merantaulah dan ciptakan kultur demokrasi ber bhinneka tunggal ika yang baik - News | Good News From Indonesia 2024

Merantaulah dan Ciptakan Kultur Demokrasi Ber-Bhinekka Tunggal Ika yang Baik

Merantaulah dan Ciptakan Kultur Demokrasi Ber-Bhinekka Tunggal Ika yang Baik
images info

Merantaulah dan Ciptakan Kultur Demokrasi Ber-Bhinekka Tunggal Ika yang Baik


Manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendirian dan pasti membutuhkan satu sama lain. Disebut juga sebagai zoon politicon seperti yang pernah disampaikan Aristoteles.

Dalam kehidupan berbangsa dan negara di seantero wilayah Republik Indonesia, kita tidak dapat menggaransi seluruh aspek kehidupan akan sesuai cetakan keinginan kita. Misalnya, kita tidak bisa menjamin bahwa dalam seluruh proses kehidupan kita akan senantiasa berinteraksi dengan kalangan yang homogen, seperti satu suku, satu budaya, agama, ras dan bahasa.

Justru kita siap hidup berbaur dengan konsep melting pot, yaitu hidup bercampur dengan variasi individu dengan aneka latar belakang sosial, kebudayaan, etnis, maupun bahasa.

Secara praksis di dunia nyata, kerap kali kita harus berkelompok dan berinteraksi secara heterogen, yakni dengan mereka yang berbeda etnis, agama, pola kehidupan hingga kebudayaan.

Contoh sederhana, ketika kita menimba ilmu sejak bangku sekolah dasar (SD) dahulu, tentu kita harus siap bertemu dengan teman sekelas asal Ambon, Sumatra, Jawa, Bali hingga Papua.

Begitu juga memasuki bangku SMP, SMA hingga universitas sampai dunia kerja, tentu kita harus meghadapi kumpulan invididu yang lebih kompleks heterogenitasnya.

baca juga

Perbedaan kebiasaan, adat-istiadat, status sosial ekonomi, pendidikan hingga kepercayaan tentu mewarnai kehidupan kita. Hal ini bahkan sudah "dibaca" secara jernih sejak puluhan tahun lalu oleh Presiden Soekarno dengan konsep Bhinekka Tunggal Ika.

Berbeda-beda, tetapi tetap satu jua seperti tertulis jelas pada tulisan yang disematkan di kaki burung Garuda Pancasila.

Ahli lmu sosial dunia juga ikut merumuskan fenomena sosial tersebut yang berlangsung di seluruh bagian dunia dengan suatu konsep pola interaksi sosial.

George Herbert Mead, seorang filsuf sekaligus sosiolog asal Chicago, Amerika Serikat berujar bahwa interaksi sosial adalah sekumpulan aktivitas antarindividu yang dapat menjadi faktor pembentuk kepribadian seseorang.

Supaya tidak hanya berlandaskan pada konsep teoretis saja, mari, kita lihat langsung pada tataran empiris.

Tengok saja, begitu banyaknya komunitas, perkumpulan, organisasi, hingga paguyuban yang terbentuk di lingkungan sekitar kita.

Komunitas warga Jateng yang berdomisili di Sumatra, paguyuban warga Sulawesi di Jakarta, hingga persatuan buruh nelayan asal Jawa Barat yang merantau di Kalimantan.

Hal tersebut menggambarkan sesuatu, yaitu manusia tidak dapat hidup sendirian dan pasti berkelompok dengan mereka yang dianggap punya latar belakang kepentingan yang sama.

baca juga

Konsep ini pun dijelaskan dengan sangat baik oleh Charles Stangor (2016). Stangor mendefinisikan bahwa interaksi sosial terbentuk lebih kepada mereka yang merumuskan dan memiliki kepentingan serta tujuan yang sama.

Di perantauan misalnya, entah di Pulau Sumatra, Jawa, Kalimantan, hingga Sulawesi. Kita sering kali melihat seorang PNS dan abdi negara yang harus mengabdi jauh dari akar tanah kelahirannya.

Oleh karena profesionalitas, tugas negara yang wajib diemban sesuai sumpah, maka mereka harus pergi jauh dari tanah kelahirannya.

Nah, di lokasi perantauan, para perantau tersebut juga cenderung berkelompok dan mencari rekan kerja yang memiliki akar budaya dan latar belakang yang serupa.

Bisa juga seseorang berkelompok dan membentuk paguyuban dengan mereka yang punya irisan profesi dan latar belakang kampung kelahiran yang sama.

Sebagai ilustrasi, bisa saja kita lihat ada paguyuban pemangkas rambut asli Madura di Makassar, Sulawesi Selatan, tempat mereka mencari nafkah.

Ada juga ikatan PNS perantau asal surabaya yang mengabdi di Sulawesi Selatan, dan lain sebagainya. Tentu hal ini wajar dan tidak bertentangan dengan konsep demokrasi ber-bhinekka tunggal ika.

Dalam kehidupan ada dramaturgi yang senantiasa terjadi sesuai konsep Erving Goffman, sosiolog kelahiran negeri Kanada yang mengedepankan interaksionisme simbolik.

Interaksi sosial adalah suatu pertunjukan seni dalam kehidupan hari lepas hari. Ada front stage atau wilayah depan panggung yang ditunjukkan dan diekspresikan secara gamblang oleh individu dan kelompok kepada orang lain di sekelilingnya.

Namun, ada pula back stage, yaitu area belakang panggung, suatu wilayah yang tidak ditunjukkan secara terang-benderang kepada publik.

Hal ini berjalan secara timbal balik dengan natural, dimana seseorang individu bahkan kelompok sosial, tahu persis kapan mereka beraksi dengan area depan dan kapan mereka beraksi pada area belakang panggung.

Interaksi ini mengakibatkan dan membutuhkan aktivitas pertukaran interaksi antar-individu. Munculnya pertukaran interaksi tersebut didasarkan pada kepentingan yang sama dengan membentuk suatu pola hubungan yang unik dan kompleks.

baca juga

Tanpa membuat stratifikasi dan dikotomi benar atau salah, bahkan baik atau buruk, tetapi kenyatannya pragmatisme melanda sendi dan urat nadi kehidupan manusia.

Sebagian besar individu berkelompok lazimnya memiliki motif dan semangat yang sama. Entah persamaan kepentingan dan latar belakang geografis hingga kesamaan tujuan yang cenderung pragmatis. Karena pada dasarnya manusia adalah zoon politicon, yaitu mereka yang mempunyai tujuan dan kepentingan yang hendak dituju. Zoon politicon yang harusnya juga dilandasi etika moral dan akhlak yang baik.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

DR
KG
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.