Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur (NTT) memiliki tradisi yang unik dalam melaksanakan pernikahan. Banyak tahap-tahap yang harus dilalui oleh calon mempelai dari awal persiapan hingga hari setelah pernikahan.
Bahkan, untuk prosesi meminang pun masyarakat perlu menyiapkan banyak hal
Menariknya, selain dari tahapan yang cukup panjang, pernikahan di Kabupaten Manggarai juga dikenal dengan maharnya yang cukup mahal.
Lantas, seberapa mahalnya mahar di Kabupaten Manggarai? Bagaimana proses peminangan di Kabupaten Manggarai Nusa Tenggara Timur?
Mengenal Prosesi Memingang di Kabupaten Manggarai Nusa Tenggara Timur
Dalam bahasa Manggarai, khususnya Manggarai Barat, pernikahan biasa disebut dengan istilah toko, neki, atau jempeng.
Toko secara harfiah berarti berbaring, tiduri, kawin, beristeri, bersuami; kemudian neki artinya berkumpul, kawin, bersatu, bersama; sedangkan jempeng diartikan sebagai teliti, sesuai, cocok, nikah, dan persatukan.
Sementara itu, masyarakat Manggarai Timur menyebut pernikahan dengan istilah tongkol.
Pernikahan di Kabupaten Manggarai menjadi jalan yang cukup rumit. Banyak hal yang harus didiskusikan dan banyak adanya negosiasi antara calon mempelai pria dan calon mempelai wanita, terutama perihal mahar.
Dilansir dari Perkawinan dalam Masyarakat Manggarai, dalam melaksanakan upacara pernikahan, masyarakat Manggarai biasanya melewati lima tahapan. Lima tahapan itu ialah pemilihan pasangan (kawé wina/rona), tahapan peminangan (tuké mbaru dan pongo), tahapan persiapan acara nikah (kumpul kopé dan sida), tahapan acara nikah (wagal-nempung/umber), dan tahapan penghantaran mempelai wanita (podo atau karong wina).
AKan tetapi, artikel ini hanya akan membahas mulai dari tahap perkenalan hingga tahapan peminangan dalam adat masyarakat Manggarai.
Pemilihan Pasangan (kawé wina/toko racap/haékilo)
Secara umum, pemilihan pasangan di Kabupaten Manggarai sama dengan kebiasaan-kebiasaan di daerah lain. Biasanya keluarga menelusuri secara rinci mengenai bibit, bebet, dan bobot. Hal ini dilakukan agar pihak pria mendapatkan pasangan yang setara, begitupun sebaliknya.
Akan tetapi, hal yang unik di Manggarai ialah, masyarakat biasanya menggunakan seorang watang (salang) yang berperan sebagai jembatan, pengantara, jerawat, atau penghubung dua orang yang hendak dijodohkan atau dipertemukan.
Meski demikian, peran watang di sini hanya sebagai perantara. Sementara itu, keputusan untuk melanjutkan ke jenjang selanjutnya berada di pihak pria dan wanita.
Kemudian, jika pihak pria dan wanita sepakat untuk melangsungkan pernikahan, orang tua pria lantas mendatangi rumah pihak wanita untuk menanyakan secara langsung, apakah sang wanita benar-benar mau dinikahkan dengan anaknya.
Jika pihak wanita bersedia, kedua keluarga calon pasangan suami isteri biasanya membuat kesepakatan mengenai rencana waktu pelamaran resmi atau yang disebut tuké mbaru dan pongo.
Pada proses ini, masing-masing keluarga calon pasangan biasanya melakukan pencarian dan pemilihan tongka (juru bicara adat).
Peran tongka dalam urusan perkawinan adat di Manggarai sangatlah krusial dan strategis. Tongka biasanya menjalankan fungsi sebagai komunikator, initiator, negotiator, mediator, dan juga sebagai problem solver dalam merancang kelancaran pernikahan tersebut.
Tongka pihak keluarga laki-laki harus mampu menurunkan atau mengurangi permintaan angka uang dari anak rona (keluarga perempuan). Sementara itu, tongka pihak wanita harus pandai mengelabuhi tongka pihak laki-laki agar mendapat belis dan uang yang lebih banyak.
Sebagai informasi, belis merupakan pemberian sejumlah uang atau hewan dari pihak keluarga laki-laki kepada orang tua calon mempelai wanita.
Peminangan (Weda rewa tuké mbaru dan Pongo)
Peminangan dalam adat Manggarai disebut weda rewa, tuké mbaru. Artinya ialah melewati pintu lalu masuk rumah orang tua calon mempelai wanita. Sementara itu, di beberapa tempat, tahapan peminangan dan peresmian pertunanganan disebut dengan acara ba cepa (membawa sirih pinang).
Pada suku Rongga di Kota Komba, prosesi peminangan dikenal dengan acara wedi rewa tuké mbaru atau keda redang ndair tangi.
Pada tahap ini, keluarga pihak laki-laki datang dengan membawa kambing (mbé), ayam, dan uang secukupnya sebagai persiapan untuk séng kembung (uang tanda cinta), seng raja do (uang untuk berbagai wujud), dan seng paca (uang belis).
Sesampai di rumah keluarga wanita, tongka akan mewakili keluarga dan menyatakan niatnya untuk melamar si wanita dari keluarga tersebut. Setelah itu, dilanjutkan dengan acara pongo (mengikat).
Di sinilah terjadi negosiasi tentang belis.
Di Manggarai Tengah, standar umum belis berupa hewan adalah dua ekor kerbau dan lima ekor kuda (sua wasé wunut lima wasé wua). Hewan tersebut tidak termasuk satu ekor kerbau untuk lauk-pauk (ca kaba uté).
Meski demikian, belis dapat berkurang sesuai kemampuan keluarga pria dan kelihaian tongka melakukan negosiasi.
Jika perundingan tentang belis disepakati, keduanya kemudian membahas perihal kapan pernikahan dilaksanakan.
Sebelum mengakhiri upacara pongo, kedua belah pihak biasanya membuat perjanjian perihal apa yang harus dibuat bila salah satu dari kedua calon tersebut pada suatu saat membatalkan rencana pernikahan.
Biasanya perjanjian tersebut berbunyi: bila anak gadis tidak mau menikahi pasangannya maka belis yang sudah dikeluarkan oleh pihak laki-laki dikembalikan dan ditambah seekor babi untuk memulangkan si pemuda kepada pihak keluarganya. Babi itu dalam bahasa adatnya disebut “ela podo wa'u”.
Akan tetapi, jika laki-laki yang membatalkan, maka belis yang sudah dikeluarkannya dan sudah diterima pihak anak gadis tidak akan dikembalikan lagi. Belis tersebut juga ditambah dengan seekor kuda atau kerbau sebagai penutup rasa malu pihak keluarga wanita. Dalam bahasa adatnya disebut jarang ko kaba cému ritak.
Kesepakatan antara juru runding atau tongka itu diresmikan dengan seekor babi sebagai simbol ikatan kesepakatan adat pongo (ela mbukut).
Ela mbukut itu diberikan oleh keluarga pihak pria (anak rona) kepada keluarga wanita (anak wina).
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News