Pulau Pari merupakan bagian dari Kepulauan Seribu, yang telah lama dikenal sebagai salah satu destinasi pariwisata unggulan di Jakarta. Keindahan pantainya, keragaman hayati bawah lautnya, serta ketenangan yang ditawarkannya menjadikan Pulau Pari magnet bagi wisatawan domestik maupun mancanegara. Namun, di balik pesonanya, Pulau Pari menghadapi ancaman serius yang berpotensi merusak ekosistem alaminya.
Perusakan mangrove di Pulau Pari pada Jumat (17/01) belakangan ini menjadi isu utama dalam diskusi warganet di media sosial. Isu ini mencuat melalui unggahan sejumlah akun TikTok yang memperlihatkan aksi protes warga terhadap aktivitas perusakan mangrove dan padang lamun oleh sebuah perusahaan.
Video tersebut dengan cepat menyebar pada platform X, didorong oleh amplifikasi akun-akun warganet dan juga akun portal media, sehingga memicu gelombang kemarahan publik. Tagar #SavePulauPari menjadi simbol desakan masyarakat agar pemerintah segera mengusut kasus ini hingga tuntas.
"Pemberitahuan Penting: Perusakan Lingkungan di Pulau Pari Pada hari Jumat, 17 Januari, perusakan lingkungan kembali terjadi di gugusan Pulau Pari. Ribuan pohon mangrove yang ditanam dan padang lamun (samo-samo) yang memiliki kualitas tinggi dan potensi besar telah rusak akibat aktivitas korporasi #savepulaupari,” salah satu kutipan warganet di platform X oleh akun @bumi_pulau_pari.
Mangrove adalah salah satu elemen penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem Pulau Pari. Hutan mangrove yang tumbuh di sepanjang pesisir berperan sebagai benteng alami yang melindungi daratan dari abrasi, sekaligus menjadi habitat bagi berbagai spesies flora dan fauna.
Namun, dalam beberapa tahun terakhir, kawasan mangrove di Pulau Pari kerap mengalami kerusakan. Aktivitas pembangunan tanpa mempertimbangkan kelestarian lingkungan menjadi salah satu penyebab utamanya.
Lahan mangrove kerap dikonversi untuk kepentingan pembangunan infrastruktur wisata, seperti penginapan, restoran, dan fasilitas lainnya. Hal ini menimbulkan dilema antara upaya meningkatkan daya tarik wisata dengan pelestarian ekosistem.
Dampak dari perusakan mangrove tidak dapat diabaikan. Hilangnya hutan mangrove berarti meningkatnya risiko abrasi yang menggerus garis pantai Pulau Pari. Tanpa perlindungan alami dari mangrove, gelombang laut lebih mudah merusak daratan, yang dalam jangka panjang dapat mengancam keberadaan pulau itu sendiri.
Selain itu, mangrove juga berfungsi sebagai tempat pemijahan dan perlindungan bagi berbagai spesies ikan dan biota laut. Ketika mangrove dihancurkan, rantai makanan di ekosistem laut pun terganggu, yang pada akhirnya berdampak pada menurunnya hasil tangkapan nelayan lokal.
Tidak hanya itu, mangrove memiliki peran penting dalam mitigasi perubahan iklim. Hutan mangrove dikenal sebagai salah satu penyerap karbon terbaik di dunia. Akar-akar mangrove yang menancap kuat di lumpur menyimpan karbon dalam jumlah besar, sehingga membantu mengurangi konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer.
Menurut penelitian CIFOR, hutan mangrove di Indonesia diketahui menyimpan karbon lima kali lebih banyak per hektar dibandingkan hutan tropis di dataran tinggi. Indonesia memiliki sekitar tiga juta hektare hutan mangrove, yang mencakup lebih dari 20 persen mangrove dunia. Sebagai perbandingan, Australia dan Brasil, yang menempati posisi kedua dan ketiga, masing-masing hanya memiliki sekitar 900 ribu hektare mangrove, menunjukkan perbedaan yang signifikan.
Direktur Program Kelautan dari organisasi Conservation International, menjelaskan kemampuan mangrove dalam menyerap karbon jika stok karbon per hektar mencapai 700 ton, setara dengan sekitar 2500 ton CO2 per hektar. Ini berarti satu hektar mangrove dapat menetralkan emisi setara dengan 20 mobil mewah di Jakarta selama 25 tahun.
Manfaat mangrove yang luar biasa ini semakin menegaskan peran pentingnya, tidak hanya dalam menyerap karbon, tetapi juga dalam melindungi ekosistem pesisir, mencegah abrasi, dan menyediakan habitat bagi berbagai biota laut. Upaya pelestarian dan penghentian perusakan mangrove harus menjadi prioritas bersama demi keberlanjutan lingkungan.
Melihat dampak negatif dari perusakan mangrove, upaya penegakan hukum terhadap pelaku perusakan menjadi hal yang tidak bisa ditawar. Pemerintah dan pihak berwenang harus lebih tegas dalam menerapkan aturan yang melarang konversi lahan mangrove untuk kepentingan komersial.
Hukuman yang memberikan efek jera harus diberlakukan kepada pihak-pihak yang terbukti merusak mangrove, baik itu individu, perusahaan, maupun institusi lainnya. Penegakan hukum yang kuat akan memberikan sinyal bahwa kelestarian lingkungan adalah prioritas utama, bukan sekadar wacana.
Berdasarkan Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum (JDIH) BPK RI, Perusakan hutan mangrove di Indonesia diatur dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dengan ancaman pidana hingga 10 tahun penjara dan denda Rp10 miliar (Pasal 98), serta sanksi 3 tahun penjara dan denda Rp3 miliar untuk kegiatan tanpa izin lingkungan (Pasal 109).
Selain itu, UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan memberikan hukuman berat bagi perusakan hutan, termasuk mangrove, khususnya yang dilakukan secara terorganisasi. Peraturan ini menegaskan pentingnya perlindungan terhadap ekosistem mangrove yang memiliki peran vital dalam menjaga keseimbangan lingkungan.
Selain penegakan hukum, pelibatan masyarakat lokal dalam program konservasi juga menjadi kunci keberhasilan pelestarian mangrove. Masyarakat yang tinggal di Pulau Pari tentunya memiliki pengetahuan dan keterikatan emosional dengan lingkungan sekitar. Mereka harus dilibatkan dalam setiap langkah perlindungan dan rehabilitasi mangrove.
Program-program seperti; pelatihan, pemberdayaan ekonomi berbasis ekowisata, serta kampanye kesadaran lingkungan perlu diintensifkan untuk memastikan partisipasi aktif masyarakat. Dengan memberdayakan masyarakat lokal, mereka tidak hanya menjadi penjaga ekosistem, tetapi juga memperoleh manfaat ekonomi yang berkelanjutan dari kelestarian lingkungan.
Untuk itu, semua pihak perlu bekerja sama untuk mendukung kampanye pelestarian lingkungan, khususnya hutan mangrove di Pulau Pari. Kampanye ini harus mencakup edukasi kepada masyarakat luas tentang pentingnya mangrove, serta ajakan konkret untuk berkontribusi dalam menjaga kelestarian ekosistem.
Misalnya, melalui kegiatan penanaman mangrove, menggalang donasi untuk program konservasi, atau mendukung produk-produk ramah lingkungan dari komunitas lokal. Setiap langkah kecil yang dilakukan akan membawa dampak besar bagi masa depan Pulau Pari dan ekosistemnya.
Pulau Pari adalah warisan berharga yang harus dijaga kelestariannya. Mangrove bukan hanya sekadar pepohonan di pesisir pantai, tetapi juga penyelamat bumi dari dampak perubahan iklim dan ancaman bencana alam.
Merusak mangrove berarti merusak alam dan mengancam keberlanjutan pariwisata Pulau Pari. Oleh karena itu, mari bersama-sama mendukung pelestarian mangrove demi masa depan yang lebih baik bagi semua.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News