutin diadakan Astra sejak tahun 2009 dengan tujuan utama memberikan penghargaan kepada pemuda yang memiliki kontribusi positif untuk memajukan masyarakat di sekitarnya.
Eklin berharap dongeng sebagai warisan bercerita dari nenek moyang dapat terus hidup dan dilestarikan oleh anak-anak, serta dapat menjadi sarana pendidikan yang menyebarkan dan merawat pesan perdamaian di berbagai tempat, terutama di Maluku. #kabarbaiksatuindonesia
Sumber: satu-indonesia.com, Instagram: @kak_elin
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News