LombaArtikelPKN2023 #PekanKebudayaanNasional2023 #IndonesiaMelumbunguntukMelambung
Berbicara tentang peran kebudayaan dalam merawat bumi, tentu tak lepas dari peran serta masyarakat yang ada di dalamnya. Budaya yang ada dan melekat di suatu lingkungan masyarakat dapat berpengaruh terhadap kelestarian lingkungan ataupun bisa saja merusak lingkungan tersebut. Seperti halnya budaya yang ada di tempat saya tinggal, yakni di desa Patemon, kecamatan Pakusari, kabupaten Jember.
Dahulu, masyarakat di daerah ini percaya bahwa bukit atau yang biasa disebut sebagai gumuk merupakan paku bumi. Sebagaimana fungsi sebuah paku yang menancap di bumi, gumuk yang ada di daerah kami, biasanya ditanami dengan berbagai pohon sesuai dengan kehendak pemiliknya. Menurut bukuonlinestore gumuk dipercaya mampu menyerap air dan sebagai pemecah arah angin.
Di desa kami yang terletak di daerah dataran rendah memiliki dataran yang sebagian besar merupakan area pertanian. Terkadang, ada saja angin puting beliung yang melintas di desa kami. Akan tetapi, kami cukup beruntung karena masih ada beberapa gumuk yang tersisa meskipun jumlahnya tak sebanyak dulu. Hal ini bermula dengan semakin banyaknya para penambang pasir dan batu yang mulai masuk ke daerah kami.
Selain para penambang tersebut, ada juga pemilik perumahan yang mengincar para pemilik sawah dan gumuk untuk mereka jadikan sebagai lahan perumahan. Mereka biasanya membeli gumuk ataupun sawah milik warga di daerah kami dengan harga yang cukup fantastis meskipun kebanyakan warga pada akhirnya dibayar dengan sistem kredit.
Pernah di suatu waktu, gumuk tempat saya bermain dulu, dijual oleh pemiliknya kepada penambang pasir untuk kemudian diambil pasir dan batu yang ada di dalamnya. Singkat cerita, ada sejumlah alat berat seperti ekskavator yang sudah siap mengeruk pasir dan batu di gumuk tersebut. Sepengetahuan saya, di atas gumuk ada sebuah makam yang selalu saya hindari ketika dulu masih sering bermain disana.
Saya pun sering melewati gumuk tersebut karena memang tempatnya ada di pinggir jalan, tempat kendaraan berlalu lalang. Akan tetapi, saya penasaran mengapa proyek gumuk ini tidak diselesaikan oleh para penambang pasir tersebut. Terlihat masih ada sedikit sisa pasir dan batu yang tersisa di atas bukit ini. Untuk menjawab rasa penasaran saya, saya pun mencoba bertanya kepada suami saya yang kebetulan cukup dekat dengan pemilik gumuk tersebut.
Suami saya bercerita bahwa penambang di gumuk itu sering bermimpi aneh tentang sesosok asing yang meminta pertanggungjawaban karena telah merusak rumahnya. Pada awalnya, penambang ini hanya mengira bahwa hal itu hanya mimpi biasa. Akan tetapi, kejanggalan berlanjut ketika ekskavator yang ia sewa seringkali mati mesin ketika sedang mengeruk pasir di gumuk tersebut.
Hal ini berlangsung selama berhari-hari hingga berminggu-minggu. Karena merasa rugi telah mengeluarkan biaya yang cukup besar untuk menambang pasir dan batu, penambang itu akhirnya memilih untuk menghentikan proses penambangannya.
Ini merupakan salah satu dari berbagai cerita yang ada di kawasan tempat kami tinggal, gumuk di daerah kami memang dianggap hal yang istimewa, terbukti dengan adanya batu nisan tanpa tulisan yang biasanya ada di bagian atas gumuk. Tak jelas siapa yang dimakamkan disana, bahkan pemiliknya pun kadang juga tak mengetahui siapa pemilik makam tersebut.
Konon, para leluhur di desa kami percaya bahwa makam itu sengaja diletakkan di atas gumuk agar tidak ada yang merusak gumuk tersebut. Akan tetapi, kepercayaan itu lambat laun mulai terkikis seiring dengan makin maraknya para penambang pasir yang mengincar beberapa gumuk di daerah kami. Berdasarkan data yang diambil dari radarjember ada 1670 dari sekitar 1955 gumuk yang telah diekspolitasi oleh para penambang batu dan pasir.
Berdasarkan data dari studi yang dilakukan oleh Universitas Jember dan Universitas Negeri Malang, di kabupaten Jember hanya tersisa sekitar 600 gumuk saja padahal, kota ini dahulu mendapat julukan sebagai kota seribu gumuk. Kini, rasanya Jember perlu upaya yang lebih serius dalam menangani masalah ekspoitasi gumuk yang tersebar di berbagai daerah di kabupaten Jember.
Upaya yang bisa saya lakukan salah satunya berbicara perihal makam yang ada di atas gumuk tersebut kepada masyarakat sekitar. Masyarakat di daerah kami percaya bahwa menjual tanah yang masih terdapat makam di atasnya bukanlah hal yang bijak untuk dilakukan. Selain itu, saya mencoba untuk meyakinkan bahwa gumuk merupakan salah satu aset jangka panjang yang bisa diturunkan kepada anak cucu kita nanti.
Akan tetapi, kebijakan untuk merawat ataupun menjualnya tetap berada di tangan pemilik gumuk. Salah satu dosen saya di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember bahkan pernah mengatakan bahwa salah satu upaya untuk merawat gumuk adalah dengan memilikinya. Ia menegaskan bahwa sulit untuk merawat gumuk yang ada di Jember jika para pemiliknya masih cenderung mementingkan keuntungan finansial yang sifatnya sementara.
Akan tetapi, kami percaya bahwa menjual aset yang diwariskan oleh para leluhur masih dianggap hal yang tabu untuk dilakukan di desa kami. Ini bisa menjadi salah satu upaya untuk melestarikan alam yang salah satunya berupa gumuk dan sawah. Kami meyakini bahwa para anak cucu yang bisa menjaga warisan turun temurun dari leluhur mereka akan dilimpahi dengan keberkahan selama hidupnya.
Inilah budaya yang masih melekat di daerah kami, memang tak banyak gumuk yang tersisa di desa tempat kami tinggal, akan tetapi, setidaknya budaya ini masih ada dan semoga mampu merawat kelestarian gumuk yang ada di desa kami, kota kami tercinta, kabupaten Jember dan di bumi pertiwi.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News