Indonesia dengan ribuan kepulauannya membuat negeri ini kaya akan kebudayaan dan keragaman. Antara satu pulau dengan pulau lainnya memiliki ciri khas tersendiri, baik dalam kekayaan alam, adat istiadat, bahasa, cara bersosialisasi, hingga pemenuhan kebutuhan sehari-hari termasuk dalam cara pengolahan hasil bumi.
Ada banyak warisan kuliner dari seluruh penjuru Nusantara yang masih diwariskan hingga kini dan menjadi daya tarik wisatawan yang berkunjung ke suatu daerah tersebut. Contoh kecilnya adalah gudeg yang berasal dari Jogja, pempek dari Palembang, rendang dari Sumatra Barat, dan soto Betawi dari Jakarta. Ragam kuliner tersebut memiliki ciri khas dan keunikannya masing-masing, sama halnya dengan kaledo yang berasal dari Sulawesi Tengah.
Mungkin Kawan belum familiar dengan salah satu sajian khas suku Kaili dari Sulawesi Tengah ini. Namun, kaledo merupakan makanan wajib yang harus Kawan coba ketika berkunjung ke daerah Palu, Sigi, maupun Donggala. Nah, seperti apa sih kaledo itu?
Sejarah dan Nilai Filosifis Kaledo
Kaledo merupakan akronim dari “Kaki Lembu Donggala”, yaitu sajian khas yang berasal dari suku Kaili di Sulawesi Tengah. Sesuai dengan namanya, kaledo berbahan dasar kaki sapi atau kerbau yang dimasak cukup lama hingga empuk dan beraroma khas.
Meskipun terkenal dengan singkatan di atas, ternyata nama kaledo bukan berasal dari singkatan tiga kata tersebut. Menurut tokok budaya suku Kaili, dahulu ada seorang lelaki yang terlambat saat pembagian hasil pemotongan sapi.
Lelaki tersebut kemudian hanya mendapat potongan kaki sapi yang kemudian diberikan kepada istrinya untuk dimasak.
Dengan perasaan kecewa, lelaki tersebut menunggu masakan yang cukup lama. Setelah matang, sang istri menghidangkannya dan melihat si lelaki mencicipi masakan buatannya. Sang istri bertanya, “Naka’a?” artinya adalah keras, si lelaki lalu menjawab, “Ledo” yang artinya tidak. Dari situlah tercipta nama Kaledo yang berarti tidak keras.
Kaledo dimasak menggunakan tungku khas Kaili yang disebut talusi. Konon tungku ini dapat menambah kenikmatan rasa pada Kaledo. Talusi merupakan tungku berukuran besar dengan tiga penyangga. Jika salah satunya hilang, maka penyangga lain tidak akan mampu menopang tungku dan berakhir tumpah.
Oleh karena itu, masyarakat suku Kaili biasa memasak Kaledo secara gotong-royong sehingga rasa kekeluargaannya lebih terjaga.
Di samping itu, masyarakat suku Kaili juga percaya bahwa siapapun yang mengonsumsi kaledo dapat terhindar dari jin. Hal ini dikarenakan penggunaan jeruk nipis, asam jawa, dan garam yang dipercaya dapat menangkal entitas jahat.
Cita Rasa Kaledo
Berbeda dengan olahan daging sapi lainnya, kaledo menggunakan kaki sapi bagian tulang lutut memiliki sum-sum tulang berlimpah sehingga makanan ini kaya rasa. Di samping itu, kaledo juga berbeda dengan sop buntut karena disajikan bukan dengan nasi, melainkan dengan singkong atau pisang. Yup, Kaledo biasa disantap masyarakat Kaili bersama singkong (kasubi) atau pisang rebus yang masih mengkal.
Tekstur kaki sapi yang lembut dengan rasa gurih dari kaldu sapi dan sum-sum, rasa asam dari asam jawa, serta rasa pedas dari irisan cabai rawit memberikan sensasi rasa yang unik seolah tidak ingin berhenti.
Kaledo biasanya disajikan dalam porsi besar karena proses pemasakannya yang cukup lama sehingga hidangan ini biasanya dibuat secara gotong royong.
Kaledo merupakan bagian dari budaya suku Kaili yang kaya akan cita rasa, kekeluargaan, dan nilai filosofis. Sajian ini dilestarikan hingga menjadi salah satu makanan khas Sulawesi Tengah yang harus dicoba jika Kawan berkunjung ke sana.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News