Pinisi, perahu tradisional asal Indonesia, bukan hanya sekadar alat transportasi di atas laut, ia adalah simbol kecerdasan dan kearifan lokal yang telah teruji oleh waktu. Dengan teknik pembuatan yang unik, di mana dinding perahu dirangkai lebih dulu sebelum kerangka, pinisi mengisahkan perjalanan panjang tradisi yang tak lekang oleh zaman.
Bayangkan sejenak, sebuah perahu yang dibangun tanpa cetak biru, namun mampu menari di atas ombak, melawan arus modernitas. Di sinilah letak keajaiban pinisi, sebuah karya seni yang mengajak kita untuk merenungkan kembali nilai-nilai tradisional di tengah gempuran teknologi.
Mari kita telusuri lebih dalam bagaimana pinisi bukan hanya berbicara tentang bentuk fisiknya, tetapi juga tentang identitas, budaya, dan pengetahuan yang diwariskan dari generasi ke generasi. Siapkah kita membuka mata dan hati untuk memahami kekayaan yang tersembunyi di balik setiap papan kayu yang terpasang?
Pinisi, yang telah diakui sebagai Warisan Budaya Takbenda oleh UNESCO, lebih dari sekadar perahu. Esensi pinisi terletak pada pengetahuan dan keterampilan yang terlibat dalam proses pembuatannya, bersama dengan beragam budaya yang menyertainya. Dengan kata lain, pinisi bukanlah bentuk fisik, melainkan sebuah tradisi yang kaya akan makna dan teknik.
Pinisi dengan Sistem Layarnya
Menurut informasi dari situs RRI, Istilah pinisi, pinisiq, pinisi', atau phinisi merujuk pada jenis sistem layar (rigging), tiang kapal, layar, dan konfigurasi tali-temali yang digunakan pada perahu layar tradisional Indonesia. Sebuah pinisi umumnya dilengkapi dengan tujuh hingga delapan layar yang ditopang oleh dua tiang, disusun dalam formasi yang dikenal sebagai galah berdiri.
Keunikan pinisi terletak pada cara pengoperasian layarnya; berbeda dengan kebanyakan kapal barat yang menggunakan sistem layar konvensional, layar besar pada pinisi tidak dibuka dengan cara menarik galah ke atas. Sebaliknya, layarnya 'ditarik' dari tengah pilar, menyerupai cara membuka tirai, memberikan efek visual yang menarik saat perahu berlayar di atas ombak.
Sistem layar pinisi tidak hanya menunjukkan teknik navigasi yang canggih, tetapi juga mencerminkan kearifan lokal dan pengetahuan yang telah diwariskan dari generasi ke generasi. Meskipun istilah 'pinisi' sering kali diidentifikasi dengan sistem layarnya, penting untuk dicatat bahwa istilah ini tidak mencakup bentuk lambung kapal secara keseluruhan.
Bentuk lambung pinisi sering kali dirancang untuk memastikan stabilitas dan efisiensi saat berlayar, menghasilkan perahu yang mampu menavigasi perairan yang beragam dengan kecepatan dan kelincahan.
Pada masa-masa sebelum kepunahan, kapal yang menggunakan sistem navigasi pinisi merupakan kapal layar terbesar di Indonesia. Mereka berperan penting dalam perdagangan dan transportasi maritim, menghubungkan berbagai pulau dan komunitas di seluruh Nusantara. Keterampilan dalam membangun dan mengoperasikan pinisi tidak hanya menjadi bagian dari tradisi maritim, tetapi juga menjadi simbol identitas budaya masyarakat pesisir.
UNESCO mengakui seni galangan kapal pinisi sebagai mahakarya warisan budaya lisan dan nonbendawi dalam Sidang Komite Warisan Budaya Unik ke-12 yang diadakan pada 7 Desember 2017.
Pengakuan ini tidak hanya meningkatkan kesadaran akan pentingnya pinisi dalam warisan budaya Indonesia, tetapi juga mendorong upaya pelestarian teknik pembuatan dan pengetahuan yang terkait dengan perahu ini.
Keunikan Teknik Pembuatan Pinisi
Pembuatan perahu tradisional, termasuk pinisi, memiliki keunikan yang menantang logika teknologi modern. Dalam prosesnya, dinding perahu dibuat terlebih dahulu sebelum rangka dipasang. Hal ini berbeda dengan prinsip arsitektur kapal modern, di mana rangka sering kali menjadi fondasi utama. Dengan cara ini, bentuk dan gaya perahu ditentukan oleh dinding atau kulitnya, yang memberikan karakter unik pada setiap pinisi.
Dilansir dari situs National Geographic Indonesia, setiap tahap dalam proses pembuatan pinisi memerlukan ketelitian. Setelah satu sisi dinding perahu dipasang, sisi lainnya juga harus dipasang secara bersamaan. Ini penting untuk menjaga keseimbangan, sehingga tidak ada sisi yang lebih tinggi atau lebar dibandingkan yang lain. Haji Abdul Wahab, salah satu perajin terkemuka di Desa Ara, Kecamatan Bonto Bahari, Kabupaten Bulukumba, menekankan bahwa teknik pemasangan papan adalah kunci keberhasilan dalam pembuatan pinisi.
Orang Ara, yang dikenal dengan keterampilan luar biasa dalam membengkokkan kayu, melakukan proses ini tanpa alat modern. Dulu, saat ukuran perahu masih kecil, proses pembengkokkan dilakukan segera setelah pohon ditebang. Keahlian ini menciptakan dinding perahu yang kuat dan fleksibel, yang menjadi dasar dari keunikan pinisi.
Rangka pada perahu tradisional memiliki fungsi yang berbeda daripada di kapal modern. Dalam pembuatan pinisi, rangka berfungsi sebagai penguat dinding, bukan sebagai struktur utama.
Papan dinding dipasang dengan hati-hati, mengikuti penyambungan lunas dan diperkuat oleh papan pangepek serta sotting atau linggi. Metode ini memastikan bahwa setiap komponen saling mendukung, menciptakan perahu yang kokoh dan tahan lama.
Horst Liebner, seorang ahli maritim asal Jerman, memperjelas bahwa anggapan bahwa perahu-perahu di Bontobahari dibangun tanpa gambar atau cetak biru adalah keliru. Sebaliknya, setiap tipe perahu tradisional dirancang dengan mengikuti pola desain yang dikenal sebagai tatta, atau 'potongan'.
Sistem rancang bangun tatta menetapkan kriteria penting dalam konstruksi lambung, termasuk posisi pasak yang menautkan seluruh lambung perahu, serta jumlah, posisi, panjang, dan bentuk masing-masing papan.
Dua pola tatta diidentifikasi dalam tradisi pembuatan pinisi: tatta tallu, yang berarti 'potongan tiga', digunakan untuk perahu berukuran kecil hingga sedang. Pola ini masih digunakan oleh para nelayan dalam membangun perahu jenis pajala, pagai, atau patorani.
Sementara itu, tatta appa, atau 'potongan empat', diciptakan oleh para ahli perahu di Ara dan khusus untuk tipe lambung palari, yang menjadi pilihan utama untuk pemasangan tiang dan layar jenis pinisi.
Keunikan lain dalam proses pembuatan pinisi adalah penggunaan pasak kayu untuk menyambungkan papan-papan. Pasak ini berfungsi seperti baut dalam perahu-perahu modern, tetapi dengan cara yang lebih tradisional dan alami. Dengan teknik ini, papan-papan dihubungkan secara harmonis, menciptakan struktur yang tidak hanya kuat tetapi juga estetis.
Proses pembuatan pinisi tidak hanya melibatkan teknik, tetapi juga merupakan ekspresi budaya yang mendalam. Setiap perahu yang dibuat adalah hasil dari pengetahuan yang diturunkan dari generasi ke generasi, di mana setiap perajin menyimpan cerita dan tradisi dalam setiap goresan kayu. Dengan demikian, pinisi bukan hanya sekadar alat transportasi di atas air, tetapi juga simbol identitas dan warisan budaya yang tak ternilai.
Melalui pengakuan UNESCO, pinisi mendapatkan tempatnya di dunia, mengingatkan kita akan pentingnya melestarikan dan menghargai tradisi yang kaya ini. Pembuatan pinisi adalah sebuah perjalanan, di mana setiap langkah dan teknik yang digunakan adalah bagian dari kisah panjang yang menghubungkan manusia dengan laut, alam, dan sejarah.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News