Sebagai sebuah bangsa, Indonesia mempunyai beragam sektor potensial. Dari beragam sektor potensial itu, sektor pariwisata menjadi satu sektor yang sangat unik.
Maklum, sektor ini kaya akan potensi. Mulai dari bentang alam, kuliner, budaya, sampai sejarah, semuanya tersedia begitu melimpah, karena ada di setiap daerah, yang terbentang dari Aceh sampai Papua.
Meski begitu, bentang wilayah Indonesia yang sangat luas, plus dinamika situasi dari waktu ke waktu, juga menghadirkan satu tantangan tersendiri. Di balik potensi besarnya, ada beragam ketidakpastian dan masalah yang mengintai. Ketidakpastian selalu jadi faktor pertama yang perlu ditangani, jika ingin menggarap potensi pariwisata yang ada di suatu negara.
Secara khusus, sektor pariwisata di Indonesia baru mulai digarap serius dalam satu wadah kementerian pada tahun 1962, atau jauh setelah masa perang (mempertahankan) kemerdekaan usai. Itupun dalam posisi masih berbagi ruang, dengan sektor perhubungan darat dan pos telekomunikasi sampai awal tahun 1966.
Barulah pada bulan Februari—Maret 1966, sektor pariwisata untuk pertama kalinya bisa menjadi satu kementerian tersendiri. Momen singkat ini hadir, ketika pemerintah membentuk Kementerian Pariwisata, yang kala itu dijabat oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX.
Masalahnya, sektor ini sempat "absen" di kabinet pemerintahan sampai tahun 1983. Ketika kembali aktif, posisi sektor pariwisata masih berbagi ruang, kali ini dengan sektor pos dan telekomunikasi sampai awal tahun 1998.
Pada masa absen itu, rumitnya situasi politik dan ekonomi negara membuat sektor pariwisata kurang diprioritaskan. Maklum, untuk dapat membangun pariwisata secara optimal, diperlukan situasi politik dan ekonomi nasional yang stabil.
Terbukti, ketika kondisi politik dan ekonomi negara relatif stabil antara tahun 1983—1997, sektor pariwisata di Indonesia bisa berkembang cukup pesat. Apes, sektor pariwisata sempat terpuruk, akibat krisis ekonomi dan gejolak politik di tahun 1998, yang disambung dengan sejumlah insiden aksi terorisme di Indonesia, pada awal tahun 2000-an.
Beruntung, di balik aneka kesulitan dan kerumitan situasi yang ada, sektor pariwisata juga mempunyai tingkat resiliensi cukup baik. Selalu ada waktu untuk bisa bangkit dari keterpurukan, termasuk saat pandemi global menyerang di tahun 2020.
Dengan aneka potensi menarik dan tingkat resiliensi cukup baik, tidak mengherankan kalau sektor pariwisata akhirnya (kembali) berdiri sebagai satu kementerian khusus. Dimana, pos ini dijabat oleh Widi Wardhana, pada era pemerintahan Presiden Prabowo Subianto tahun 2024.
Sebelumnya, sejak tahun 1966, sektor pariwisata hanya sempat satu kali berdiri sebagai satu kementerian sendiri, pada periode pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo (2014—2019). Kala itu, posisi Menteri Pariwisata dijabat oleh Arief Yahya.
Selebihnya, antara tahun 1998—2024, sektor pariwisata selalu berbagi ruang dengan bidang-bidang lain, seperti ekonomi kreatif, seni, dan budaya. Sepintas, konsep "berbagi ruang" ini terlihat efisien, tapi rawan menciptakan situasi tumpang tindih, khususnya dalam konteks situasi kekinian.
Seperti diketahui, dengan potensi dan keberagaman di wilayah sedemikian besar, sektor pariwisata di Indonesia membutuhkan penanganan khusus yang fokus, supaya bisa digarap optimal.
Di era globalisasi seperti sekarang, fokus itu menjadi satu urgensi. Selain karena berkaitan erat dengan aspek lingkungan dan pemberdayaan masyarakat, pariwisata juga bisa menjadi satu alat soft diplomacy ampuh di kancah dunia.
Semua aspek dan potensi yang ada bisa menjadi satu aset berharga buat Indonesia. Dengan catatan, semua bisa dioptimalkan, dan punya keberlanjutan, sehingga bisa menjadi satu warisan berkelanjutan, untuk dinikmati generasi-generasi berikutnya.
Referensi buku:
Harijono, Try (2023). Beyond Borders: Menjaga Sapta Pesona, Menembus Pergaulan Antarbangsa. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News