Penjualan kendaraan listrik (EV) di China kini melampaui penjualan kendaraan konvensional, menandakan perubahan besar dalam industri otomotif. Namun, pasar EV di China menghadapi tantangan terkait persaingan harga dan kelebihan kapasitas.
Untuk mengatasi tantangan ini, merek-merek China kini menargetkan pasar internasional, terutama Asia Tenggara, yang menunjukkan potensi besar. Menurut The Diplomat, kawasan ini membutuhkan investasi infrastruktur yang signifikan, hingga $2,8 triliun, pada 2030.
Penjualan EV di Asia Tenggara juga tumbuh pesat, dipimpin oleh merek-merek seperti BYD dari China dan VinFast dari Vietnam. Merek-merek ini mulai menggantikan dominasi kendaraan bermesin pembakaran internal dari perusahaan Jepang dan Korea.
Menurut Counterpoint Research, lebih dari 70% penjualan EV di kawasan ini berasal dari merek China, dengan BYD memimpin pasar. Bahkan, pada kuartal pertama tahun lalu, 75% dari semua EV yang dijual di Asia Tenggara diproduksi oleh perusahaan China, menunjukkan pergeseran besar dalam pasar otomotif regional.
Permintaan EV di Asia Tenggara sebagian besar akan dipenuhi oleh perusahaan-perusahaan China, dengan pangsa pasar mereka naik dari 38% pada 2022 menjadi hampir 75% pada 2023.
Ekspansi EV China di Asia Tenggara
Para produsen kendaraan listrik China sedang memperluas kehadiran mereka di Asia Tenggara dengan meningkatkan produksi di Indonesia, Malaysia, dan Vietnam.
BYD membuka showroom pertamanya di Vietnam pada Juli 2023 dan berencana membangun pabrik produksi di sana, meskipun rencana ini tertunda akibat perlambatan pasar global.
Indonesia juga berencana memproduksi 600.000 EV pada 2030 melalui kemitraan dengan perusahaan China seperti Neta, Wuling, Chery, dan Sokon. Sementara itu, Malaysia akan bekerja sama dengan Geely untuk mendirikan pusat produksi EV di Tanjong Malim dengan kapasitas 500.000 kendaraan pada 2035.
Kebijakan Regional Mendukung Industri EV
Keberhasilan kendaraan listrik China juga didorong oleh subsidi domestik dan kebijakan "New Energy Vehicle Industry Development Plan (2021-2035)" China, yang mempengaruhi negara-negara Asia Tenggara untuk menetapkan target ambisius dalam produksi EV.
Misalnya, Thailand menargetkan kendaraan bebas emisi akan menyumbang 30% dari total produksi otomotifnya pada 2030 dan berusaha menjadi pusat global EV.
Indonesia secara aktif menarik investasi untuk produksi baterai EV dan berencana menjadi produsen baterai EV utama pada 2027. Selain itu, Malaysia akan memperpanjang pembebasan pajak dan bea untuk kendaraan listrik hingga 2025 dan 2027.
Sementara itu, Vietnam mendorong adopsi EV dengan subsidi untuk stasiun pengisian dan pembeli EV. Saat ini, Vietnam memiliki lebih dari 150.000 stasiun pengisian, sebagian besar dikelola oleh VinFast.
Vietnam juga mengusulkan potongan harga sebesar $1.000 untuk pembeli kendaraan energi baru (NEV), kendaraan listrik plug-in, dan mobil tenaga surya pada Agustus 2023.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News