Hahiwang, sebuah ratapan kesedihan yang dilantunkan oleh perempuan Pesisir Barat. Dahulu, hahiwang dijadikan sebagai media untuk mengungkapkan penderitaan atas budaya patriarki yang menjerat perempuan.
Biasanya, hahiwang dilantunkan ketika sedang menimang anak-cucu, saat mencari keong di sawah, menanam sayur di ladang, dan banyak kegiatan menyendiri lainnya.
Jika diuraikan, hahiwang berasal dari kata “Hiwang” yang berarti menangis atau meratap. Kala itu, kisahnya dapat dimulai ketika seorang perempuan akan dipinang oleh laki-laki, perempuan tersebut akan berhahiwang dengan saudara atau teman perempuannya.
Ia akan meluapkan kesedihan dan kekhawatirannya kepada orang yang ia datangi. Dari situ, kakak atau teman perempuan itu pun akan berhahiwang sebagai respons atas “curhatannya”. Maka dari itu, muncullah kata sehahiwangan, yang berarti satu nasib.
Seiring berjalannya waktu, modernitas semakin berkembang, dan eksistensi Hahiwang mulai memudar. Banyak maestro yang sudah lanjut usia, sehingga sulit untuk mewariskan tradisi ini kepada generasi muda. Kurangnya dukungan dari pemerintah menjadi masalah utama dalam pelestarian hahiwang.
Maestro yang berjuang melestarikan hahiwang, justru ditelantarkan. Tak ada bentuk apresiasi yang tampak memuaskan. Bermodal pada niat mulia yang ingin memberikan ilmu kepada sesama. Berapa pun jumlahnya, terkadang tak menjadi masalah bagi mereka.
Kami yang Melestarikan, Kami Pula yang Diabaikan
“Tian sai bangik ni sekam sai ngeguaiko ni. Tian manuk sekam menang,” tutur Lakma Dewi.
Mereka yang merasakan enaknya, kami yang mengerjakannya.
Banyak maestro hahiwang, individu yang mengabdikan hidup untuk melestarikan dan meneruskan tradisi lisan ini kian menua.
Tim pengabdian FIB UI mendatangi tiga maestro Hahiwang yang tinggal di Pesisir Barat. Di balik senyuman hangat, ada kenyataan pahit yang tak diketahui oleh banyak orang. Meski mereka telah mengabdikan diri untuk melestarikan tradisi hahiwang, hidup mereka jauh dari kata sejahtera.
Para maestro ini terus berjuang dengan kondisi yang serba terbatas. Tidak ada dukungan nyata dari pemerintah untuk menghargai jerih payah mereka. Padahal, tanpa mereka, tradisi lisan ini mungkin akan hilang ditelan zaman.
Lakma Dewi, seorang maestro perempuan yang sejak kecil telah melantunkan syair-syair hahiwang. Ia belajar dari sang nenek dan ibunya yang saat itu rutin berhahiwang.
Setiap malam, ibu dan neneknya kerap melantunkan hahiwang saat menjalani aktivitas rumah tangga. Kemahirannya dalam membuat lirik hahiwang menjadikannya sebagai salah satu maestro yang dihormati.
Lakma Dewi tinggal di sebuah rumah sederhana bersama suami dan anaknya. Rutinitasnya kini lebih banyak dihabiskan untuk merawat suaminya yang tengah terbaring lemah akibat strok. Tak jarang, sambil melakukan aktivitas sehari-hari seperti memasak, memandikan, atau memijat sang suami, Lakma Dewi melantunkan Hahiwang sebagai bentuk doa dan hiburan di kala sepi.
Mursi (Mamak Lawok) merupakan maestro senior yang telah berkecimpung dalam dunia hahiwang sejak kecil. Kemampuannya dalam menulis ia salurkan untuk menciptakan syair-syair hahiwang yang penuh makna.
Di balik kaca lemari tua yang usang, tersimpan banyak naskah hahiwang karya sang maestro. Setiap helai kertas itu, meskipun sudah mulai menguning dimakan usia, tetapi masih dapat terbaca. Tak jarang, banyak peneliti dan mahasiswa yang mendatanginya untuk meneliti naskah miliknya.
Mamak Lawok tinggal bersama istri dan anak-anaknya di sebuah rumah tua yang terpencil, terletak di tengah perkebunan. Akses untuk mencapai rumahnya pun cukup sulit. Kondisi Mamak Lawok pun kini memprihatinkan. Ia mengalami kecelakaan parah dan strok yang menyebabkan pita suaranya mengalami kerusakan.
Ia juga mengungkapkan, meskipun dahulu pernah mendapatkan penghargaan atas jasa-jasa Mamak Lawok dalam melestarikan kebudayaan, tetapi kenyataannya penghargaan tersebut tidak sampai sepenuhnya. Banyak yang mengambil bagian yang seharusnya diterima oleh para maestro.
Hal ini pun juga dialami oleh Satya, maestro hahiwang yang tinggal di perbatasan Pesisir Barat. Satya, yang dikenal sebagai pelestari budaya hahiwang di daerahnya, mengungkapkan rasa kecewanya terhadap sikap pemerintah yang seolah acuh terhadap pelestari budaya seperti Lakma Dewi, Mamak Lawok, termasuk dirinya.
"Kesejahteraan kami ini diabaikan, padahal kami yang menjaga dan melestarikan kebudayaan daerah," kata Satya dalam sebuah wawancara daring.
Pentingnya Perhatian terhadap Maestro Hahiwang
"Ilmu ini tidak bisa dipatok dengan harga. Kami berbagi ilmu karena ini adalah amanah. Tapi kami juga manusia yang butuh penghidupan yang layak,” tutur Satya.
Mereka hidup sederhana, bergantung pada sumber daya yang terbatas dan sering kali harus merelakan waktu dan tenaga untuk menjaga warisan budaya ini. Tidak ada bantuan finansial, fasilitas, atau perhatian serius dari pihak yang seharusnya menjaga pelestarian budaya.
Meskipun begitu, mereka tetap melanjutkan peran sebagai penjaga tradisi, menyebarkan pengetahuan tanpa pamrih, memberi kepada siapa saja yang datang untuk belajar.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News